meta content='IE=EmulateIE7' http-equiv='X-UA-Compatible'/> Maraza's Antology: Sri Panggung

Sabtu, 29 Juni 2013

Sri Panggung

Menarilah hingga kamu tak sanggup lagi menari. Menarilah hingga hembusan nafasmu yang terakhir. Biarkanlah panggung itu menjadi saksi betapa kamu mencinta dan mengabdi kepada seni sama tulusnya dengan mengabdi pada suamimu dan keluargamu.
***@***

“Kamu ndak dandan? Sebentar lagi tobong dibuka lho dik!” Suara lelaki itu mengagetkan Wulan yang tengah berbaring di biliknya. Lelaki yang ternyata adalah Wahyu, suaminya itu kemudian mendekati istrinya dan duduk di tepi balai-balai tempatnya bebaring.

“Ndak mas. Kepalaku pusing dan mual” terdengar suara yang sangat lemah dari bibir istrinya. Wahyu juga melihat wajah istrinya begitu pucat. Seketika dirabanya dahi sang istri.

“Wah iya, dik. Kamu sakit? Ya wis kalau memang sakit ndak usah manggung dulu. Lha terus yang nggantiin kamu mbeksa siapa? Gambyong Pareanom ndak lengkap tanpa kamu”

“Aku sudah minta Asih untuk menggantikanku. Sudah kuliat tadi mbeksanya bagus. Luwes. Dia juga cepet nangkep kalau diajarin. Pokonya mas Wahyu ndak usah khawatir” Wulan berusaha menenangkan suaminya.

Wajar jika Wahyu nampak kebingungan mengetahui Wulan istrinya tidak bisa menari malam itu. Wulan adalah Sri Panggung di grup kethoprak yang dia pimpin. Berawal dari penggemar, kemudian diperistri. Lalu Wahyu melihat bahwa Wulan punya bakat tidak hanya menari, tapi juga bermain peran. Akhirnya lambat laun Wulan pun berubah dari penggemar menjadi primadona. Hampir semua tokoh sudah dia mainkan. Rara Jonggrang, Dayang Sumbi, hingga RA Kartini dan Nyi Roro Kidul. Semua diperankan sama baiknya hingga membuat dia digandrungi para penggemar seni kethoprak. Bahkan jika satu malam saja dia tidak muncul meski hanya menjadi penari pembuka, penonton pasti menanyakan ke belakang panggung, begitu lakon yang dimainkan usai.

Dan malam itu, seharusnya dia menari untuk pembuka pentaas. Namun karena merasa tidak enak badan. Wulan meminta salah seorang yuniornya untuk menggantikannya.

“Aku keluar dulu ya dik? Kamu ndak apa sendiri di sini?” terlihat kekhawatiran di wajah Wahyu. Selama ini dia hanya tahu istrinya seorang perempuan yang tangguh dan hampir tidak pernah sakit. Apalagi sampai harus libur manggung.

“Ndak apa mas. Aku sudah minum obat kok. Ntar juga sembuh kalau sudah istirahat. Mas siap-siap saja di belakang panggung. Nanti malah riasannya luntur kena keringat. Disini ungkeb” Wahyu hanya tersenyum dan mencium dahi istrinya kemudian berlalu dari bilik. Sementara Wulan hanya menatap punggung suaminya hinga menghilang di balik tirai.

Sebenarnya Wulan sudah sering mengalami pusing dan mual. Bahkan kadang kala keluar darah dari hidungnya saat dia terlalu capek. Tapi itulah Wulan. Dia merasa tidak perlu memberitahu suaminya meski dokter sudah menjatuhkan vonis yang saat itu mampu membuat seluruh tubuhnya gemetar.

Leukemia. Selama ini Wulan hanya tahu leukemia dari TV. Tak pernah terfikir sedikitpun bahwa dia akan mengalami ini. Namun demikian, rasa terkejutnya tak lantas membuatnya hilang semangat.Disembunyikannya setiap rasa lelah yang mendera, juga mimisan selalu menyertainya. Diabaikannya nasihat dokter untuk tidak terlalu capek. Di tidak ingin semua orang tahu apa yang dirasakannya. Terutama suaminya. Lebih dari itu, dia terlalu cinta pada seni.

Dia selalu teringat nasihat mendiang ibunya yang juga seorang penari.
“Menarilah hingga kamu tak sanggup lagi menari. Menarilah hingga hembusan nafasmu yang terakhir. Biarkanlah panggung itu menjadi saksi betapa kamu mencinta dan mengabdi kepada seni sama tulusnya dengan mengabdi pada suamimu dan keluargamu”

Dan itu dibuktikannya dengan tidak pernah absen mangung barang satu malam pun. Menjadi peran utama atau bukan, atau bahkan hanya menjadi penari pembuka, semua tak masalah. Yang pasti penonton selalu bisa melihat penampilan Wulan setiap malam. Tak ada hasrat ingin dipuji. Hanya keinginnya untuk terus berkesenianlah yang mendasarinya untuk melakukan semua itu. Mungkin serupa pelukis yang ingin terus melukis, guru yang ingin terus member tauladan, atau penulis yang ingin terus menulis tanpa peduli apapun yang merintanginya.

Namun kemarin, usai memeranka Dewi Mantili dalam cerita Saur Sepuh, Wulan mengalami mimisan yang lumayan hebat. Adegan perkelahian yang banyak dilakukannya sebagai pendekar wanita membuatnya kelelahan. Meski demikian tak pernah ada keinginan untuk memberi tahu suaminya tentang keadaan yang sebenarnya. Sekali lagi, wulan tak ingin merepotkan.

Sesunguhnya Wulan sadar, kondisinya semakin lemah. Dia ingat, dokter mengatakan dia harus mendapatkan donor sumsum tulang belakang. Tapi honornya sebagai pemain kethoprak yang tak seberapa membuat dia tidak melakukan apapun selain pasrah dan selalu berbaik sangka pada Sang Pencipta. Wulan percaya, sikap berbaik sangka akan meringankan penyaitnya. Atau jika pun tak tertolong, dia ingin sakaratul maut yang indah.

Karena itulah Wulan sudah menyiapkan pengganti. Asih, seorang gadis berbakat yang nampaknya telah siap untuk menjadi Sri Pangung berikutnya. Gerakan menarinya bagus, juga ekspresinya. Kepandaiannya bermain peran juga tidak kalah dengan Wulan. Secara diam-diam Wulan sering mengajak Asih untuk berlatih. Dan di mata Wulan, Asih menyimpan sesuatu. Sesuatu yang bernilai sebagai seorang seniman.

Selain menyiapkan Asih, Wulan juga diam-diam menyiapkan batinnya untuk ‘pergi’. Tak pernah ada seorang pun yang tahu, bahwa di pagi buta, ketika semua pemain pun suaminya masih lelap tertidur, Wulan justru mengendap-endap pergi ke masjid dekat lapangan dimana tobongnya berada. Dipanjatkannya doa kepada Sang Pemberi Hidup dan Kehidupan. Dia memohon ampunan dan meminta kesembuhan juga jalan keluar atas penyakitnya. Dia sadar, sebagai perempuan, istri dan pekerja seni, tentu dia tak luput dari kesalahan dan sangat jauh dari sempurna. Wulan hanya ingin satu hal. Mati khusnul khatimah.
*****

Cerita Roro Mendut malam itu berjalan sukses. Semuanya lancar dari awal hingga akhir. Dan seperti biasa, Wulan pun memainkan perannya dengan baik. Peran sebagai pedagang rokok pun dihayatinya dengan sepenuh hati. Apalagi adegan percintaan yang dimainkan bersama Wahyu yang malam itu berperan sebagai Pranacitra. Semua penonton melihat romantisme yang tak biasa pada mereka terutama Wulan. Bahkan pemain lain pun melihat Wulan seakan tidak ingi mengakhiri adegan mesra itu.

Dan semua terjawab di akhir cerita. Drama yang diakhiri dengan tewasnya Roro Mendhut karena bunuh diri menyusul Prana citra ini membuat geger semua pemain. Karena hingga layar diturunkan, dan penonton mulai meningggalkan tobong, Wulan tak juga terlihat bergerak.

Semua pemain terutama Wahyu suaminya begitu terkejut. Apalagi saat melihat ada darah mengalir dari hidung Wulan. Wahyu yang sesungguhnya sangat tenang dan tidak mudah panik, mendadak seperti kehilangan akal. Dia hanya bisa diam menatap istrinya yang terkulai lemas dalam pelukannya.
Perlahan dibisikannya sesuatu ke telinga istrinya.

“Dik, aku tidak tau apa yang sebenarnya terjadi padamu. Tapi aku siap mendengarkan apapun yang ingin kau katakan. Katakan sesuatu dik. Jangan pergi dengan diam” air mata Wahyu perlahan menetes. Dia tahu istrinya menyimpan sesuatu tentang kondisi fisiknya. Karena secara diam-diam, sebenarnya Wahyu sering memergoki Wulan mimisan dan terhuyung hampir pingsan. Tapi Wahyu ingin kejujuran dari Wulan.

Tak lama kemudian, Wulan nampak membuka mata dan tersenyum. Dipandangnya semua pemain terutama Asih dan suaminya.

“As..Asih…duduk sini dik…” digamitnya Asih agar duduk di sisinya. Asih dengan air mata berlinang menuruti keinginan mbakyu nya itu.

“Sih…setelah ini, kamu yang jadi Sri Panggung ya. Menari dan bermainlah dengan baik. Jangan kecewakan penonton yang sudah meluangkan waktunya untuk kita. Menarilah sampai nafas terakhirmu dik….”

Asih tidak kuasa lagi membendung air matanya. Bahkan semua pemain menangis malam itu. Semua merasa ada yang akan terjadi di tobong itu.

“Mas Wahyu….setelah ini, menikah…lah dengan Asih… mas. Bim…binglah dia menjadi istri dan pekerja seni yang baik. Aku….aku percaya dia mampu menggantikan aku…”

“Jangan ngomong gitu dik. Kalau kamu memang sakit, aku akan carikan obatnya. Tapi jangan minta aku mencari gantimu. Aku nggak sanggup…” Wahyu memeluk istrnya erat. Air matanya tumpah membasahi wajah ayu istrinya.

“Mas….waktuku ndak banyak. Ibu sudah menjemputku. Aku belum pernah minta apa-apa kan? Penuhilah….. permintaanku yang satu ini mas. Berjanjilah…untuk menikah…dengan Asih..calon Sri Pangung tobong ini, juga Sri Pangung di hatimu kelak….”

Tak ada lagi yang sangup bicara. Wahyu hanya mengangguk mengiyakan permintaaan istrinya. Meski jujur saja hatinya menolak. Dan malam itu, setelah mengucap dua kalimat syahadat, Wulan pun pergi dengan tenang. Dengan senyuman di wajahnya.

Bintang panggung itu memenuhi janjinya pada ibunya. Menari sampai tak sanggup lagi, menari sampai nafas terakhir.

Catatan :
Sri Panggung : Bintang panggung
Tobong : tempat pementasan kethoprak sekaligus tempat menginap pemainnya
Mbeksa : menari
Gambyong Pareanom : salah satu tarian dari Jawa Tengah.

4 komentar:

  1. hiks, sudah pernah baca. Tp tetep aja pengen mewek, huhuhu

    BalasHapus
    Balasan
    1. mewrklah sebelum mewek harus bayar apalagi kena pajak..cukup siapin tisu, handuk atau kain pel. kalau aja netes sampai ke lantai hehe

      Hapus
  2. Ini salah satu cerpen yg sy suka Mbak. Mengusung kearifan budaya lokal, in an elegant way :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Elegant way ya mbak In...hehe...sepertinya biasa aja tuh. aku malah nggak bisa mbedain mana yang elegan mana yang kampungan. makasih ya...

      Hapus