meta content='IE=EmulateIE7' http-equiv='X-UA-Compatible'/> Maraza's Antology: Rinduku dan Puisimu

Jumat, 28 Juni 2013

Rinduku dan Puisimu


‘Ada rindu…
Dua gelas kopi meruapkan aroma pagi
Senja sudah lama terlelap
Embun mulai muncul di daun-daun hati
Ada rindu yang mengantarkanku padamu
Dan…
Tiba-tiba saja jalan itu penuh dengan namamu
Sementara aku hanya bisa merangkum aromamu
Disela-sela kabut yang teramat tipis’


Aku tersenyum membaca larikan puisi dari Val, yang dikirim untukku pagi ini. Dia seperti selalu tahu aku sedang memikirkannya sambil berusaha memunculkan bayangannya dari asap kopi yang masih mengepul. Puisi yang selalu kuanggap seperti ledekan bagiku yang tak paham diksi. Tapi entahlah. Aku selalu bisa menikmati puisi Val. Menyenangkan dan hangat di hati.
Aku jadi ingat pertemuanku dengan Val dulu. Aku baru saja menyelesaikan lari pagiku, dan kulihat tak ada lagi bangku taman yang kosong untuk beristirahat. Terpaksa, aku menghampiri sebuah bangku yang diduduki seorang gadis manis. Kostum olah raganya membuatnya terlihat semakin manis. Ponny tail dan keringat yang mengalir di kening dan pelipisnya membuatnya terlihat segar. Dia duduk dan sedang memainkan jemarinya di atas layar sentuh sebuah gadget model terbaru.
Aku diam saja dan hanya menikmati lalu lalang orang di taman sembari menenggak habis air mineral di tanganku. Sampai kemudian aku mendengar seseorang menyapaku.
“Habis jogging?” aku menoleh dan kudapati dia tersenyum manis. Pipi chubbynya membuatku gemas. Kalau saja dia kekasihku, pasti sudah kucubit pipinya.
“Ah….eh…iya” cuma itu yang keluar. Padahal tadi begitu banyak kata di benak ingin terucap. ‘Dasar pengecut tingkat dewa!’ gerutuku dalam hati.
Tapi ternyata pagi itu dalah pagi keberuntungan pertama bagi si pengecut ini. Pagi-pagi berikutnya, acara joggingku selalu diisi senyum manis, tawa renyah dan sapaan ramah Val, si ponny tail girl.
Lalu kemudian aku juga tahu, bahwa dia suka sekali menulis puisi. Meski aku tergolong bodoh soal diksi dan hanya tahu Dipsy si teletubbies, tapi entah mengapa puisi Val terasa begitu indah. Meski kata temanku si tukang gerutu itu, bilang indah tapi tak paham sama dengan goblog, aku gak peduli. Apalagi suatu hari dia menulis sebuah puisi indah untukku.

‘Seminggu ini badai hujan melanda kotaku
Tak seperti yang lain bersungut-sungut dan menggerutu,
Aku justru sangat menikmati itu
Hujan memuaskan hasratku akan dirimu
Dalam bening yang meluruh muncul gradasimu
Sejuk menenangkan, lembut, kilau
Dalam irama gemericik beradu
Lagu-lagu rindu terlantun untukku
Bulirnya menabuh dedaunan lalu luruh ke tanah
Pun aroma basah yang kuhirup dalam-dalam
Memenuhi rongga dada
Akan setia yang kultus padamu
Entah bagaimana mesti menjelaskannya
Hari-hari indah yang kubingkai bersama bujan
Sejak tatapan kita beradu pandang
Tentang dua pasang mata yang dilabur kemesraan
Tentang dua hati yang erat bertautan
Kadang aku tak ingin hujan ini berhenti
Supaya aku dapat menahanmu
Untuk dapat kunikmati sendiri
Disini’


“Apa artinya, Val?” kutanyakan itu melalui telepon. Saat itu adalah bulan-bulan pertama aku jauh dari Val. Dia baru saja memulai karirnya di negeri beton, Hong Kong. Negerinya para selebriti Kung Fu Shaolin.

“Aku mencintaimu, Vano” lugas, polos dan tanpa tedeng aling-aling. Meski aku juga penasaran, seperti apa warna pipi chubbynya saat itu?

“Sejak kapan? Kau tak pernah memberi tanda…” cupuku kambuh.

“Sejak saat itu. Sejak kau duduk di sebelahku, cuek tanpa sapa, dan hanya sibuk dengan air mineral dan lalu lalang orang di taman” Oh God! Jadi Val diam-diam juga memperhatikanku? ‘Thank’s God’

“Tapi, apa yang membuatmu tertarik? Biasanya orang akan menyukai seseorang dengan hobi yang sama. Padahal aku, membuat sebaris gombalan saja aku tak bisa” aku berbohong. Padahal sejak mengenal Val dan sering membaca puisi yang dipublish di blog pribadinya, aku pun mulai tertarik pada puisi meski tak bisa membuat secantik milik Val.

“Aku menyukai lelaki yang suka berolah raga. Dengan kostum olah raga dan keringat yang berleleran di sekujur tubuhnya. Dan saat melihatmu saat itu, kurasa feromon di tubuhmu sudah mengirimkan sinyal dan ditangkap oleh feromon tubuhku. Lalu otakku menterjemahkan sesuatu yang kusebut suka”

“Hanya suka?” potongku. Biasa, kepo yang lumayan kronis.

“Tunggu. Semakin sering bersamamu, rasa suka itu berubah dan mampu membuat aku menangis saat melihatmu meninggalkan bandara usai mengantarku. Mampu membuat aku menggigil saat aku sadar aku sendiri di sini dan jauh darimu. Saat aku mulai berangan, betapa nyaman jika saat lelahku ada kamu untuk bersandar”

Aku hanya diam mendengar penjelasan Val. ‘Asal kau tahu Val, aku pun merasakan yang sama. Ada yang hampa jika malam tiba. Hanya mampu menatap bulan tanpa kawan’. Haaahhh! Puitisnya. Maksudku, betapa aku juga sangat memerlukannya. Ingin selalu bersamanya dan menjaganya. Apalagi aku tau dari ceritanya, masa lalunya begitu rumit. Ingin rasanya selalu bisa melindunginya dengan segenap jiwa dan raga. ‘Haduuh. parah banget bahasanya’

“Jadi bagaimana?” Pertanyaan Val menyentakkanku dari lamunan.

“I love you too. Sejak saat yang sama dan dengan alasan serupa” kataku ringan. Plong. Lega rasanya.

Sejak itu aku dan Val bagaikan dua pujangga yang dilanda cinta. Satu pujangga kawakan dan satu pujangga amatiran. Tapi siapa peduli pujangga macam apa yang sedang dilanda cinta? Yang pasti, rasa cinta yang kami tautkan satu sama lain mampu membuat kami bersinergi meski cuma dalam tulisan. Aku serig menjadikan puisi Val bagian tulisan fiksiku. Fiksi yang juga tanpa diksi tingkat tinggi. Kadang aku juga membuatkannya sebaris puisi sederhana yang kukirim dalam bentuk SMS.

‘Jika hujan akan memunculkan gradasiku, maka kepulan asap kopi yang kuseduh selalu membentuk bayangmu di langit-langit sepi hatiku’.

Jika sudah begitu maka tak lama kemudian pasti segera berbunyi dan akan terlihat emotico smile di sana. Entah. Apakah Val bahagia atau suka dengan puisi yang kutulis, atau justru sebaliknya mentertawakannya. Aku tak peduli. Karena bagiku butuh perjuangan lebih untuk sekedar menulis kata indah. Apalagi yang bermakna.

‘Ah….Val. Kau seperti selalu tahu aku disini digulung rindu yang tak tahu malu. Rindu yang tanpa sungkan selalu hadir di saat-saat tertentu dan berhasil memalingkanku dari kesibukanku. Selalu berhasil membuatku lebih bersemangat untuk mejadi lelaki surga bagimu. Yang akan selalu membanggakanmu dan bangga akan dirimu’

Seperti pagi ini. Saat aku tengah menyeduh kopi sambil membayangkan wajahnya, tiba-tba saja hapeku berbunyi dan larikan puisinya membuat pagiku hangat dan bersemangat. Dinginnya udara sisa hujan semaam tak lagi terasa. Dan entah mengapa hari ini ingin juga kutulis beberapa baris puisi untuknya.

‘Jika Tuhan mengijinkan
Aku ingin menjadi sel darah
Agar aku bisa bersemayam di rongga jantungmu
Dan merasakan degupnya saat kau merindukanku
Agar bisa mengalir ke paru-parumu
Dan merasakan desiran nafasmu saat kau sebut namaku
Agar aku bisa mengalir ke segenap pembuluh kapiler di pipimu
Dan bisa melihat betapa merah pipimu saat aku menggodamu
Agar aku bisa menjadi bagian hidupmu seutuhnya
Tanpa harus terpisahkan oleh sesuatupun
Aku merindukanmu Val’*)


Lalu aku klik tombol SEND, sambil menghirup sisa kopi di cangkirku. Pagi memang masih sangat muda. Tapi merindukannya saja tak kan pernah cukup. Aku harus berisaha jadi lelaki sempurna. Setidaknya di matanya.
‘Pulanglah segera Val…aku merindukanmu’

**Dari puisi-puisi Valencya Poetri, kecuali yang bertanda bintang.

5 komentar:

  1. Balasan
    1. mbak, benerin settingnya tuh, banayk yang kesulitan masuk dari hape, hehehehe

      Hapus
  2. Halo mbak, sekali-kali pakai nama saya dong :P

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak...kapan2 dipake..eh kok dah tahu aku disini sekarang? pasti dikasih tahu valen.
      padahal aku baru mau ngasih tahu
      thanks ya kunjungannya

      Hapus