Chef.
Sebuah profesi yang dari dulu diidamkan Lila yang memang hobi memasak. Sejak di
TV banyak bermunculan acara memasak dan melahirkan banyak chef ternama, Lila lantas ingin menjadi salah satu diantara mereka.
Rasanya pasti menyenangkan bisa menciptakan beragam resep baru yang menggoda
lidah untuk mencoba. Atau memodifikasi resep yang sudah ada menjadi lebih lezat
dan bernilai jual tinggi.
Untuk
mencapai semua itu, Lila memilih masuk SMK jurusan Boga. Hobinya memasak dia
salurkan di sini. Dan ternyata saat mendalami ilmu kuliner, Lila semakin paham
bahwa memasak bukan hanya sekedar harus lezat, tapi juga perlu penyajian yang
unik dan menarik. Bukan cuma itu. Lila juga menjadi paham bahwa seorang chef tidak hanya harus pintar memasak,
tapi juga harus bisa jadi pemimpin atau leader
yang baik. Karena di balik dapur sebuah restoran atau hotel, semua persiapan
berada di bawah pengawasan satu chef
yang sama.
Lulus
dari SMK, Lila mengambil kuliah di Akademi Pariwisata lagi-lagi dia mendalami
kuliner. Wawasannya makin bertambah karena tidak hanya mempelajari kuliner
Indonesia tapi juga kuliner asing lainnya. Meski demikian, lidah Indonesia Lila
tidak bisa menampik bahwa kuliner Indonesia lebih lezat dan lebih menantang untuk
dipelajari. Bumbu yang beragam dan cara memasak yang lumayan rumit adalah
tantangan yang harus ditaklukkan. Makanan Indonesia harus jadi tuan rumah di
negeri sendiri. Itu keinginannya.
Satu
hal yang selama ini tak pernah dibayangkan Lila adalah, dia harus bekerja di
bawah pimpinan seorang chef yang
super jutek dan tukang marah-marah. Chef
Juna? Gordon Ramsey yang punya Hell’s Kitchen itu? Ahhh…lewat. Nggak ada
apa-apanya. Kalau Juna atau Ramsey cuma ‘ngamuk’ kalau ada kontestan yang masaknya
nggak banget. Tapi chef yang satu ini, dia sepertinya sudah jutek dari lahir.
Mukanya nggak pernah senyum, nggak pernah mengarahkan, tapi selalu memaki jika
kurang pas sedikit saja dengan maunya.
Kadang
Lila juga rekan kerjanya yang lain merasa, chef
yang bernama Wildan ini bermasalah dengan urusan mental. Orang yang waras akan
menyampaikan segala sesuatu dengan kalimat yang baik agar diterima dengan baik
pula. Kalau marah pun pasti masih mikir. Tapi tidak dengan Wildan. Dia bisa
melontarkan makian yang paling menusuk perasaan bahkan pernah salah satu chef baru yang langsung resign di hari
pertama kerja, begitu melihat cara kerja
dan sikap tidak bersahabat Wildan. Satu kata yang bisa diberikan oleh Lila.
Menyebalkan.
“Kenapa
nih? Kok anak papa murung hari gini?”
Hari memang masih lumayan pagi. Baru jam tujuh lebih lima belas. Tapi Darmawan
sudah melihat Lila putrinya termenung di meja makan. Secangkir kopi di depannya
tak tersentuh dan sudah menjadi dingin.
“Eh,
Papa. Sini deh, Pa. Ada yang mau Lila tanyain.” Lila menggamit Darmawan dan
menarik kursi di sebelahnya untuk Sang Papa.
“Mau
nanya apa sih?” Darmawan menatap Lila penasaran.
“Pa,
orang-orang di resto tahu nggak, kalau aku anaknya Papa?” Lila memang berekrja
di resto milik papanya.
“Nggak
tuh. Kan kamu dulu masuk ke sana dengan jalan yang sama seperti yang lain. Tes tulis,
interview juga praktek masak. Bahkan
Papa sengaja mengundang penguji dari luar biar fair. Kenapa sih?” Darmawan belum bisa menebak arah pembicaraan
putrinya.
“Nggak
sih. Aku heran aja sama Chef Wildan.
Dia sepertinya benci banget sama aku, Pa. Marah melulu, salah melulu. Padahal
aku selalu simak dan kerjakan baik-baik semua instruksinya. Lagian aku kan
punya sens of belongin paling tinggi
pada resto itu dibanding yang lain. Jadi nggak mungkin kan aku masaknya ngawur
dan bikin pelanggan pergi?
“Tapi
nggak tahu nih. Chef Wilndan nggak
pernah appreciate sama yang udah kukerjakan.
Kayak kemaren nih. Mosok aku musti bikin Hakau Udang sampai tiga kali?! Katanya
kurang ini lah, kurang itu lah, lipetan kulitnya masih kurang rapi lah. Padahal
nih Pa, aku udah nanya sama Chef Steven
yang asli orang Cina. Katanya udah enak banget. Eh yang asli Indonesia
malah segitunya.
“Padahal
bikin hakau kan ngak gampang Pa. Biangnya, isinya, ngelipetnya. Kalau dia nggak
benci sama aku, apa coba namanya? Pokonya sebel deh!” Lila memuntahkan semua
uneg-unegnya. Lega rasanya.
“Eh..eh…kok
pagi-pagi udah ada yang meledak? Pakai ngomongin orang lagi. Nggak baik lho!
Pagi hari itu awali dengan gembira. Biar seharian gembira terus,” tiba-tiba
saja Nurmala mama Lila sudah muncul dengan nampan berisi roti bakar dan cokelat panas untuk
sarapan mereka.
“Ini
lho, Ma. Lila lagi kesel sama Wildan.” Kata Darmawan.
“Wildan?
Chef baru yang ganteng dan cool itu? Ada apa sih cantik? Jangan
gitu, ntar kecantol lho!” Nurmala mencoba mengingatkan Lila.
“Habis
kesel sih, Ma. Apa aku resign aja ya
dari restonya Papa? Nggak tahan lagi nih. Capek hati mlulu.”
“Eit,
apa Papa pernah ngajarin anak-anak Papa untuk jadi pecundang? Nggak kan? Lihat
kakak-kakak kamu Lexi dan Litha. Semua pernah mengalami masa sulit di tempat
kerja yang mereka minati. Tapi passion
yang mereka miliki mampu membuat mereka bertahan dan membuktikan bahwa mereka
tidak layak untuk diremehkan.
“Kamu
juga musti gitu. Bidang kuliner adalah bidang yang kamu sukai. Kamu sudah
habiskan banyak waktu untuk sampai ke tahap ini. Seorang chef. Memang, saat ini kamu belum jadi chef utama di resto Papa. Tapi suatu saat nanti, kamu yang akan Papa
pilih untuk menerusakn usaha itu karena kamu punya passion yang sama denga Papa.
“Nah,
kalau belum apa-apa kamu sudah menyerah, bagaimana Papa bisa percayakan resto
itu pada kamu? Buktikan pada Chef
Wildan kamu anak buah yang layak diandalkan. Buktikan juga pada Papa dan Mama,
kamu siap memimpin restoran itu. Kalau kamu ingin Wildan keluar dari resto
kita, kamu sendiri yang harus memecatnya, setelah nanti kamu jadi owner!”
Panjang
lebar Darmawan menasihati putri bungsunya. Dia hanya tidak ingin Lila menyerah
sebelum berperang. Prinsip Darmawan, tidak ada salahnya sedikit berdarah-darah
untuk meraih kemenangan. Para pejuang kemerdekaan jaman dulu pun melakukan yang
sama bahkan lebih dari itu.
Lila
hanya diam. Roti bakar cokelat keju itu rasanya tak nikmat lagi. Kalau saja tidak
lapar mungkin tidak akan dimakannya. Apa yang baru dikatakan papanya
berputar-putar dalam pikiranya. Papanya benar. Tak ada kemenangan dan
keberhasilan tanpa perjuangan. Calon owner sebuah restaurant memang harus tahan
banting. Kalau menghadapi seorang Wildan saja dia menyerah, bagaimana jika
nanti resto mengalami maslah?
Akhirnya
Lila memutuskan untuk melakukan sesuatu. Segera dihabiskan sarapannya, mencium
tangan kedua orang tuanya dan melangkah tergesa keluar rumah diikuti tatapan
tak mengerti Darmawan dan Nurmala. Mereka yakin Lila pasti ke tempat kerja
karena sudah membawa tas dan mengenakan seragam. Tapi mengapa harus sepagi ini?
Hanya Tuhan dan Lila yang tahu.
----
Baru
jam delapan kurang sepuluh menit ketika Lila sampai di resto. Resto memang baru
buka pukul sebelas. Tapi sudah beberapa orang yang datang terutama cleaning
service. Resto yang bersih dan tertata rapi tentu akan membuat pelanggan
kembali datang, selain makanannya yang juga harus lezat.
Lila
hanya meyapa sekedarnya pada mereka dan segera menuju ruang persiapan. Dia
kembali membuat Hakau Udang yang kemarin berakhir di tempat sampah. Tak ada
yang berubah dari resepnya. Tetap resep yang sama dengan kemarin. Kalau ada
yang berubah, maka yang berubah adalah semangat Lila saat membuatnya. Tidak ada
lagi gerutuan atau keluh kesah. Kalau pun nanti masih dirasa tidak enak, Lila
tak akan mengijinkanya untuk dibuang. Pengemis atau pemulung bahkan para
pramusaji pasti masih doyan.
Hampir
dua jam Lila mengerjakan ‘PR’nya dan setelah selesai segera dibawanya hakau
yang masih mengepul asapnya itu ke ruangan Wildan.
“Masuk!”
teriak Wildan dari dalam. Dan dia segera melihat wajah kemerahan Lila yang datang
dengan hakau di angannya.
“Pagi
Chef!” Sapa Lila sambil melangkah mendekati meja Wildan. Sementara Si empunya
meja sedang asik dengan gadgetnya.
“Ada
apa? Kok pagi-pagi kamu sudah ke ruangan saya? Bawa makanan lagi. Mau nyogok
saya, supaya saya nggak sering marah-marah?!” Ketus seperti biasanya. Tapi kali
ini Lila menangapinya dengan tenang. ‘Calon
owner ngak boleh cengeng.’ Bisik batinnya.
“Maaf
Chef, saya anti suap. Saya cuma mau selesaikan PR kemarin. Tiga kali hakau saya
berakhir di tempat sampah. Saya harap kali ini tidak, karena akan saya berikan
pada pengemis kalau Chef nggak
berkenan.” Lila berkata dengan tenang. Diletakkannya hakau buatannya di meja.
Berdebar menunggu reaksi chef jutek
itu. Sementara Wildan bergeming. Tetap asik dengan gadgetnya.
Setelah
beberapa lama cuek, akhirnya Wildan mengambil sumpit yang sudah disiapkan Lila
dan mulai menyantap hakaunya. Cukup lama Wildan membuat Lila penasaran karena
tak segera mengatakan rasa hakau buatannya. Wildan seperti sedang menikmati
setiap gigitan dan kunyahan di mulutanya.
“Enak
kok. Enak banget. Mirip seperti di negara asalnya. Sebenarnya sih, tiga yang
kemaren juga enak. Dan sesungguhnya nggak ada yang dibuang. Dimakan sama
anak-anak termasuk saya. Asal kamu tahu itu bukan tempat sampah. Tapi kerajang
sayuran.” Wildan tersenyum di sudut
bibirnya sambil melangkah meninggalkan Lila yang melongo.
Kesal,
marah, pengen nangis karena merasa dikerjai. Tapi Lila tidak tahu harus berbuat
apa.
“Tunggu
Chef!” stengah berlari Lila menyusul
Wildan yang sudah mendekati pintu.
“Apa
lagi? Mau dikasih PR lagi?” Wildan memandang sinis pada Lila.
“Bukan
itu. Saya cuma ingin tahu. Kenapa sih Chef
Wildan sepertinya benci banget sama saya? Kalau saya punya kesalahan, tolong
katakan saja biar saya perbaiki. Mungkin saya pernah tidak sengaja menyinggung perasaan
Chef, tidak kooperatif dengan angota
tim yang lain, atau memasak yang benar-benar tidak sesuai standar resto kita.
Katakan Chef. Please.”
Wildan
tidak langsung menjawab. Justru kali ini dia kelihatan grogi menerima pertanyaan
bertubi-tubi seperti itu. Lama dia hanya memandang Lila dengan tatapan yang
Lila sendiri tak berani menterjemahkan. Bukan sinis, benci atau marah seperti
biasanya. Tapi pandangan Wildan kali ini benar-benar membuat Lila meleleh.
“Kamu
benar-benar mau tahu kesalahan kamu?” Tanya Wildan setelah lama diam. Lila
mengangguk.
“Kamu,
selalu membuat saya merasa dimana-mana kamu ada. Di ruangan saya ini, di ruang
persiapan, ruang meeting, bis kota, mobil bahkan kamar saya. Setiap saya
menatap gambar Luna Maya artis idola saya, wajah kamu yang muncul. Nonton film
Spiderman di sada tak ada lagi Mary Jane tapi kamu. Hermione juga berubah jadi
kamu. Kamu, kamu dan selalu kamu di manapun aku berada. Masih merasa nggak
salah?!
“Dan
kesalahan kamu yang paling fatal adalah, kamu sudah mampu membuat saya
bersemangat hidup lagi, mencintai pekerjaan saya lagi dan berani jatuh cinta
lagi. Actualy, I love you Lila.”
Lila
hanya terpaku. Tak percaya pada apa yang baru didengarnya. Sebetunya sejak lama
semua orang di dapur resto membicarakan kemungkinan itu. Membully karena menaruh
hati. Tapi Lila selalu mengatakan bahwa itu tidak mungkin. Meski dalam hati
sesungguhnya Lila juga mulai melirik Wildan. Andai tidak jutek dan pemarah
tentu wajah tampan itu makin menawan. Sayangnya…
Dan
sekarang ternyata Lila mendengar sendiri dari mulut Wildan, ungkapan perasannya
yang tak biasa itu.
“Maaf
untuk yang tak menyenangkan, La. Aku melakukannya agar kamu membenciku, keluar
dari resto ini dan aku tak perlu melihatmu lagi hingga tak perlu jatuh cinta
lagi. Tapi ternyata aku tidak bisa. Kamu ada di mana-mana bahkan dihatiku.
Bagaimana, La? Masih ada tempat untukku?” Wildan menatap Lila penuh harap. Lila
tak melihat lagi Wildan yang jutek dan pemberang. Ini Wildan yang berbeda.
“Are you serious, Chef?”
“Yes, I am.” Lila hanya diam memandang
tajam pada Wildan yang masih menunggu jawabannya. Sampai akhirnya, Lila
mengatakan kalimat yang sangat mengejutkan Wildan.
“Saya
nggak mau.” Cuma itu yang dikatakan Lila sambil membuka pintu ruangan dan
melangkah keluar. Tinggallah Wildan yang terpaku di depan pintu yang kembali
menutup. Sementara Lila tersenyum simpul karena berhasil mengerjai Wildan. Meski
Lila pun mulai menyukai Wildan, Lila lebih ingin agar Wildan berjuang untuk
mendapatkan hatinya sama kerasnya dengan saat Lila berjuang untuk membuat hakau
udang pesanan Wildan.
Hidup
memang perlu perjuangan.