meta content='IE=EmulateIE7' http-equiv='X-UA-Compatible'/> Maraza's Antology: Mbakyuku Kinasih 1 : Maafkan Saya Mbakyu

Minggu, 30 Juni 2013

Mbakyuku Kinasih 1 : Maafkan Saya Mbakyu

Aku sedang menyelesaikan piketku hari itu. Senin pagi adalah giliranku bersama Hamid, Tomo dan Sanusi rekan satu selku untuk menyiapkan sarapan bagi para penghuni Lapas. Tugas kami seperti biasa adalah menanak nasi bagi ratusan napi beserta para sipir dan staff di lapas ini. Sementara napi yang lain menyiapkan sayur dan lauk berupa Oseng Buncis, Telur Dadar dan Tempe Goreng. Menu yang tergolong mewah untuk para pesakitan seperti kami.
Saat semua sudah siap dan tinggal menunggu jam makan pagi tiba, sipir Hakim datang menghampiriku yang sedang mengangkat satu dandang besar nasi bersama Tomo.
“Widodo, ada tamu untukmu!”
“Siapa pak? Bapak angkat saya?” tanyaku sambil terus melangkah menuju ruang makan dan meletakkan nasi yang masih mengepul asapnya itu di sisi meja besar tempat menyusun piring dan sendok.
“Bukan. Perempuan. Tapi selama aku bertugas di sini, aku belum pernah melihatnya mengunjungimu” sipir Hakim memang baru dua bulan bertugas disini. Sementara aku sudah hampir satu tahun menginap di hotel prodeo ini.
“Baik pak. Saya cuci tangan dulu. Tomo, kamu minta bantuan Hamid atau Sanusi saja ya? Paling aku sebentar aja. Belum tahu juga siapa yang mencariku…” kataku pada Tomo sambil membersihkan tanganku lalu merapikan pakaianku ala kadarnya. Lagi pula, apanya lagi yang mau dirapikan? Seragam biru-biru ini adalah pakaian kebesaran kami para penghuni lapas.
Sambil berjalan menuju ruang untuk menerima tamu, aku terus bertanya dalam hatiku. Ada perempuan mengunjungiku sepagi ini di penjara. Siapa? Selama aku tinggal di kota ini, aku tak terlalu banyak punya teman apalagi perempuan. Teman pria saja semenjak aku di penjara tak pernah lagi menanyakan kabarku. Mereka seperti enggan untuk mengenal apalagi berteman denganku. Status sebagai narapidana ternyata mampu membuatku kehilangan banyak hal.
Sampai di ruangan untuk menerima tamu, mataku menangkap sosok yang sangat kukenal. Dan seketika tubuhku gemetar, sendi-sendiku terasa lemas dan nafasku sesak. Aku menghentikan langkahku dan kembali ke dalam diiringai pandangan bingung sipir Hakim.
Kusandarkan tubuhku di dinding. Aku tak sanggup lagi berjalan. Dadaku kian nyeri dan nafasku semakin sesak.
“Wid…Widodo! Kamu kenapa? Kamu sakit?” sipir Hakim menghampiriku dan duduk di depanku. Aku diam saja sambil mengatur nafasku. Setelah sedikit lebih lega aku segera berdiri dan melangkah kembali ke ruang makan.
“Widodo! Kamu tidak ingin bertemu dengan pembesukmu?!” Tanya sipir Hakim melihatku kembai ke tempat piketku.
“Maaf pak. Tapi saya minta tolong pada bapak, katakan padanya saya belum siap ketemu dengannya pak. Tolong” aku memohon pada sipir Hakim. Sipir Hakim menggedikkan bahunya dan menggelengkan kepala, heran dengan sikapku. Tapi aku tak peduli. Yang aku inginkan sekarang adalah menenangkan diri.
“Baiklah. Akan aku sampaikan padanya. Tapi kamu yakin baik-baik saja?” Aku hanya mengangguk dan berlalu meninggalkannya menuju uang makan.
Tapi sepanjang pagi itu hingga malam tiba, pikiranku tak pernah lepas dari peremuan berjilbab yang tadi bermaksud membesukku. Dan mengingatnya selalu saja menghadirkan lagi rasa berdosa yang selama ini berusaha kuhilangkan dengan sekuat tenaga. Tapi rupanya aku tak berhasil. Perasaan itu selalu saja menghinggapiku bila mengingatnya, terlebih bila kuingat kelakuanku yang memalukan yang secara tidak langsung membuatku akhirnya terdampar di tempat ini.
Namanya Sri Utari. Sejak aku tinggal di desa itu, aku hanya tahu dia seorang janda. Yang membuat aku prihatin, dia menjadi janda karena suaminya meninggal, hanya tiga bulan setelah mereka menikah. Saat kemesraan masih hangat-hangatnya, saat manisnya madu pernikahan seharusnya masih mereka kecap, tapi Utari harus kembali sendiri. Kesendirian yang menyakitkan dibandingkan menjadi lajang.
Tak seorang perempuan pun di muka bumi ini yang ingin menyandang status janda. Aku ingat betul saat ayahku baru meninggal dunia, ibuku harus berjuang mati-matian tidak hanya untuk menghidupi anak-anaknya, tapi juga untuk menepis anggapan miring tentang seorang janda. Saat itu ibuku sering dikabarkan menerima lelaki yang bukan muhrim di rumah. Dan semua itu tentu saja hanya isapan jempol belaka. Karena aku sebagai anak bungsunya lah yang sehari-hari menemani ibuku. Dan aku bisa melihat sendiri, ibuku bukan tipe wanita yang kendho tapihe alias tidak kuat iman. Sampai meninggalnya pun, ibuku tetap sendiri.
Pun demikian dengan Utari. Selama aku mengenalnya, aku tidak pernah melihatnya bertingkah aneh-aneh. Dia memang ramah pada siapapun yang ditemuinya. Tapi hanya menyapa ala kadarnya, bukan genit. Dia juga sangat santun dalam berbusana. Selalu menutup auratnya dengan sempurna kemanapun dia pergi. Dan tujuanya pun hanya ke pasar, untuk sekedar membeli bahan untuk dagangannya.
Sepulang dari pasar, dia kembali akan menutup pintu rumahnya dan memasak makanan yang dia jual, hingga menjelang Ashar. Dan selepas Ashar hingga menjelang Maghrib dia akan berjualan di depan rumahnya atau lebih tepatnya di teras rumahnya .Makanan yang enak dan harga yang murah membuat Utari tak perlu waktu lama untuk menghabiskan dagangannya. Tanpa diundang pun pelanggan akan datang untuk membeli Pecel dan Mendoan buatan Utari. Apalagi Utari juga seorang pedagang yang ramah. Sehingga pelanggannya merasa nyaman membeli dagangannya.
Setelah dagangan habis, Utari kembali akan mengunci rapat pintu rumahnya dan baru akan keluar selepas Subuh untuk ke pasar seperti yang biasa kulihat setiap aku pulang dari mushola.
Sebagai laki-laki, jujur saja aku sering dibuat penasaran oleh Utari. Bicaranya yang singkat dan seperlunya, justru membuatku makin ingin mengenalnya. Dia memang lebih tua beberapa tahun dariku. Tapi yang aku tahu, tak ada undang-undang atau hukum yang melarang seorang pria mencintai wanita yang lebih tua. Tapi itulah, aku selalu merasa kalah wibawa jika sudah berada di depan Utari. Kematangannya dalam menghadapi hidup membuat nyaliku ciut kendati dalam hatiku ada ribuan kata yang ingin kuungkapkan. Yang jika diringkas hanya akan menjadi “Aku menyukai Mbakyu…”
Haduuh….! Aku seringkali merasa kuwalahan membendung hasratku sendiri. Entahlah. Padahal tak sedikit cemooh kudapatkan dari orang-orang di sekelilingku saat aku ceritakan bahwa aku menyukai Utari. Tapi ya wis ben(biarlah). Aku menyukai Utari bukan hanya karena dia cantik. Tapi menurutku dia layak untuk dicintai juga dilindungi. Semakin sering kudengar cemooh, makin kuat tekadku untuk meminang Utari.
Apalagi menurutku, aku punya cukup modal untuk melamarnya. Aku bukan pengangguran. Aku punya penghasilan tetap meski mungkin pas-pasan. Dan biarpun tak bisa menjamin kehidupan yang mewah bagi Utari, setidaknya kami tidak kelaparan. Ah….angan yang terlalu muluk buat perjaka tanggung seperti aku. Meski demikian, suatu hari aku beranikan diri untuk menyatakan keinginanku. Tapi apa jawabnya?
“Maaf Dhimas. Saya menghargai niat baik dhimas. Tapi sekali lagi maaf. Saya belum berpikir untuk menikah kembali. Saya masih ingin menikmati kenangan saya bersama kangmas. Nyuwun ngapunten(maaf)Dhimas” jawabnya seraya menundukkan kepala.
“Apa karena saya terlalu muda untuk Mbakyu?”
“Bukan. Bukan karena Dhimas terlalu muda. Tapi karena saya memang belum ingin meninggalkan kenangan saya bersama suami saya. Siapa tahu saja, di akhirat kelak saya bisa menjadi bidadarinya di surga”
Subhanallah….sampai segitu mikirnya? Kalau bukan wanita sholeha, pasti dia sudah mencari pengganti suaminya sejak beberapa tahun silam. Padahal hingga saat ini, sudah enam tahun dia menjanda. Tapi Allah memang Maha Mengatur segalanya. Dan rupanya aku memang harus kecewa meski sebenarnya aku juga ingin dia menjadi bidadariku di surga nanti.
Hari terus berganti. Penolakan Utari tak menyurutkan hasratku untuk terus memujanya. Apalagi setiap melihat senyum dan mendengar sapanya yang lembut, jiwa lelakiku seakan ingin berontak. Rasanya tak cukup bagiku hanya mendengar kalimat ‘mari Dhimas, saya duluan’ atau ‘sugeng enjang(selamat pagi) Dhimas’. Aku ingin Utari jujur menyatakan perasaannya bahwa dia juga menyukaiku.
Terdengar agak sedikit memaksa memang. Tapi itulah yang ingin kudengar darinya.
Dan keinginan itu mendorongku untuk melakukan hal yang selama ini kubayangkan pun tidak. Menyatroni rumah Utari saat gulita masih menyelimuti. Hari pertama Ramadhan tahun lalu itu menjadi saksi kegilaanku akan Utari.
Malam itu aku tak bisa tidur barang semenitpun. Syahwatku berontak. Berbagai cara telah kulakukan tapi tak berhasil meredamnya. Dan entah mengapa malam itu bayangan Utari berkeliaran dalam benakku. Aku tahu, sangat tahu bahwa dia bukan hakku. Aku tak boleh menjamahnya. Aku juga tahu dan sangat bisa membayangkan, apa yang akan dibicarakan banyak orang jika aku sampai menyalurkan hasrat gilaku ini pada Utari. Namun aku tak bisa menahannya.
Selepas makan sahur, aku berjalan menuju rumah Utari. Setan telah menuntunku untuk mengetuk pintu rumahnya yang selalu terkunci rapat seperti pintu hatinya.
Setelah dibukakan pintu, segera aku merangsek masuk dan memeluknya meski aku tahu dia masih mengenakan mukena pertanda baru selesai sholat malam. Dia meronta. Sekali, berhasil dan lari masuk ke kamar. Aku mengejarnya dan terus mengejarnya hingga dia tak bisa mengelak lagi. Kucengkeram wajahnya dan berusaha untuk memagut bibir merahnya.
“Istigfar Dhimas…istighfar! Kita bukan suami istri!” Utari mengingatkanku sambil terus berusaha melepaskan diri. Tapi aku seperti kesetanan dan tak peduli ucapannya. Terus saja kujelajahi seluruh tubuhnya yang masih berbalut mukena sambil berusaha untuk mencumbunya.
Busyet!” batinku. “Susah juga perempuan ini ditaklukkan
“Sudahlah Mbakyu, tidak usah munafik. Katakan saja Mbakyu juga menginginkan ini! Sudah enam tahun Mbakyu menjanda. Saya yakin Mbakyu pun merindukan belaian dan dekapan seorang pria!” aku masih memeluknya erat bahkan aku sudah berani membuka paksa mukena dan kerudungnya.
Sementara itu, kulihat Utari berlinang air mata. Wajahnya pun memucat dan bibirnya bergetar. Terlihat sekali rona ketakutan di wajah cantiknya. Namun bukannya iba, aku semakin gila. Bibir yang  bergetar itu terlihat begitu ranum dan menggiurkan. Dan aku, Widodo Jatmiko ingin sekali memagutnya. Kesempatan tak kan datang dua kali.
Tapi aku tak lagi menggunakan cara kasar. Aku ingat kalau perempuan itu suka kelembutan karena dia ibarat gelas kristal. Ceroboh sedikit saja maka….prang! Pecahlah kristal itu.
Aku mencoba bersikap lembut pada Utari. Rambutnya yang tergerai indah kubelai dengan lembut. Lalu perlahan kudekatkan wajahku ke wajahnya untuk segera kunikmati sensasi yang sudah semalaman kuimpikan.
Namun tiba-tiba mataku melihat deretan ayat-ayat suci Al Qur’an yang tertempel didinding di belakang kepala Utari. Meski tak berisi penjelasan tentang seberapa besar dosa yang kulakukan, ayat-ayat itu seperti menamparku dan mengingatkanku bahwa perempuan bukan untuk didzolimi tapi dilindungi.
“Astaghfirullah hal adziim….” Kuhempaskan tubuh Utari dan kubalikkan badanku. Tubuhku pun kini gemetar. Bukan. Bukan karena hasrat menggelora yang tak tersalurkan, tapi lebih karena seperti tertampar dan menyadari bahawa aku telah melakukan sebuah kebodohan.
Kusandarkan kepalaku di kusen pintu kamar Utari. Sekilas kulihat dia terduduk lemas di lantai dan menagis tersedu sambil menutupi kepalanya dengan sarung. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Hanya isakan yang semakin jelas terdengar.
Ya Allah….apa yang bau saja kulakukan? Perempuan ini begitu kucintai. Tapi setan mana yang Kau biarkan membujukku untuk menjamahnya? Dia buka hakku. Dia bukan untukku. Dia perempuan yang begitu setia pada suaminya. Seharusnya aku menghormatinya, melindunginya atau menjaganya. Tapi…Astaghfirullah hal adziim….”
Air mataku mengalir tanpa isakan. Penyesalanku terlalu dalam. Tapi aku tak mampu mengatakan apapun selain “Maafkan saya Mbakyu, saya khilaf…” dan berlari meninggalkannya menembus gelapnya dini hari itu.
Aku terus saja berlari tanpa peduli apapun lagi. Aku hanya tahu aku sudah melakukan kesalahan besar dan rasanya tak punya muka lagi jika harus bertemu dengan Utari. Dan di dini hari itu, seorang pemuda mabuk tertabrak olehku yang sedang berlari menghindari rasa bersalahku. Pemuda itu mengamuk dan menyerangku dengan botol minuman kerasnya namun berhasil kutangkis bahkan aku membalikkan serangannya dan melukai kepalanya hingga dia tak sadarkan diri.
Peristiwa dini hari itulah yang menghantarkanku sampai di penjara ini. Dianggap melakukan penyerangan meski aku hanya membela diri.
Andai saja aku tidak melakuka kebodohan itu, mungkin aku masih bisa memandang senyum indah Utari, Mbakyuku Kinasih. Masih bisa mendengar sapaan santunya setiap pagi dan masih berani menatap matanya untuk sekedar mengatakan “Saya mencintai Mbakyu” meski cuma dalam hati.
Maafkan saya Mbakyu….(bersambung)

2 komentar:

  1. keren banget mbak !! aku tunggu lanjutannya, :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. lanjutannya udah tayang tuh...tapi peringatan. ini nggak hepi ending lho. jadi siapin sebanyaknya tisue, sapu tangan, serbet, sampai kain pel. siapa tahu banjir air mata

      Hapus