Malam yang sebenarnya sangat indah. Di langit, bintang bertaburan menemani
purnama yang benderang. Tapi bagiku, malam itu sungguh suram. Aku duduk
berhadapan dengan Bram di teras tempat kosku. Kebetulan hari ini sebagian
penghuni tengah pulang kampung hingga sedikit sunyi. Hampir satu jam lamanya
kami hanya berdiam. Aku dengan gemuruh hatiku dan Bram dengan pikirannya
sendiri.
Aku tengah menanti keputusan Bram, apakah akan memilih aku atau Dini. Sudah
cukup lama aku tahu Bram memindahkan hatinya pada Dini. Tapi Bram tak pernah
mau mengaku. Sampai suatu malam aku mendapatinya tengan berdua dengan Dini di
ssbuah kafe, padahal sore harinya dia bilang padaku akan mengantar mamanya ke
dokter. Kebohongan kuno yang paling lazim diucapkan.
Kemudian kubulatkan tekadku untuk meminta ketegasan Bram, siapa gadis yang
dipilihnya. Meski entah kenapa aku yakin Bram akan memilih Dini, tapi tak urung
hati kecilku berdebar penuh harap bahwa Bram akan memilih untuk tetap setia.
Sebuah pengharapan yang wajar setelah hampir lima tahun kami menjalin hubungan
sejak awal kuliah. Tak perlu lagi kuceritakan bagaimana kami bertemu. Sebuah
kisah klasik senior yunior beda fakultas di kampus yang berlanjut menjadi
hubungan tak terpisahkan. Awalnya.
“Jadi bagaimana, Bram? Aku perlu kepastian…” Bram diam menunduk. Entah
kenapa dia tak berani menatap mataku seperti biasanya.
“Mmm…..maaf, Rin. Aku….aku akan menikah dengan Dini….” Bram berkata sangat
hati-hati. Kupejamkan mataku menahan perih di ulu hati. Tak percaya bawa
setitik harapku untuk tetap bersama Bram akhirnya benar-benar musnah. Kutahan
sekuat tenaga air mata yang seakan ingin meluncur dari kedua mataku. ‘Aku tak
boleh menangis di depannya. Aku harus kuat!’ Begitu bisik batinku.
“Baiklah…..jika itu yang kamu inginkan. Tapi, tolong jelaskan padaku, apa
salahku, Bram?” Bram menggeleng.
“Kamu nggak salah. Aku lah yang salah karena tak setia. Dan kamu, kamu
pantas mendapatkan yang lebih baik dariku, karena kamu juga baik, Arini…”
sesaat aku tertegun. ‘Kau anggap baik saja kamu tinggalkan Bram. Apalagi jika
aku seperti nenek sihir jahat. Entah apa yang akan kau timpakan padaku’ begitu
kata hatiku tak terima.
“Ok. Kalau begitu pergilah. Aku tak butuh kamu lagi dan tak ingin melihatmu
lagi….” kulipat kedua lututku, kudekap, dan kusembunyikan wajahku di sana. Tak
tahan lagi. Air mata ini tak bisa dibendung lagi. Harus kulepaskan semua sesak
yang menghimpit ini. Harus!
Dan tak kuhiraukan lagi Bram yang masih duduk di depanku hingga beberapa
saat sebelum akhirnya dia melangkah meninggalkan teras. Kupandangi punggungnya
dengan mata mengabur. Dan hampir semalaman aku menangis di teras sampai mbak
Putri mengajakku masuk karena badanku menggigil. Demam.
Aku jatuh. Aku terpuruk dan sakit. Tapi hanya malam itu kubiarkan rasa sakit
menderaku. Hari-hari berikutnya semua orang melihat betapa aku berjuang untuk
tetap tegar dan meraih semua mimpiku. Mimpi yang mulai kurajut sejak ayahku
meninggal karena serangan jantung dan tak terselamatkan.
*****
Aku menguap lebar saat masuk ke ruanganku. Segera kulemparkan tubuhku di
sofa yang ada di sana, tanpa melepas baju operasi yang masih menempel di
tubuhku. Dua CABG dalam semalam benar-benar melelahkan. Aku jadi berfikir,
mengapa sepertinya makin banyak saja orang mati karena serangan jantung.
Penyakit akibat gaya hidup yang tidak sehat. Gemar makan ‘enak’ lupa olah raga.
Akibatnya, penyumbatan pembuluh darah, kolesterol tinggi, stroke dan serangan
jantung.
Parahnya lagi, orang sering tidak menyadari bahwa dia sebenarnya sudah
mengalami serangan jantung ringan hingga serangan jantung sesungguhnya
menghampiri. Padahal sudah banyak artikel di media cetak, acara di TV juga
artikel di berbagai blog dan situs yang membahas cara menghindari serangan
jantung dan semua ‘kerabat dekatnya’. Tapi dasar manusia, mereka nampaknya
lebih suka mengobati dari pada mencegah.
Setelah beberapa saat meluruskan pungung di sofa. Aku memutuskan untuk
pulang. Rasanya, akan sangat nyaman jika bisa menikmati sarapan buatan Bi Supi
bersama ibu. Dan setelahnya aku bisa tidur sampai siang.
Segera saja kuganti bajuku dengan pakaian ‘preman’ dan bergegas turun ke
lobi mengunakan eskalator.Tapi belum lagi sampai di lobi, smartphone ku
berbunyi. Dokter Kim Tae Joon. Waduh! Bisa-bisa operasi lagi nih.
“Anyeonghaseo. Ya dokter…?” dokter Kim memang dokter yang diimport dari
Korea. Rumah sakit kekurangan dokter jantung yang mumpuni. Dia juga sekaligus
ketua Tim Bedah Thorax.
“Yeoboseo. Arini, kamu di mana?”
“Saya mau pulang dok. Baru saja selesai CABG. Hari ini dan besok saya libur.
Kenapa, dok?” tanyaku sambil terus melangkah keluar gedung rumah sakit.
“Bantu saya CABG lagi. Kamu jadi asisten saya saja. Please Arini…” dokter
Kim memohon padaku.
“Dokter yang lain mana dok? Dokter Sujoko dan dokter Bastian kan hari ini
jaga. Ke mana mereka?”
“Sujoko sedang sakit. Bastian sedang operasi juga. C’mon Arini. Pasien
mengalami V-Tach. Harus segera ditolong…..!”
“Baik dokter. Saya segera ke atas. Lima menit lagi saya siap!” kataku sambil
berlari ke atas. Kantuk dan penatku seakan lenyap. Bayangan ayah yang meninggal
di depanku seperti membangkitkan sisi kemanusiaanku dan memberiku semangat
untuk menolong orang. Dan dalam lima menit aku sudah siap di samping dokter
Kim.
Ketrampilan dokter Kim ditambah kekompakan tim membuat operasi berjalan
cepat. Rasa lelahku seolah terbayar setelah dokter Kim mengatakan ‘Selamat,
kita sukses lagi!’
Tapi senyum di bibirku mendadak lenyap saat pasien yang baru saja operasi
tadi dibawa melintas di depanku dengan brankar menuju ruang ICU. Meski sebagian
wajahnya tertutup intubator, tapi aku sangat mengenalinya. Semua yang melekat
di wajahnya masih kuingat jelas. Bram. Ya, dia Bram. Tapi mana Dini? Kenapa tak
mendampinginya operasi? Saat pintu terbuka tadi aku hanya melihat seorang
wanita paruh baya yang kuyakini sebegai tante Mirada mama Bram.
Berjuta pertanyaan kemudian muncul dalam benakku tentang Bram dan
keluarganya. Cukup lama aku tertegun sampai tak menyadari suster sudah
melepaskan sarung tanganku. Sarung tangan yang penuh darah bekas operasi. Darah
Bram.
“What’s wrong with you, Arini?” tiba-tiba saja dokter Kim sudah berada di
sampingku. Tepukan tangannya di bahu kiriku menyentakkanku.
“Anio, saya baik-baik saja, dokter” aku menggeleng tak yakin. Sesungguhnya
ada gemuruh yang begitu terasa dalam dadaku.
“Is He your someone special?” aku menggeleng.
“Used to…” jawabku sambil meninggalkannya. Ya, dia pernah menjadi sangat
istimewa untukku. Tapi untuk saat ini, entahlah. Aku sendiri tak bisa
menterjemahkan gemuruh apa yang sedang kurasakan ini. Tak bisa.
******
Jam tiga sore. Aku baru saja keluar dari ruanganku. Seharian ini pasien
begitu banyak. Ada yang kontrol pasca operasi, ada yang menyerahkan hasil
laboratorium, ada juga yang sekedar konsultasi. Rata-rata mereka pasien
limpahan dari dokter Kim Tae Joon. Dia sedang ke Korea untuk mengurus proposal
studi yang kuajukan.
Saat melangkah pelan memyusuri koridor, memdadak aku ingat Bram. Sudah
hampir seminggu setelah operasi. Kata dokter Bastian, kondisinya stabil bahkan
sudah mulai bisa duduk meski sebentar. Nyeri dada pun tak pernah lagi. Jika
kondisinya seperti itu terus, tak lama lagi dia bisa pulang.
Entah apa yang tengah kupikirkan, tanpa kusadari aku sudah berada di koridor
kamar VIP tempat Bram dirawat. Kamar 308 adalah kamar Bram. Terrmangu sejenak
aku di depan pintu. Ragu-ragu. Tapi saat mengintip ke dalam melalui jendela,
dari balik tirai yang sedikit tersingkap, kulihat Bram tengah duduk di
ranjangnya menikmati tayangan TV. Dari gambar yang sedang tayang, dia pasti
tengah menonton berita.
Nggak ada yang berubah. Sejak dulu Bram memang penggemar berita TV. Dari
berita politik sampai kriminal, dalam dan luar negeri semua dilahapnya. Tak
heran wawasannya begitu luas. Dan untuk yang satu ini,negeri jujur saja masih
kukagumi. Kalau saja……Ah, tak mau aku berandai-andai lagi. Faktanya memang Bram
bukan untukku. Kalau saat ini aku ada di depan kamarnya, semata hanya ingin
melihat keadaannya saja. Bagaimana pun aku yang menangani operasinya. Rasanya
sesuatu yang wajar mengetahui kabarnya secara langsung.
Kulirik arlojiku. Jam besuk masih setengah jam lagi. Waktu yang cukup
panjang untuk sekedar say hello.
“Apa kabar, Bram?” tanyaku setelah masuk dan menutup pintu perlahan. Kulihat
dia hanya menoleh sekilas lalu kembali menatap layar TV. Dia pasti mengira aku
dokter yang sedang visit rutin.
“Kabar baik dokter…..Arini? Kamu Arini kan?!” dia nampak terekejut setelah
aku sampai di dekat ranjangnya. Aku hanya mengangguk dan tersenyum seperlunya.
“Jantung kamu bagaimana, Bram? Sudah nggak nyeri dada lagi kan?” aku
mengambil kursi dan duduk di situ.
“Alhamdulillah nggak. Tapi, dari mana kamu tahu aku sakit jan…..” Bram
menggantung kalimatnya dan mengamati emblem yang ada di jas putihku. Ada nama
dan gelarku di situ.
“Kamu…..kamu dokter jantung?! Syukurlah. Cita-cita kamu tercapai sudah….”
lagi-lagi aku cuma tersenyum.
“Kamu sendiri, mana istri dan anak kamu? Kok sepertinyalagi-lagi, aku cuma
lihat tante Miranda aja yang sering ke sini?”
Bram hanya diam. Wajahnya yang tadi cerah mendadak mendung. Lalu mengalirlah
cerita kelam pernikahannya dengan Dini. Seorang wanita yang dia cintai setulis
hati namun ternyata hanya mahir menyakiti hati. Bahkan saat dia terpuruk akibat
perusahaannya terbakar, Dini justru meninggalkannya.
Aku merasa prihatin. Tapi cuma itu. Tak ada yang bisa kulakukan selain
berkata “Sabar ya, Bram” dan disambutnya dengan anggukan pelan.
“Kamu sendiri, kamu sudah menikah, Rin?” aku menggeleng.
“Belum. Belum ketemu jodoh. Lagi pula, sepertinya aku sudah mati rasa, Bram”
kataku datar sambil meliriknya, lalu memandang lurus ke arah jendela. Langit
sore biru cerah. Tak seperti hatiku.
“Maksud kamu?” tanyanya tak paham.
“Dulu, sewaktu kita bersama, semua sudah kuserahkan padamu. Semua cinta,
tanpa sisa. Lalu kau membakarnya habis, hingga kerontang dan gersang. Setelah
itu, tak pernah lagi tumbuh cinta untuk lelaki manapun di hatiku. Bagiku cukup
aku cintai Tuhanku, keluargaku dan sesama. Lebih tenang rasanya…” kataku datar.
Lalu hingga beberapa saat kami hanya terdiam. Sampai kemudian…
“Rin, bagaimana jika aku kembali mengisi kosong hatimu, Rin? Ah..maaf….aku
tahu, ini sangat memalukan. Setelah mengkhianatimu begitu rupa, seenaknya saja
aku kembali. Tapi, jika aku berjanji untuk setia, apa masih ada hati untukku?”
kulihat wajah Bram memerah.
“Aku tidak tahu, Bram. Apalagi, minggu depan aku akan kembali ke Korea
hingga dua tahun ke depan”
“Korea?!”
“Ya. Aku harus belajar metode da Vinci dan auto transplantasi. Bukan hal
yang mudah, karena berhubungan dengan nyawa manusia. Aku sudah mengambil gelar
spesialis di sana, dan kini saatnya memperdalam ilmuku. Aku ingin menyelamatkan
sebanyak mungkin nyawa dengan kemampuanku, Bram” Bram mangut-manggut.
“Jadi, semua tak mungkin lagi?”
“Kita lihat saja nanti. Jika kau bisa buktikan kau layak untuk kucintai,
mungkin aku akan berubah pikiran. Atau, jika sepukang dari Korea nanti aku
tidak mengandeng Siwon, Dong Hae, Ji Sung atau Hyun Bin, dan justru memintamu
menjemputku di bandara, kau bisa berharap lebih”
“Ok, Rin. Aku janji akan jadi yang orang yang pantas bersanding denganmu.
Aku akan berusaha keras” kusunggingkan senyum di sudut bibirku dan melangkah
keluar. Tapi sampai di pintu kuhentikan langkahku.
“Satu lagi. Jaga jantung kamu. Nggak ada perempuan mana pun yang punya suami
jantungan. Ok?!” Bram mengacungkan jempolnya dan aku pun keluar.
Entah mengapa sepanjang koridor aku merasa plong. Seperti ada beban yang
terlepas dari pundakku. Aku tidak sedang menjanjikan apapun pada Bram. Aku
hanya ingin di berubah menjadi pria setia. Soal hasil akhirnya dia dengan
siapa, biar Tuhan yang memutuskan.
catatan :
CABG = Coronnary Artery Bypass Graft : operasi untuk mengatasi penyumbatan pada
pembuluh arteri koroner.
V-Tach = Ventricuar Tacycardia : denyut jantung yang bsangat cepat melebihi
normal dan bisa bakibat pada berhentinya denyut jantung
Metode da Vinci = metode operasi robotik dengan laparoskopi yang hanya akan
meminimalkan beragam resiko pasca pembedahan
Autotransplantasi = metode transplantasi organ, jaringan atau protein dari
bagian tubuhbyang satu ke bagian lain.
Korean :
Anyeonghaseo/yeoboseo = halo
Anio = tidak
Refrensi :
singhealth.com
en.wikipedia.org/wiki/Autotransplantation
http://health.kompas.com/read/2011/01/05/05475050/Cara.Baru.Bedah.Robotik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar