Menarilah hingga kamu tak sanggup lagi
menari. Menarilah hingga hembusan nafasmu yang terakhir. Biarkanlah
panggung itu menjadi saksi betapa kamu mencinta dan mengabdi kepada seni
sama tulusnya dengan mengabdi pada suamimu dan keluargamu.
***@***
“Kamu ndak dandan? Sebentar lagi tobong
dibuka lho dik!” Suara lelaki itu mengagetkan Wulan yang tengah
berbaring di biliknya. Lelaki yang ternyata adalah Wahyu, suaminya itu
kemudian mendekati istrinya dan duduk di tepi balai-balai tempatnya
bebaring.
“Ndak mas. Kepalaku pusing dan mual”
terdengar suara yang sangat lemah dari bibir istrinya. Wahyu juga
melihat wajah istrinya begitu pucat. Seketika dirabanya dahi sang istri.
“Wah iya, dik. Kamu sakit? Ya wis kalau
memang sakit ndak usah manggung dulu. Lha terus yang nggantiin kamu
mbeksa siapa? Gambyong Pareanom ndak lengkap tanpa kamu”
“Aku sudah minta Asih untuk menggantikanku.
Sudah kuliat tadi mbeksanya bagus. Luwes. Dia juga cepet nangkep kalau
diajarin. Pokonya mas Wahyu ndak usah khawatir” Wulan berusaha
menenangkan suaminya.
Wajar jika Wahyu nampak kebingungan
mengetahui Wulan istrinya tidak bisa menari malam itu. Wulan adalah Sri
Panggung di grup kethoprak yang dia pimpin. Berawal dari penggemar,
kemudian diperistri. Lalu Wahyu melihat bahwa Wulan punya bakat tidak
hanya menari, tapi juga bermain peran. Akhirnya lambat laun Wulan pun
berubah dari penggemar menjadi primadona. Hampir semua tokoh sudah dia
mainkan. Rara Jonggrang, Dayang Sumbi, hingga RA Kartini dan Nyi Roro
Kidul. Semua diperankan sama baiknya hingga membuat dia digandrungi
para penggemar seni kethoprak. Bahkan jika satu malam saja dia tidak
muncul meski hanya menjadi penari pembuka, penonton pasti menanyakan ke
belakang panggung, begitu lakon yang dimainkan usai.
Dan malam itu, seharusnya dia menari untuk
pembuka pentaas. Namun karena merasa tidak enak badan. Wulan meminta
salah seorang yuniornya untuk menggantikannya.
“Aku keluar dulu ya dik? Kamu ndak apa
sendiri di sini?” terlihat kekhawatiran di wajah Wahyu. Selama ini dia
hanya tahu istrinya seorang perempuan yang tangguh dan hampir tidak
pernah sakit. Apalagi sampai harus libur manggung.
“Ndak apa mas. Aku sudah minum obat kok.
Ntar juga sembuh kalau sudah istirahat. Mas siap-siap saja di belakang
panggung. Nanti malah riasannya luntur kena keringat. Disini ungkeb”
Wahyu hanya tersenyum dan mencium dahi istrinya kemudian berlalu dari
bilik. Sementara Wulan hanya menatap punggung suaminya hinga menghilang
di balik tirai.
Sebenarnya Wulan sudah sering mengalami
pusing dan mual. Bahkan kadang kala keluar darah dari hidungnya saat dia
terlalu capek. Tapi itulah Wulan. Dia merasa tidak perlu memberitahu
suaminya meski dokter sudah menjatuhkan vonis yang saat itu mampu
membuat seluruh tubuhnya gemetar.
Leukemia. Selama ini Wulan hanya tahu
leukemia dari TV. Tak pernah terfikir sedikitpun bahwa dia akan
mengalami ini. Namun demikian, rasa terkejutnya tak lantas membuatnya
hilang semangat.Disembunyikannya setiap rasa lelah yang mendera, juga
mimisan selalu menyertainya. Diabaikannya nasihat dokter untuk tidak
terlalu capek. Di tidak ingin semua orang tahu apa yang dirasakannya.
Terutama suaminya. Lebih dari itu, dia terlalu cinta pada seni.
Dia selalu teringat nasihat mendiang ibunya yang juga seorang penari.
“Menarilah hingga kamu tak sanggup lagi
menari. Menarilah hingga hembusan nafasmu yang terakhir. Biarkanlah
panggung itu menjadi saksi betapa kamu mencinta dan mengabdi kepada seni
sama tulusnya dengan mengabdi pada suamimu dan keluargamu”
Dan itu dibuktikannya dengan tidak pernah
absen mangung barang satu malam pun. Menjadi peran utama atau bukan,
atau bahkan hanya menjadi penari pembuka, semua tak masalah. Yang pasti
penonton selalu bisa melihat penampilan Wulan setiap malam. Tak ada
hasrat ingin dipuji. Hanya keinginnya untuk terus berkesenianlah yang
mendasarinya untuk melakukan semua itu. Mungkin serupa pelukis yang
ingin terus melukis, guru yang ingin terus member tauladan, atau penulis
yang ingin terus menulis tanpa peduli apapun yang merintanginya.
Namun kemarin, usai memeranka Dewi Mantili
dalam cerita Saur Sepuh, Wulan mengalami mimisan yang lumayan hebat.
Adegan perkelahian yang banyak dilakukannya sebagai pendekar wanita
membuatnya kelelahan. Meski demikian tak pernah ada keinginan untuk
memberi tahu suaminya tentang keadaan yang sebenarnya. Sekali lagi,
wulan tak ingin merepotkan.
Sesunguhnya Wulan sadar, kondisinya semakin
lemah. Dia ingat, dokter mengatakan dia harus mendapatkan donor sumsum
tulang belakang. Tapi honornya sebagai pemain kethoprak yang tak
seberapa membuat dia tidak melakukan apapun selain pasrah dan selalu
berbaik sangka pada Sang Pencipta. Wulan percaya, sikap berbaik sangka
akan meringankan penyaitnya. Atau jika pun tak tertolong, dia ingin
sakaratul maut yang indah.
Karena itulah Wulan sudah menyiapkan
pengganti. Asih, seorang gadis berbakat yang nampaknya telah siap untuk
menjadi Sri Pangung berikutnya. Gerakan menarinya bagus, juga
ekspresinya. Kepandaiannya bermain peran juga tidak kalah dengan Wulan.
Secara diam-diam Wulan sering mengajak Asih untuk berlatih. Dan di mata
Wulan, Asih menyimpan sesuatu. Sesuatu yang bernilai sebagai seorang
seniman.
Selain menyiapkan Asih, Wulan juga
diam-diam menyiapkan batinnya untuk ‘pergi’. Tak pernah ada seorang pun
yang tahu, bahwa di pagi buta, ketika semua pemain pun suaminya masih
lelap tertidur, Wulan justru mengendap-endap pergi ke masjid dekat
lapangan dimana tobongnya berada. Dipanjatkannya doa kepada Sang Pemberi
Hidup dan Kehidupan. Dia memohon ampunan dan meminta kesembuhan juga
jalan keluar atas penyakitnya. Dia sadar, sebagai perempuan, istri dan
pekerja seni, tentu dia tak luput dari kesalahan dan sangat jauh dari
sempurna. Wulan hanya ingin satu hal. Mati khusnul khatimah.
*****
Cerita Roro Mendut malam itu berjalan
sukses. Semuanya lancar dari awal hingga akhir. Dan seperti biasa, Wulan
pun memainkan perannya dengan baik. Peran sebagai pedagang rokok pun
dihayatinya dengan sepenuh hati. Apalagi adegan percintaan yang
dimainkan bersama Wahyu yang malam itu berperan sebagai Pranacitra.
Semua penonton melihat romantisme yang tak biasa pada mereka terutama
Wulan. Bahkan pemain lain pun melihat Wulan seakan tidak ingi mengakhiri
adegan mesra itu.
Dan semua terjawab di akhir cerita. Drama
yang diakhiri dengan tewasnya Roro Mendhut karena bunuh diri menyusul
Prana citra ini membuat geger semua pemain. Karena hingga layar
diturunkan, dan penonton mulai meningggalkan tobong, Wulan tak juga
terlihat bergerak.
Semua pemain terutama Wahyu suaminya begitu
terkejut. Apalagi saat melihat ada darah mengalir dari hidung Wulan.
Wahyu yang sesungguhnya sangat tenang dan tidak mudah panik, mendadak
seperti kehilangan akal. Dia hanya bisa diam menatap istrinya yang
terkulai lemas dalam pelukannya.
Perlahan dibisikannya sesuatu ke telinga istrinya.
“Dik, aku tidak tau apa yang sebenarnya
terjadi padamu. Tapi aku siap mendengarkan apapun yang ingin kau
katakan. Katakan sesuatu dik. Jangan pergi dengan diam” air mata Wahyu
perlahan menetes. Dia tahu istrinya menyimpan sesuatu tentang kondisi
fisiknya. Karena secara diam-diam, sebenarnya Wahyu sering memergoki
Wulan mimisan dan terhuyung hampir pingsan. Tapi Wahyu ingin kejujuran
dari Wulan.
Tak lama kemudian, Wulan nampak membuka mata dan tersenyum. Dipandangnya semua pemain terutama Asih dan suaminya.
“As..Asih…duduk sini dik…” digamitnya Asih
agar duduk di sisinya. Asih dengan air mata berlinang menuruti keinginan mbakyu nya itu.
“Sih…setelah ini, kamu yang jadi Sri
Panggung ya. Menari dan bermainlah dengan baik. Jangan kecewakan
penonton yang sudah meluangkan waktunya untuk kita. Menarilah sampai
nafas terakhirmu dik….”
Asih tidak kuasa lagi membendung air
matanya. Bahkan semua pemain menangis malam itu. Semua merasa ada yang
akan terjadi di tobong itu.
“Mas Wahyu….setelah ini, menikah…lah dengan
Asih… mas. Bim…binglah dia menjadi istri dan pekerja seni yang baik.
Aku….aku percaya dia mampu menggantikan aku…”
“Jangan ngomong gitu dik. Kalau kamu memang
sakit, aku akan carikan obatnya. Tapi jangan minta aku mencari gantimu.
Aku nggak sanggup…” Wahyu memeluk istrnya erat. Air matanya tumpah
membasahi wajah ayu istrinya.
“Mas….waktuku ndak banyak. Ibu sudah
menjemputku. Aku belum pernah minta apa-apa kan? Penuhilah…..
permintaanku yang satu ini mas. Berjanjilah…untuk menikah…dengan
Asih..calon Sri Pangung tobong ini, juga Sri Pangung di hatimu kelak….”
Tak ada lagi yang sangup bicara. Wahyu
hanya mengangguk mengiyakan permintaaan istrinya. Meski jujur saja
hatinya menolak. Dan malam itu, setelah mengucap dua kalimat syahadat,
Wulan pun pergi dengan tenang. Dengan senyuman di wajahnya.
Bintang panggung itu memenuhi janjinya pada ibunya. Menari sampai tak sanggup lagi, menari sampai nafas terakhir.
Catatan :
Sri Panggung : Bintang panggung
Tobong : tempat pementasan kethoprak sekaligus tempat menginap pemainnya
Mbeksa : menari
Gambyong Pareanom : salah satu tarian dari Jawa Tengah.
Sri Panggung : Bintang panggung
Tobong : tempat pementasan kethoprak sekaligus tempat menginap pemainnya
Mbeksa : menari
Gambyong Pareanom : salah satu tarian dari Jawa Tengah.
hiks, sudah pernah baca. Tp tetep aja pengen mewek, huhuhu
BalasHapusmewrklah sebelum mewek harus bayar apalagi kena pajak..cukup siapin tisu, handuk atau kain pel. kalau aja netes sampai ke lantai hehe
HapusIni salah satu cerpen yg sy suka Mbak. Mengusung kearifan budaya lokal, in an elegant way :)
BalasHapusElegant way ya mbak In...hehe...sepertinya biasa aja tuh. aku malah nggak bisa mbedain mana yang elegan mana yang kampungan. makasih ya...
Hapus