meta content='IE=EmulateIE7' http-equiv='X-UA-Compatible'/> Maraza's Antology: Buktikan padaku, Bram

Sabtu, 29 Juni 2013

Buktikan padaku, Bram

  Malam yang sebenarnya sangat indah. Di langit, bintang bertaburan menemani purnama yang benderang. Tapi bagiku, malam itu sungguh suram. Aku duduk berhadapan dengan Bram di teras tempat kosku. Kebetulan hari ini sebagian penghuni tengah pulang kampung hingga sedikit sunyi. Hampir satu jam lamanya kami hanya berdiam. Aku dengan gemuruh hatiku dan Bram dengan pikirannya sendiri.

Aku tengah menanti keputusan Bram, apakah akan memilih aku atau Dini. Sudah cukup lama aku tahu Bram memindahkan hatinya pada Dini. Tapi Bram tak pernah mau mengaku. Sampai suatu malam aku mendapatinya tengan berdua dengan Dini di ssbuah kafe, padahal sore harinya dia bilang padaku akan mengantar mamanya ke dokter. Kebohongan kuno yang paling lazim diucapkan.

Kemudian kubulatkan tekadku untuk meminta ketegasan Bram, siapa gadis yang dipilihnya. Meski entah kenapa aku yakin Bram akan memilih Dini, tapi tak urung hati kecilku berdebar penuh harap bahwa Bram akan memilih untuk tetap setia. Sebuah pengharapan yang wajar setelah hampir lima tahun kami menjalin hubungan sejak awal kuliah. Tak perlu lagi kuceritakan bagaimana kami bertemu. Sebuah kisah klasik senior yunior beda fakultas di kampus yang berlanjut menjadi hubungan tak terpisahkan. Awalnya.

“Jadi bagaimana, Bram? Aku perlu kepastian…” Bram diam menunduk. Entah kenapa dia tak berani menatap mataku seperti biasanya.

“Mmm…..maaf, Rin. Aku….aku akan menikah dengan Dini….” Bram berkata sangat hati-hati. Kupejamkan mataku menahan perih di ulu hati. Tak percaya bawa setitik harapku untuk tetap bersama Bram akhirnya benar-benar musnah. Kutahan sekuat tenaga air mata yang seakan ingin meluncur dari kedua mataku. ‘Aku tak boleh menangis di depannya. Aku harus kuat!’ Begitu bisik batinku.

“Baiklah…..jika itu yang kamu inginkan. Tapi, tolong jelaskan padaku, apa salahku, Bram?” Bram menggeleng.

“Kamu nggak salah. Aku lah yang salah karena tak setia. Dan kamu, kamu pantas mendapatkan yang lebih baik dariku, karena kamu juga baik, Arini…” sesaat aku tertegun. ‘Kau anggap baik saja kamu tinggalkan Bram. Apalagi jika aku seperti nenek sihir jahat. Entah apa yang akan kau timpakan padaku’ begitu kata hatiku tak terima.

“Ok. Kalau begitu pergilah. Aku tak butuh kamu lagi dan tak ingin melihatmu lagi….” kulipat kedua lututku, kudekap, dan kusembunyikan wajahku di sana. Tak tahan lagi. Air mata ini tak bisa dibendung lagi. Harus kulepaskan semua sesak yang menghimpit ini. Harus!

Dan tak kuhiraukan lagi Bram yang masih duduk di depanku hingga beberapa saat sebelum akhirnya dia melangkah meninggalkan teras. Kupandangi punggungnya dengan mata mengabur. Dan hampir semalaman aku menangis di teras sampai mbak Putri mengajakku masuk karena badanku menggigil. Demam.

Aku jatuh. Aku terpuruk dan sakit. Tapi hanya malam itu kubiarkan rasa sakit menderaku. Hari-hari berikutnya semua orang melihat betapa aku berjuang untuk tetap tegar dan meraih semua mimpiku. Mimpi yang mulai kurajut sejak ayahku meninggal karena serangan jantung dan tak terselamatkan.
*****

Aku menguap lebar saat masuk ke ruanganku. Segera kulemparkan tubuhku di sofa yang ada di sana, tanpa melepas baju operasi yang masih menempel di tubuhku. Dua CABG dalam semalam benar-benar melelahkan. Aku jadi berfikir, mengapa sepertinya makin banyak saja orang mati karena serangan jantung. Penyakit akibat gaya hidup yang tidak sehat. Gemar makan ‘enak’ lupa olah raga. Akibatnya, penyumbatan pembuluh darah, kolesterol tinggi, stroke dan serangan jantung.

Parahnya lagi, orang sering tidak menyadari bahwa dia sebenarnya sudah mengalami serangan jantung ringan hingga serangan jantung sesungguhnya menghampiri. Padahal sudah banyak artikel di media cetak, acara di TV juga artikel di berbagai blog dan situs yang membahas cara menghindari serangan jantung dan semua ‘kerabat dekatnya’. Tapi dasar manusia, mereka nampaknya lebih suka mengobati dari pada mencegah.

Setelah beberapa saat meluruskan pungung di sofa. Aku memutuskan untuk pulang. Rasanya, akan sangat nyaman jika bisa menikmati sarapan buatan Bi Supi bersama ibu. Dan setelahnya aku bisa tidur sampai siang.
Segera saja kuganti bajuku dengan pakaian ‘preman’ dan bergegas turun ke lobi mengunakan eskalator.Tapi belum lagi sampai di lobi, smartphone ku berbunyi. Dokter Kim Tae Joon. Waduh! Bisa-bisa operasi lagi nih.

“Anyeonghaseo. Ya dokter…?” dokter Kim memang dokter yang diimport dari Korea. Rumah sakit kekurangan dokter jantung yang mumpuni. Dia juga sekaligus ketua Tim Bedah Thorax.

“Yeoboseo. Arini, kamu di mana?”

“Saya mau pulang dok. Baru saja selesai CABG. Hari ini dan besok saya libur. Kenapa, dok?” tanyaku sambil terus melangkah keluar gedung rumah sakit.

“Bantu saya CABG lagi. Kamu jadi asisten saya saja. Please Arini…” dokter Kim memohon padaku.

“Dokter yang lain mana dok? Dokter Sujoko dan dokter Bastian kan hari ini jaga. Ke mana mereka?”

“Sujoko sedang sakit. Bastian sedang operasi juga. C’mon Arini. Pasien mengalami V-Tach. Harus segera ditolong…..!”

“Baik dokter. Saya segera ke atas. Lima menit lagi saya siap!” kataku sambil berlari ke atas. Kantuk dan penatku seakan lenyap. Bayangan ayah yang meninggal di depanku seperti membangkitkan sisi kemanusiaanku dan memberiku semangat untuk menolong orang. Dan dalam lima menit aku sudah siap di samping dokter Kim.

Ketrampilan dokter Kim ditambah kekompakan tim membuat operasi berjalan cepat. Rasa lelahku seolah terbayar setelah dokter Kim mengatakan ‘Selamat, kita sukses lagi!’

Tapi senyum di bibirku mendadak lenyap saat pasien yang baru saja operasi tadi dibawa melintas di depanku dengan brankar menuju ruang ICU. Meski sebagian wajahnya tertutup intubator, tapi aku sangat mengenalinya. Semua yang melekat di wajahnya masih kuingat jelas. Bram. Ya, dia Bram. Tapi mana Dini? Kenapa tak mendampinginya operasi? Saat pintu terbuka tadi aku hanya melihat seorang wanita paruh baya yang kuyakini sebegai tante Mirada mama Bram.

Berjuta pertanyaan kemudian muncul dalam benakku tentang Bram dan keluarganya. Cukup lama aku tertegun sampai tak menyadari suster sudah melepaskan sarung tanganku. Sarung tangan yang penuh darah bekas operasi. Darah Bram.

“What’s wrong with you, Arini?” tiba-tiba saja dokter Kim sudah berada di sampingku. Tepukan tangannya di bahu kiriku menyentakkanku.

“Anio, saya baik-baik saja, dokter” aku menggeleng tak yakin. Sesungguhnya ada gemuruh yang begitu terasa dalam dadaku.

“Is He your someone special?” aku menggeleng.

“Used to…” jawabku sambil meninggalkannya. Ya, dia pernah menjadi sangat istimewa untukku. Tapi untuk saat ini, entahlah. Aku sendiri tak bisa menterjemahkan gemuruh apa yang sedang kurasakan ini. Tak bisa.
******

Jam tiga sore. Aku baru saja keluar dari ruanganku. Seharian ini pasien begitu banyak. Ada yang kontrol pasca operasi, ada yang menyerahkan hasil laboratorium, ada juga yang sekedar konsultasi. Rata-rata mereka pasien limpahan dari dokter Kim Tae Joon. Dia sedang ke Korea untuk mengurus proposal studi yang kuajukan.

Saat melangkah pelan memyusuri koridor, memdadak aku ingat Bram. Sudah hampir seminggu setelah operasi. Kata dokter Bastian, kondisinya stabil bahkan sudah mulai bisa duduk meski sebentar. Nyeri dada pun tak pernah lagi. Jika kondisinya seperti itu terus, tak lama lagi dia bisa pulang.

Entah apa yang tengah kupikirkan, tanpa kusadari aku sudah berada di koridor kamar VIP tempat Bram dirawat. Kamar 308 adalah kamar Bram. Terrmangu sejenak aku di depan pintu. Ragu-ragu. Tapi saat mengintip ke dalam melalui jendela, dari balik tirai yang sedikit tersingkap, kulihat Bram tengah duduk di ranjangnya menikmati tayangan TV. Dari gambar yang sedang tayang, dia pasti tengah menonton berita.

Nggak ada yang berubah. Sejak dulu Bram memang penggemar berita TV. Dari berita politik sampai kriminal, dalam dan luar negeri semua dilahapnya. Tak heran wawasannya begitu luas. Dan untuk yang satu ini,negeri jujur saja masih kukagumi. Kalau saja……Ah, tak mau aku berandai-andai lagi. Faktanya memang Bram bukan untukku. Kalau saat ini aku ada di depan kamarnya, semata hanya ingin melihat keadaannya saja. Bagaimana pun aku yang menangani operasinya. Rasanya sesuatu yang wajar mengetahui kabarnya secara langsung.

Kulirik arlojiku. Jam besuk masih setengah jam lagi. Waktu yang cukup panjang untuk sekedar say hello.

“Apa kabar, Bram?” tanyaku setelah masuk dan menutup pintu perlahan. Kulihat dia hanya menoleh sekilas lalu kembali menatap layar TV. Dia pasti mengira aku dokter yang sedang visit rutin.

“Kabar baik dokter…..Arini? Kamu Arini kan?!” dia nampak terekejut setelah aku sampai di dekat ranjangnya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum seperlunya.

“Jantung kamu bagaimana, Bram? Sudah nggak nyeri dada lagi kan?” aku mengambil kursi dan duduk di situ.

“Alhamdulillah nggak. Tapi, dari mana kamu tahu aku sakit jan…..” Bram menggantung kalimatnya dan mengamati emblem yang ada di jas putihku. Ada nama dan gelarku di situ.

“Kamu…..kamu dokter jantung?! Syukurlah. Cita-cita kamu tercapai sudah….” lagi-lagi aku cuma tersenyum.

“Kamu sendiri, mana istri dan anak kamu? Kok sepertinyalagi-lagi, aku cuma lihat tante Miranda aja yang sering ke sini?”

Bram hanya diam. Wajahnya yang tadi cerah mendadak mendung. Lalu mengalirlah cerita kelam pernikahannya dengan Dini. Seorang wanita yang dia cintai setulis hati namun ternyata hanya mahir menyakiti hati. Bahkan saat dia terpuruk akibat perusahaannya terbakar, Dini justru meninggalkannya.

Aku merasa prihatin. Tapi cuma itu. Tak ada yang bisa kulakukan selain berkata “Sabar ya, Bram” dan disambutnya dengan anggukan pelan.

“Kamu sendiri, kamu sudah menikah, Rin?” aku menggeleng.

“Belum. Belum ketemu jodoh. Lagi pula, sepertinya aku sudah mati rasa, Bram” kataku datar sambil meliriknya, lalu memandang lurus ke arah jendela. Langit sore biru cerah. Tak seperti hatiku.

“Maksud kamu?” tanyanya tak paham.

“Dulu, sewaktu kita bersama, semua sudah kuserahkan padamu. Semua cinta, tanpa sisa. Lalu kau membakarnya habis, hingga kerontang dan gersang. Setelah itu, tak pernah lagi tumbuh cinta untuk lelaki manapun di hatiku. Bagiku cukup aku cintai Tuhanku, keluargaku dan sesama. Lebih tenang rasanya…” kataku datar. Lalu hingga beberapa saat kami hanya terdiam. Sampai kemudian…

“Rin, bagaimana jika aku kembali mengisi kosong hatimu, Rin? Ah..maaf….aku tahu, ini sangat memalukan. Setelah mengkhianatimu begitu rupa, seenaknya saja aku kembali. Tapi, jika aku berjanji untuk setia, apa masih ada hati untukku?” kulihat wajah Bram memerah.

“Aku tidak tahu, Bram. Apalagi, minggu depan aku akan kembali ke Korea hingga dua tahun ke depan”

“Korea?!”

“Ya. Aku harus belajar metode da Vinci dan auto transplantasi. Bukan hal yang mudah, karena berhubungan dengan nyawa manusia. Aku sudah mengambil gelar spesialis di sana, dan kini saatnya memperdalam ilmuku. Aku ingin menyelamatkan sebanyak mungkin nyawa dengan kemampuanku, Bram” Bram mangut-manggut.

“Jadi, semua tak mungkin lagi?”

“Kita lihat saja nanti. Jika kau bisa buktikan kau layak untuk kucintai, mungkin aku akan berubah pikiran. Atau, jika sepukang dari Korea nanti aku tidak mengandeng Siwon, Dong Hae, Ji Sung atau Hyun Bin, dan justru memintamu menjemputku di bandara, kau bisa berharap lebih”

“Ok, Rin. Aku janji akan jadi yang orang yang pantas bersanding denganmu. Aku akan berusaha keras” kusunggingkan senyum di sudut bibirku dan melangkah keluar. Tapi sampai di pintu kuhentikan langkahku.

“Satu lagi. Jaga jantung kamu. Nggak ada perempuan mana pun yang punya suami jantungan. Ok?!” Bram mengacungkan jempolnya dan aku pun keluar.

Entah mengapa sepanjang koridor aku merasa plong. Seperti ada beban yang terlepas dari pundakku. Aku tidak sedang menjanjikan apapun pada Bram. Aku hanya ingin di berubah menjadi pria setia. Soal hasil akhirnya dia dengan siapa, biar Tuhan yang memutuskan.

catatan :
CABG = Coronnary Artery Bypass Graft : operasi untuk mengatasi penyumbatan pada pembuluh arteri koroner.
V-Tach = Ventricuar Tacycardia : denyut jantung yang bsangat cepat melebihi normal dan bisa bakibat pada berhentinya denyut jantung
Metode da Vinci = metode operasi robotik dengan laparoskopi yang hanya akan meminimalkan beragam resiko pasca pembedahan
Autotransplantasi = metode transplantasi organ, jaringan atau protein dari bagian tubuhbyang satu ke bagian lain.
Korean :
Anyeonghaseo/yeoboseo = halo
Anio = tidak

Refrensi :
singhealth.com
en.wikipedia.org/wiki/Autotransplantation
http://health.kompas.com/read/2011/01/05/05475050/Cara.Baru.Bedah.Robotik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar