‘Rumah tangga semestinya dibangun berdasarkan cinta, berhias kesetiaan
dan rasa percaya. Maka ia akan kokoh bagai kastil tua dan menjadi legenda.
Ketika hanya curiga dan rasa cemburu yang mewarnai dan itu tak terkendali, tak
sesuatu pun bisa diharapkan, karena ia hanya ibarat istana pasir. Begitu mudah
goyah dan runtuh. Waktu hanya untuk menunda kehancurannya.
——–
“Kau mau
kemana, Mas?”
Asrul
menurunkan bahunya dan mendesah, ia merasa terpenjara sejak menikahi Liana.
Ia tahu
bagaimana seharusnya seseorang yang sudah hidup berumah tangga. Tapi yang
dilakukan Liana rasanya terlalu melewati batas. Sekedar ingin keluar menghirup
udara karena kegerahan sekalipun Liana serta merta mengejar dan menanyakan
kemana.
Telepon akan
terus berbunyi disertai SMS bertubi-tubi, jika sedikit saja ia terlambat
pulang. Ia tahu Liana mencintainya, tapi kadang ia bertanya-tanya, cinta macam
apa yang ada dalam hati Liana. Dalam kisah kasih rumah tangga, ada cemburu
memang sudah seharusnya. Tapi lantas untuk kecemburuan tak beralasan seperti
Liana itu apa namanya…
Liana
seringkali mengamuk, hanya karena ia bertegur sapa dengan wanita tetangga.
Seringkali pengertian yang ia coba berikan dimentahkan begitu saja dengan
sanggahan menurut kadar timbang perasaannya sendiri, dan terkadang malahan
omelan dan cacian yang didapatnya.
Untuk inikah cinta itu
dipersatukan?
Ia lebih
seringkali mengalah atau tepatnya terpaksa mengalah. Liana tak segan untuk
membuat rumah seperti kapal pecah jika perasaan cemburunya yang tak beralasan
itu kembali muncul, hanya karena ia setengah jam lebih lambat tiba di rumah,
atau karena menyapa tetangga komplek di kiri dan kanan.
Liana semakin
memprihatinkan. Sedikitpun tak ia dapatkan rasa cinta, apalagi rasa hormat dari
Liana, kecuali cemburu buta yang meresahkannya. Entah setan apa yang diam dalam
otaknya, sehingga setiap pulang selalu yang ditanyakan Liana adalah apakah ia
tak bermain mata dengan teman wanita sekantor, atau kecantol wanita di jalan…
Liana sudah
sangat mengabaikan logika. Cemburu di otaknya seperti penyakit jiwa yang
membelenggu begitu kuatnya. Ia tak ingin menganggap Liana gila, tapi gelagat
Liana menunjukkan, seakan tanda-tanda dan anggapan itu benar saja.
Asrul kadang
tak habis mengerti. Seingatnya, dulu sebelum menikah Liana sangat manis dan
menyenangkan. Tak pernah ada kegilaan macam yang dia dapatkan sekarang.. Di
dalam benaknya, seseorang yang berperangai manis macam Liana akan sangat
mendukung karirnya yang sedang berkembang. Maka ia memilihnya dan memutuskan
menikahinya
Yang terjadi,
kenyataan seringkali tak sejalan dengan keinginan. Semakin bertambah usia
pernikahan, bukan kebahagiaan yang didapatkan, tapi siksaan. Bukan surga, tapi
neraka.
——
Terkadang orang
tua mengatakan, seseorang yang baru saja dari mana-mana selalu diikuti setan.
Setan yang senang sekali mengambil manfaat jika situasi yang menyambut
kedatangan seseorang itu di rumahnya adalah situasi yang buruk.
Liana
mencecarnya dengan pertanyaan penuh kecurigaan, hanya karena ketika tepat di
depan pintu ia mendapat telepon dari Mila, teman sekantornya.
“Kau bicara
dengan siapa?”
“Orang kantor!
Dia ketua panitia lelang, di kantor sedang ada lelang untuk pengadaan barang.”
Asrul berusaha memberi penjelasan sebaik mungkin. Berusaha tak emosi meski
sebenarnya sangat kesal.
“Tapi, kau
menyebut namanya Mila?”
“Namanya memang
Mila!”
“Kau
berselingkuh dengannya, kan?”
Asrul mendesah
untuk ribuan kalinya. Apa yang sebenarnya bercokol di otakmu? Kau membicarakan
sesuatu yang bukan saja membosankan, tapi juga tak pernah terbukti!
“Berpikirlah
sedikit, Liana!”
“Dia hampir
selalu menelponmu! Kau memang menyuruhnya untuk menelpon di depanku bukan?”
“Kau seseorang
yang terpelajar, berpikirlah rasional dan gunakan logikamu! Seharusnya kau bisa
sedikit lebih waras! Sesekali pakai otakmu! Seumur hidupmu dan sepanjang
pernikahan kita hanya akan kau habiskan untuk mencurigaiku dan membiarkan
cemburu butamu tak terkendali?” Asrul mulai geram. Setan mulai menari
mengipaskan hawa panas. Parahnya, Liana begitu mudah menurutkan nalurinya dan
mengabaikan nuraninya.
“Ooh! Jadi
menurutmu aku bodoh dan gila? Begitu maksudmu?” Liana mulai meniti irama
meninggi, dan Asrul merasa, kebiasaan itu sudah menjadi penyakit yang
menjangkiti.
“Terserah kau
saja! Pikir saja sendiri apa maksudnya? Aku lelah. Aku mau mandi!” Asrul
melangkah masuk ke kamar. Keadaan yang membuat Liana makin tak terkendali dan
membuat rumahnya bermetamorfosa serupa kapal pecah.
——
Sudah hampir
seminggu Asrul ke luar kota. Perusahaan menugaskannya untuk menertibkan
menejemen di kantor cabang yang baru beberapa bulan dibuka.
Sebenarnya
tugas luar kota adalah hal biasa, tapi sekali ini sangat berarti bagi Asrul. Ia
ingin memanfaatkannya untuk merenung. Tentang dirinya, tentang istri dan rumah
tangga mereka yang berjalan tak semestinya. Ia tahu, akan selalu ada masalah
dalam sebuah rumah tangga, silih berganti menjadi semacam ujian apakah mereka
akan survive atau mengangkat tangan
dan mundur teratur.
Ia tak tahu apa
yang sesungguhnya mesti ia lakukan, apakah pernikahan ‘sakit’ ini harus
dipertahankan. Selama ini sudah segala cara dilakukannya untuk memberi
pengertian pada Liana. Menegur dengan baik-baik, hingga yang sedikit kasar
karena terbawa kenyataan Liana sepertinya tak pernah mau mencoba mengerti.
Semuanya telah dilakukannya.
Ditinggal
berhari-hari hingga berminggu-minggu bukan masalah lagi buat Liana. Yang
menjadi masalah kali ini adalah, Asrul sama sekali tidak bisa dihubungi kecuali
malam atau pagi hari, bahkan kadang tidak bisa sama sekali selam 24 jam. Liana
uring-uringan, dan selalu yang dipikirkannya adalah pergi menyusul keberadaan
suaminya.
Asrul tahu
Liana sering menelponnya. Dia juga tahu Liana mengirim begitu banyak SMS. Tapi
tak satu kali pun Asrul ingin balas menelpon atau membalas SMS. Ia merasa
percuma, isinya hanya tentang hal yang membosankan dan tak beralasan. Jika
istri lain ditinggal suaminya dan tidak bisa menghubungi dia akan cemas, tapi
Liana akan mengamuk karena kecurigaan yang sudah di luar batas kewajaran.
——–
“Suamimu sudah
membalas?” Tanya ibunya melihat Liana terus memandangi layar teleponnya. Selama
Asrul ke luar kota, Liana menginap di rumah orang tuanya.
“Aku tak pernah
tahu apa maksudnya tak membalas pesanku, padahal ibu tahu, ini sudah seminggu
lebih!” Keluh Liana kesal.
“Ibu pikir dia
takkan membalasnya selama isi pesanmu hanya kecurigaan dan kecemburuan yang tak
masuk akal.” Ibunya berkata datar namun sanggup menusuk tajam batin Liana.
“Aku istrinya,
bu! Tentu saja aku mengkhawatirkannya!”
“Ibu takkan
membela siapa-siapa, tapi pikirkan! Apa pernah selama ini suamimu mencurigai
dan mencemburui semua teman priamu? Apa pernah dia melarangmu bergaul, jalan
dengan teman-temanmu tanpa mengajaknya? Tidak pernah bukan?” Liana diam
“Bersikaplah
adil pada suamimu, nak! Dia seseorang yang baik, tapi kau bisa menjadikannya
seseorang yang tak terduga ketika kau terus memperlakukannya seperti itu, tak
memberinya penghargaan. Ketika pertanyaanmu tak bermakna kepedulianmu, tak
bermakna perhatianmu, tak bermakna kerinduanmu, tak pula bermakna kasih
sayangmu, maka jawaban yang datang akan semakin membuat kau tak tahu tentang
pertanyaan dengan makna-makna seperti itu!” Tutur ibunya.
“Satu hal lagi
Liana, Rumah tangga semestinya dibangun berdasarkan cinta, berhias kesetiaan
dan rasa percaya. Maka ia akan kokoh bagai kastil tua dan menjadi legenda.
Ketika hanya curiga dan rasa cemburu yang mewarnai dan itu tak terkendali, tak
sesuatu pun akan bisa kau harapkan, karena ia hanya ibarat istana pasir. Begitu
mudah goyah dan runtuh. Waktu hanya untuk menunda kehancurannya.”
Liana hanya
terpaku. Semua yang dikatakan ibunya benar. Kecurigaan dan rasa cemburu yang
tak terkendali hanya mendatangkan bencana untuk pernikahan mereka.
Tapi setan
selalu berhasil mengusik nurani manusia dari penerimaan atas kebenaran. Ia
terlalu keras kepala untuk sedikit saja mencoba keluar dari lingkaran setan
yang membelitnya. Ia sadar apa yang dikatakan ibu semuanya benar, tapi ia
bergeming dengan segala pikiran negatif tentang suaminya. Dia bahkan sudah
menyusun rencana untuk menggertak suaminya yang kali ini dianggap keterlaluan.
——
“Apa?” Teriak
Liana suatu sore, beberapa bulan setelah Asrul pulang dari luar kota. Dia tak
menyangka kata itu akan keluar dari mulut suaminya. Padahal sebelumnya dia yang
punya rencana untuk menggertak Asrul dengan meminta cerai. Tapi sekarang?
Sementara Asrul dengan raut muka sangat tenang mengangguk membenarkan.
“Maksudmu? Apa
salahku?”
“Kau tak
bersalah!”
“Lalu kenapa?
Kau tak mencintaiku lagi?”
“Aku
mencintaimu!”
“Bohong!
Perempuan itu kan yang telah merebutmu dariku?” Liana menatap suaminya tak
mengerti. Tiba-tiba saja ia merasa sangat cemas.
“Duduklah Liana.”
Asrul menarik tangan Liana agar duduk di sampingnya. Dalam keterkejutannya
Liana bagai kerbau dicocok hidung, hanya menurut saja.
“Tak ada
seorangpun yang merebutku darimu! Tak ada! Kau yang telah menyuruhku pergi
dengan semua ketidakpedulianmu selama ini. Kau hanya mengerti tentang
perasaanmu! Kau tak mempedulikanku! Aku tak bisa lagi tiba di depan pintu
setiap malam dengan pertanyaan yang membuatku seperti tak berharga, dan
membuatku gelisah!”
“Aku tak mau
kehilanganmu!” Liana mulai menangis. Ia teringat kata-kata ibunya.
Asrul memandang
iba pada Liana. Sebenarnya dia pun tak ingin berpisah karena sangat mencintai
istrinya. Tapi sikap Liana sungguh membuatnya terpenjara. Dan Asrul tak tahan
lagi.
“Aku tak
meragukan itu. Tapi rasanya kita punya pemahaman yang berbeda tentang
mencintai. Mencintai itu tak berarti mengekang Li, seperti aku yang tidak
pernah mengekangmu. Mencintai juga berarti mempercayai, seperti aku selalu
percaya bahwa kau istri yang setia. Tapi coba apa yang kau lakukan padaku Li?”
Asrul sengaja membiarkan Liana menjawab sendiri pertanyaannya.
“Maafkan aku
Liana. Maaf kalau aku tak bisa menjadi suami seperti yang kau idamkan. Maafkan
aku juga yang tidak sabar mendidikmu hingga menjadi istri yang baik. Aku sudah
berulang kali mengingatkanmu agar memperbaiki sikapmu, tapi kamu tidak pernah
berubah. Sekali lagi maafkan aku Li. Saat ini juga, kujatuhkan talak satuku
padamu. Dan besok aku akan menemui kedua orang tuamu untuk menyerahkanmu secara
baik-baik, seperti saat aku memintamu dengan baik-baik pula. Maafkan aku, Liana.”
“Aku tak mau
kau tinggalkan, Mas…..!” Kata-kata Liana tak berarti lagi, Asrul sudah bergegas
masuk ke kamarnya dan keluar dengan dua koper besar.
Langkahnya
terhenti saat melihat Liana menangis tersedu. Diraihnya bahu Liana dan
direngkuhnya mantan istrinya itu dalam pelukannya.
“Aku pergi Li!
Jaga dirimu baik-baik. Jika kau sudah berubah, aku pasti menerimamu kembali.
Tapi jika kau berjodoh dengan orang lain, kuharap kau bisa memperlakukan suamimu
dengan lebih baik. Cintai dia sepenuh hatimu, tapi jangan mencengkeramnya dalam
genggamanmu agar tak terlepas kembali.” Asrul sekuat tenaga menahan air
matanya. Ini bukan akhir perjalanan pernikahan yang dikehendakinya.
“Aku….” Liana
memeluk erat tubuh Asrul. Seolah ingin merasakan kehangatan untuk terakhir
kalinya. Asrul membiarkannya. Membiarkan dada bidangnya basah oleh air mata,
hingga perlahan Liana melepaskan pelukannya. “Maafkan aku, kita masih bisa
membicarakannya lagi, kan?”
“Aku pergi,
Li!” Asrul mengecup kening Liana dan dibalas dengan mencium tangannya. Bakti
terakhirnya sebagai istri yang selama ini tak pernah ditunaikannya.
“O, ya, kau
boleh tetap disini. Rumah ini atas namamu.” Asrul melangkah keluar tanpa
menoleh lagi. Bukannya tak ingin menatap lagi wajah Liana, tapi menyembunyikan
air mata yang sudah tak sanggup ditahan lagi. Bagaimanapun, perpisahan selalu
menghadirkan luka.
Sementara Liana
hanya bisa berteriak memanggil nama Asrul. Teriakan yang tak lagi bermakna.
Sama tak bermaknanya dengan penyesalan yang kini menghimpit dadanya. Liana terlalu
mementingkan egonya dan tak menyadari ada yang terluka. Asrul, orang yang
dicintainya. Dan seperti yang dikatakan ibunya, rumah tangga tak hanya butuh
cinta dan kesetiaan tapi juga kepercayaan. Dan Liana sudah membuktikannya.
Istana cintanya hanya selayak istana pasir.
Kini hancur dan tinggal menjadi
cerita.
#karya bersama Maraza dan Adri Wahyono
Tidak ada komentar:
Posting Komentar