meta content='IE=EmulateIE7' http-equiv='X-UA-Compatible'/> Maraza's Antology: Juni 2013

Minggu, 30 Juni 2013

Ni Hao Ma, Xiao Chu?

 


Ni hao ma, Xiao Chu?
Masihkah senyummu secerah mentari
Dan pipimu semerah delima rekah?
Kau tahu
Betapa dalam rindu ingin kutuangkan
Tapi entahlah
Berkali-kali aku hanya berani melihat beranda rumahmu
Jika pun kudatangi
Tak berani kutinggalkan satu jejak pun di beranda
Meski sekedar sebagai penanda
Bahwa aku pernah ke sana

Xiao Chu
Sejatinya ingin kutulis rerangkaian kata di daun yang terbawa angin
Berharap akan sampai padamu
Tapi selalu kuurungkan
Karena masih saja puisi duka dan kegelisahan
Yang ingin kutuangkan
Aku hanya mau
Jika aku tlah mampu merangkai aksara
Dan bisa bermakna
Hanya makna bahagia yang akan terbaca

Xiao Chu
Meski aku tak selalu bersamamu
Percayalah
Di sepertiga malam dalam munajat panjang
Selalu ada namamu terucap
Dan dari ribuan pinta
Ada satu harap kau akan bertemu bahagia
Bersamanya


glossary:

Xiao Chu : gadis kecil bernama Chu
Ni hao ma : apa kabar


gambar : samanthashop.indonetwork.co.id


Mbakyuku Kinasih 1 : Maafkan Saya Mbakyu

Aku sedang menyelesaikan piketku hari itu. Senin pagi adalah giliranku bersama Hamid, Tomo dan Sanusi rekan satu selku untuk menyiapkan sarapan bagi para penghuni Lapas. Tugas kami seperti biasa adalah menanak nasi bagi ratusan napi beserta para sipir dan staff di lapas ini. Sementara napi yang lain menyiapkan sayur dan lauk berupa Oseng Buncis, Telur Dadar dan Tempe Goreng. Menu yang tergolong mewah untuk para pesakitan seperti kami.
Saat semua sudah siap dan tinggal menunggu jam makan pagi tiba, sipir Hakim datang menghampiriku yang sedang mengangkat satu dandang besar nasi bersama Tomo.
“Widodo, ada tamu untukmu!”
“Siapa pak? Bapak angkat saya?” tanyaku sambil terus melangkah menuju ruang makan dan meletakkan nasi yang masih mengepul asapnya itu di sisi meja besar tempat menyusun piring dan sendok.
“Bukan. Perempuan. Tapi selama aku bertugas di sini, aku belum pernah melihatnya mengunjungimu” sipir Hakim memang baru dua bulan bertugas disini. Sementara aku sudah hampir satu tahun menginap di hotel prodeo ini.
“Baik pak. Saya cuci tangan dulu. Tomo, kamu minta bantuan Hamid atau Sanusi saja ya? Paling aku sebentar aja. Belum tahu juga siapa yang mencariku…” kataku pada Tomo sambil membersihkan tanganku lalu merapikan pakaianku ala kadarnya. Lagi pula, apanya lagi yang mau dirapikan? Seragam biru-biru ini adalah pakaian kebesaran kami para penghuni lapas.
Sambil berjalan menuju ruang untuk menerima tamu, aku terus bertanya dalam hatiku. Ada perempuan mengunjungiku sepagi ini di penjara. Siapa? Selama aku tinggal di kota ini, aku tak terlalu banyak punya teman apalagi perempuan. Teman pria saja semenjak aku di penjara tak pernah lagi menanyakan kabarku. Mereka seperti enggan untuk mengenal apalagi berteman denganku. Status sebagai narapidana ternyata mampu membuatku kehilangan banyak hal.
Sampai di ruangan untuk menerima tamu, mataku menangkap sosok yang sangat kukenal. Dan seketika tubuhku gemetar, sendi-sendiku terasa lemas dan nafasku sesak. Aku menghentikan langkahku dan kembali ke dalam diiringai pandangan bingung sipir Hakim.
Kusandarkan tubuhku di dinding. Aku tak sanggup lagi berjalan. Dadaku kian nyeri dan nafasku semakin sesak.
“Wid…Widodo! Kamu kenapa? Kamu sakit?” sipir Hakim menghampiriku dan duduk di depanku. Aku diam saja sambil mengatur nafasku. Setelah sedikit lebih lega aku segera berdiri dan melangkah kembali ke ruang makan.
“Widodo! Kamu tidak ingin bertemu dengan pembesukmu?!” Tanya sipir Hakim melihatku kembai ke tempat piketku.
“Maaf pak. Tapi saya minta tolong pada bapak, katakan padanya saya belum siap ketemu dengannya pak. Tolong” aku memohon pada sipir Hakim. Sipir Hakim menggedikkan bahunya dan menggelengkan kepala, heran dengan sikapku. Tapi aku tak peduli. Yang aku inginkan sekarang adalah menenangkan diri.
“Baiklah. Akan aku sampaikan padanya. Tapi kamu yakin baik-baik saja?” Aku hanya mengangguk dan berlalu meninggalkannya menuju uang makan.
Tapi sepanjang pagi itu hingga malam tiba, pikiranku tak pernah lepas dari peremuan berjilbab yang tadi bermaksud membesukku. Dan mengingatnya selalu saja menghadirkan lagi rasa berdosa yang selama ini berusaha kuhilangkan dengan sekuat tenaga. Tapi rupanya aku tak berhasil. Perasaan itu selalu saja menghinggapiku bila mengingatnya, terlebih bila kuingat kelakuanku yang memalukan yang secara tidak langsung membuatku akhirnya terdampar di tempat ini.
Namanya Sri Utari. Sejak aku tinggal di desa itu, aku hanya tahu dia seorang janda. Yang membuat aku prihatin, dia menjadi janda karena suaminya meninggal, hanya tiga bulan setelah mereka menikah. Saat kemesraan masih hangat-hangatnya, saat manisnya madu pernikahan seharusnya masih mereka kecap, tapi Utari harus kembali sendiri. Kesendirian yang menyakitkan dibandingkan menjadi lajang.
Tak seorang perempuan pun di muka bumi ini yang ingin menyandang status janda. Aku ingat betul saat ayahku baru meninggal dunia, ibuku harus berjuang mati-matian tidak hanya untuk menghidupi anak-anaknya, tapi juga untuk menepis anggapan miring tentang seorang janda. Saat itu ibuku sering dikabarkan menerima lelaki yang bukan muhrim di rumah. Dan semua itu tentu saja hanya isapan jempol belaka. Karena aku sebagai anak bungsunya lah yang sehari-hari menemani ibuku. Dan aku bisa melihat sendiri, ibuku bukan tipe wanita yang kendho tapihe alias tidak kuat iman. Sampai meninggalnya pun, ibuku tetap sendiri.
Pun demikian dengan Utari. Selama aku mengenalnya, aku tidak pernah melihatnya bertingkah aneh-aneh. Dia memang ramah pada siapapun yang ditemuinya. Tapi hanya menyapa ala kadarnya, bukan genit. Dia juga sangat santun dalam berbusana. Selalu menutup auratnya dengan sempurna kemanapun dia pergi. Dan tujuanya pun hanya ke pasar, untuk sekedar membeli bahan untuk dagangannya.
Sepulang dari pasar, dia kembali akan menutup pintu rumahnya dan memasak makanan yang dia jual, hingga menjelang Ashar. Dan selepas Ashar hingga menjelang Maghrib dia akan berjualan di depan rumahnya atau lebih tepatnya di teras rumahnya .Makanan yang enak dan harga yang murah membuat Utari tak perlu waktu lama untuk menghabiskan dagangannya. Tanpa diundang pun pelanggan akan datang untuk membeli Pecel dan Mendoan buatan Utari. Apalagi Utari juga seorang pedagang yang ramah. Sehingga pelanggannya merasa nyaman membeli dagangannya.
Setelah dagangan habis, Utari kembali akan mengunci rapat pintu rumahnya dan baru akan keluar selepas Subuh untuk ke pasar seperti yang biasa kulihat setiap aku pulang dari mushola.
Sebagai laki-laki, jujur saja aku sering dibuat penasaran oleh Utari. Bicaranya yang singkat dan seperlunya, justru membuatku makin ingin mengenalnya. Dia memang lebih tua beberapa tahun dariku. Tapi yang aku tahu, tak ada undang-undang atau hukum yang melarang seorang pria mencintai wanita yang lebih tua. Tapi itulah, aku selalu merasa kalah wibawa jika sudah berada di depan Utari. Kematangannya dalam menghadapi hidup membuat nyaliku ciut kendati dalam hatiku ada ribuan kata yang ingin kuungkapkan. Yang jika diringkas hanya akan menjadi “Aku menyukai Mbakyu…”
Haduuh….! Aku seringkali merasa kuwalahan membendung hasratku sendiri. Entahlah. Padahal tak sedikit cemooh kudapatkan dari orang-orang di sekelilingku saat aku ceritakan bahwa aku menyukai Utari. Tapi ya wis ben(biarlah). Aku menyukai Utari bukan hanya karena dia cantik. Tapi menurutku dia layak untuk dicintai juga dilindungi. Semakin sering kudengar cemooh, makin kuat tekadku untuk meminang Utari.
Apalagi menurutku, aku punya cukup modal untuk melamarnya. Aku bukan pengangguran. Aku punya penghasilan tetap meski mungkin pas-pasan. Dan biarpun tak bisa menjamin kehidupan yang mewah bagi Utari, setidaknya kami tidak kelaparan. Ah….angan yang terlalu muluk buat perjaka tanggung seperti aku. Meski demikian, suatu hari aku beranikan diri untuk menyatakan keinginanku. Tapi apa jawabnya?
“Maaf Dhimas. Saya menghargai niat baik dhimas. Tapi sekali lagi maaf. Saya belum berpikir untuk menikah kembali. Saya masih ingin menikmati kenangan saya bersama kangmas. Nyuwun ngapunten(maaf)Dhimas” jawabnya seraya menundukkan kepala.
“Apa karena saya terlalu muda untuk Mbakyu?”
“Bukan. Bukan karena Dhimas terlalu muda. Tapi karena saya memang belum ingin meninggalkan kenangan saya bersama suami saya. Siapa tahu saja, di akhirat kelak saya bisa menjadi bidadarinya di surga”
Subhanallah….sampai segitu mikirnya? Kalau bukan wanita sholeha, pasti dia sudah mencari pengganti suaminya sejak beberapa tahun silam. Padahal hingga saat ini, sudah enam tahun dia menjanda. Tapi Allah memang Maha Mengatur segalanya. Dan rupanya aku memang harus kecewa meski sebenarnya aku juga ingin dia menjadi bidadariku di surga nanti.
Hari terus berganti. Penolakan Utari tak menyurutkan hasratku untuk terus memujanya. Apalagi setiap melihat senyum dan mendengar sapanya yang lembut, jiwa lelakiku seakan ingin berontak. Rasanya tak cukup bagiku hanya mendengar kalimat ‘mari Dhimas, saya duluan’ atau ‘sugeng enjang(selamat pagi) Dhimas’. Aku ingin Utari jujur menyatakan perasaannya bahwa dia juga menyukaiku.
Terdengar agak sedikit memaksa memang. Tapi itulah yang ingin kudengar darinya.
Dan keinginan itu mendorongku untuk melakukan hal yang selama ini kubayangkan pun tidak. Menyatroni rumah Utari saat gulita masih menyelimuti. Hari pertama Ramadhan tahun lalu itu menjadi saksi kegilaanku akan Utari.
Malam itu aku tak bisa tidur barang semenitpun. Syahwatku berontak. Berbagai cara telah kulakukan tapi tak berhasil meredamnya. Dan entah mengapa malam itu bayangan Utari berkeliaran dalam benakku. Aku tahu, sangat tahu bahwa dia bukan hakku. Aku tak boleh menjamahnya. Aku juga tahu dan sangat bisa membayangkan, apa yang akan dibicarakan banyak orang jika aku sampai menyalurkan hasrat gilaku ini pada Utari. Namun aku tak bisa menahannya.
Selepas makan sahur, aku berjalan menuju rumah Utari. Setan telah menuntunku untuk mengetuk pintu rumahnya yang selalu terkunci rapat seperti pintu hatinya.
Setelah dibukakan pintu, segera aku merangsek masuk dan memeluknya meski aku tahu dia masih mengenakan mukena pertanda baru selesai sholat malam. Dia meronta. Sekali, berhasil dan lari masuk ke kamar. Aku mengejarnya dan terus mengejarnya hingga dia tak bisa mengelak lagi. Kucengkeram wajahnya dan berusaha untuk memagut bibir merahnya.
“Istigfar Dhimas…istighfar! Kita bukan suami istri!” Utari mengingatkanku sambil terus berusaha melepaskan diri. Tapi aku seperti kesetanan dan tak peduli ucapannya. Terus saja kujelajahi seluruh tubuhnya yang masih berbalut mukena sambil berusaha untuk mencumbunya.
Busyet!” batinku. “Susah juga perempuan ini ditaklukkan
“Sudahlah Mbakyu, tidak usah munafik. Katakan saja Mbakyu juga menginginkan ini! Sudah enam tahun Mbakyu menjanda. Saya yakin Mbakyu pun merindukan belaian dan dekapan seorang pria!” aku masih memeluknya erat bahkan aku sudah berani membuka paksa mukena dan kerudungnya.
Sementara itu, kulihat Utari berlinang air mata. Wajahnya pun memucat dan bibirnya bergetar. Terlihat sekali rona ketakutan di wajah cantiknya. Namun bukannya iba, aku semakin gila. Bibir yang  bergetar itu terlihat begitu ranum dan menggiurkan. Dan aku, Widodo Jatmiko ingin sekali memagutnya. Kesempatan tak kan datang dua kali.
Tapi aku tak lagi menggunakan cara kasar. Aku ingat kalau perempuan itu suka kelembutan karena dia ibarat gelas kristal. Ceroboh sedikit saja maka….prang! Pecahlah kristal itu.
Aku mencoba bersikap lembut pada Utari. Rambutnya yang tergerai indah kubelai dengan lembut. Lalu perlahan kudekatkan wajahku ke wajahnya untuk segera kunikmati sensasi yang sudah semalaman kuimpikan.
Namun tiba-tiba mataku melihat deretan ayat-ayat suci Al Qur’an yang tertempel didinding di belakang kepala Utari. Meski tak berisi penjelasan tentang seberapa besar dosa yang kulakukan, ayat-ayat itu seperti menamparku dan mengingatkanku bahwa perempuan bukan untuk didzolimi tapi dilindungi.
“Astaghfirullah hal adziim….” Kuhempaskan tubuh Utari dan kubalikkan badanku. Tubuhku pun kini gemetar. Bukan. Bukan karena hasrat menggelora yang tak tersalurkan, tapi lebih karena seperti tertampar dan menyadari bahawa aku telah melakukan sebuah kebodohan.
Kusandarkan kepalaku di kusen pintu kamar Utari. Sekilas kulihat dia terduduk lemas di lantai dan menagis tersedu sambil menutupi kepalanya dengan sarung. Tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Hanya isakan yang semakin jelas terdengar.
Ya Allah….apa yang bau saja kulakukan? Perempuan ini begitu kucintai. Tapi setan mana yang Kau biarkan membujukku untuk menjamahnya? Dia buka hakku. Dia bukan untukku. Dia perempuan yang begitu setia pada suaminya. Seharusnya aku menghormatinya, melindunginya atau menjaganya. Tapi…Astaghfirullah hal adziim….”
Air mataku mengalir tanpa isakan. Penyesalanku terlalu dalam. Tapi aku tak mampu mengatakan apapun selain “Maafkan saya Mbakyu, saya khilaf…” dan berlari meninggalkannya menembus gelapnya dini hari itu.
Aku terus saja berlari tanpa peduli apapun lagi. Aku hanya tahu aku sudah melakukan kesalahan besar dan rasanya tak punya muka lagi jika harus bertemu dengan Utari. Dan di dini hari itu, seorang pemuda mabuk tertabrak olehku yang sedang berlari menghindari rasa bersalahku. Pemuda itu mengamuk dan menyerangku dengan botol minuman kerasnya namun berhasil kutangkis bahkan aku membalikkan serangannya dan melukai kepalanya hingga dia tak sadarkan diri.
Peristiwa dini hari itulah yang menghantarkanku sampai di penjara ini. Dianggap melakukan penyerangan meski aku hanya membela diri.
Andai saja aku tidak melakuka kebodohan itu, mungkin aku masih bisa memandang senyum indah Utari, Mbakyuku Kinasih. Masih bisa mendengar sapaan santunya setiap pagi dan masih berani menatap matanya untuk sekedar mengatakan “Saya mencintai Mbakyu” meski cuma dalam hati.
Maafkan saya Mbakyu….(bersambung)

Sabtu, 29 Juni 2013

[Fan Fiction]Aku Masih Disini, Marissa

  “Halo! Selamat malam!” perempuan lima puluh tahunan itu menyapa ramah si penelpon.

“Malam, Tante. Marissa-nya ada?” tanya si penelpon.

“Ini siapa ya?”

“Ini Tommy, tante. Tommy Tjokro” kata si penelpon.

“Oh, kamu Tom! Marissa lagi ke New York”

“New York? Tugas peliputan, Tante?”

“Nggak, Tom. Marissa lagi cuti. Dia pengen jalan-jalan sekalian mau ketemu kamu. Kamu pindah ke Bloomberg, kan?” kata mama Marissa.

“Tante, saya memang pindah ke Bloomberg. Tapi tidak di pusat. Saya anchor Bloomberg Indonesia. Jadi ya masih di Jakarta” jelas Tommy. Ada sedikit rasa iba. Membayangkan betapa kecewanya gadis itu.

Bagi Tommy, Marissa Anita bukan sekedar rekan kerja yang baik dan profesional. Dia juga pribadi yang menyenangkan. Dan belakangan, Tommy mulai menaruh hati padanya. Kebersamaan hampir setiap hari di 8 - 11 Metro TV telah menghadirkan rasa yang berbeda di hatinya.

“Kalau begitu kamu hubungi hapenya saja!” kata mama Marissa.

“Sudah, Tante tapi tidak bisa. Mungkin baterainya habis. Karena itu saya telpon kemari. Baiklah kalau begitu, Tante. Saya permisi dulu. Maaf sudah mengganggu. Selamat malam”

“Selamat malam!” keduanya menutup telpon sambil berfikir tentang Marissa.
*****

Bandara Soekarno Hatta, beberapa hari kemudian.

Marissa melangkah gontai keluar dari terminal kedatangan luar negeri. Dia merasa lelah dan malu pada dirinya sendiri. Menurutnya, sebagai jurnalis dia sudah melakukan hal konyol dengan mencari Tommy hingga ke New York. Saat itu dia hanya tahu satu hal, dia harus ungkapkan perasaannya.

“Marissa…!” sebuah suara memanggilnya. Dan saat menoleh, sosok yang belakangan ini mengisi hatinya terlihat berjalan menghampirinya.

“Tommy?! Kamu ngapain ke sini?” Marissa heran. Seingatnya, tak ada yang tahu kepergiannya selain keluarga.

“Seharusnya aku yang tanya, ngapain kamu ke New York?”

“Kamu sudah tahu jawabannya…..” kata Marissa datar.

“Marissa, aku memang pindah ke Bloomberg, tapi Bloomberg Indonesia. Jadi aku nggak akan ke mana-mana” Tommy menatap lekat mata Marissa yang mulai berkaca. Ada banyak rasa berbaur. Malu, bodoh, konyol dan bahagia.

“Lagi pula, aku nggak akan pernah bisa kemana-mana lagi…” Marissa memandangnya tak mengerti.

“Karena kamu sudah membawa sebagian hatiku….”

Sri Panggung

Menarilah hingga kamu tak sanggup lagi menari. Menarilah hingga hembusan nafasmu yang terakhir. Biarkanlah panggung itu menjadi saksi betapa kamu mencinta dan mengabdi kepada seni sama tulusnya dengan mengabdi pada suamimu dan keluargamu.
***@***

“Kamu ndak dandan? Sebentar lagi tobong dibuka lho dik!” Suara lelaki itu mengagetkan Wulan yang tengah berbaring di biliknya. Lelaki yang ternyata adalah Wahyu, suaminya itu kemudian mendekati istrinya dan duduk di tepi balai-balai tempatnya bebaring.

“Ndak mas. Kepalaku pusing dan mual” terdengar suara yang sangat lemah dari bibir istrinya. Wahyu juga melihat wajah istrinya begitu pucat. Seketika dirabanya dahi sang istri.

“Wah iya, dik. Kamu sakit? Ya wis kalau memang sakit ndak usah manggung dulu. Lha terus yang nggantiin kamu mbeksa siapa? Gambyong Pareanom ndak lengkap tanpa kamu”

“Aku sudah minta Asih untuk menggantikanku. Sudah kuliat tadi mbeksanya bagus. Luwes. Dia juga cepet nangkep kalau diajarin. Pokonya mas Wahyu ndak usah khawatir” Wulan berusaha menenangkan suaminya.

Wajar jika Wahyu nampak kebingungan mengetahui Wulan istrinya tidak bisa menari malam itu. Wulan adalah Sri Panggung di grup kethoprak yang dia pimpin. Berawal dari penggemar, kemudian diperistri. Lalu Wahyu melihat bahwa Wulan punya bakat tidak hanya menari, tapi juga bermain peran. Akhirnya lambat laun Wulan pun berubah dari penggemar menjadi primadona. Hampir semua tokoh sudah dia mainkan. Rara Jonggrang, Dayang Sumbi, hingga RA Kartini dan Nyi Roro Kidul. Semua diperankan sama baiknya hingga membuat dia digandrungi para penggemar seni kethoprak. Bahkan jika satu malam saja dia tidak muncul meski hanya menjadi penari pembuka, penonton pasti menanyakan ke belakang panggung, begitu lakon yang dimainkan usai.

Dan malam itu, seharusnya dia menari untuk pembuka pentaas. Namun karena merasa tidak enak badan. Wulan meminta salah seorang yuniornya untuk menggantikannya.

“Aku keluar dulu ya dik? Kamu ndak apa sendiri di sini?” terlihat kekhawatiran di wajah Wahyu. Selama ini dia hanya tahu istrinya seorang perempuan yang tangguh dan hampir tidak pernah sakit. Apalagi sampai harus libur manggung.

“Ndak apa mas. Aku sudah minum obat kok. Ntar juga sembuh kalau sudah istirahat. Mas siap-siap saja di belakang panggung. Nanti malah riasannya luntur kena keringat. Disini ungkeb” Wahyu hanya tersenyum dan mencium dahi istrinya kemudian berlalu dari bilik. Sementara Wulan hanya menatap punggung suaminya hinga menghilang di balik tirai.

Sebenarnya Wulan sudah sering mengalami pusing dan mual. Bahkan kadang kala keluar darah dari hidungnya saat dia terlalu capek. Tapi itulah Wulan. Dia merasa tidak perlu memberitahu suaminya meski dokter sudah menjatuhkan vonis yang saat itu mampu membuat seluruh tubuhnya gemetar.

Leukemia. Selama ini Wulan hanya tahu leukemia dari TV. Tak pernah terfikir sedikitpun bahwa dia akan mengalami ini. Namun demikian, rasa terkejutnya tak lantas membuatnya hilang semangat.Disembunyikannya setiap rasa lelah yang mendera, juga mimisan selalu menyertainya. Diabaikannya nasihat dokter untuk tidak terlalu capek. Di tidak ingin semua orang tahu apa yang dirasakannya. Terutama suaminya. Lebih dari itu, dia terlalu cinta pada seni.

Dia selalu teringat nasihat mendiang ibunya yang juga seorang penari.
“Menarilah hingga kamu tak sanggup lagi menari. Menarilah hingga hembusan nafasmu yang terakhir. Biarkanlah panggung itu menjadi saksi betapa kamu mencinta dan mengabdi kepada seni sama tulusnya dengan mengabdi pada suamimu dan keluargamu”

Dan itu dibuktikannya dengan tidak pernah absen mangung barang satu malam pun. Menjadi peran utama atau bukan, atau bahkan hanya menjadi penari pembuka, semua tak masalah. Yang pasti penonton selalu bisa melihat penampilan Wulan setiap malam. Tak ada hasrat ingin dipuji. Hanya keinginnya untuk terus berkesenianlah yang mendasarinya untuk melakukan semua itu. Mungkin serupa pelukis yang ingin terus melukis, guru yang ingin terus member tauladan, atau penulis yang ingin terus menulis tanpa peduli apapun yang merintanginya.

Namun kemarin, usai memeranka Dewi Mantili dalam cerita Saur Sepuh, Wulan mengalami mimisan yang lumayan hebat. Adegan perkelahian yang banyak dilakukannya sebagai pendekar wanita membuatnya kelelahan. Meski demikian tak pernah ada keinginan untuk memberi tahu suaminya tentang keadaan yang sebenarnya. Sekali lagi, wulan tak ingin merepotkan.

Sesunguhnya Wulan sadar, kondisinya semakin lemah. Dia ingat, dokter mengatakan dia harus mendapatkan donor sumsum tulang belakang. Tapi honornya sebagai pemain kethoprak yang tak seberapa membuat dia tidak melakukan apapun selain pasrah dan selalu berbaik sangka pada Sang Pencipta. Wulan percaya, sikap berbaik sangka akan meringankan penyaitnya. Atau jika pun tak tertolong, dia ingin sakaratul maut yang indah.

Karena itulah Wulan sudah menyiapkan pengganti. Asih, seorang gadis berbakat yang nampaknya telah siap untuk menjadi Sri Pangung berikutnya. Gerakan menarinya bagus, juga ekspresinya. Kepandaiannya bermain peran juga tidak kalah dengan Wulan. Secara diam-diam Wulan sering mengajak Asih untuk berlatih. Dan di mata Wulan, Asih menyimpan sesuatu. Sesuatu yang bernilai sebagai seorang seniman.

Selain menyiapkan Asih, Wulan juga diam-diam menyiapkan batinnya untuk ‘pergi’. Tak pernah ada seorang pun yang tahu, bahwa di pagi buta, ketika semua pemain pun suaminya masih lelap tertidur, Wulan justru mengendap-endap pergi ke masjid dekat lapangan dimana tobongnya berada. Dipanjatkannya doa kepada Sang Pemberi Hidup dan Kehidupan. Dia memohon ampunan dan meminta kesembuhan juga jalan keluar atas penyakitnya. Dia sadar, sebagai perempuan, istri dan pekerja seni, tentu dia tak luput dari kesalahan dan sangat jauh dari sempurna. Wulan hanya ingin satu hal. Mati khusnul khatimah.
*****

Cerita Roro Mendut malam itu berjalan sukses. Semuanya lancar dari awal hingga akhir. Dan seperti biasa, Wulan pun memainkan perannya dengan baik. Peran sebagai pedagang rokok pun dihayatinya dengan sepenuh hati. Apalagi adegan percintaan yang dimainkan bersama Wahyu yang malam itu berperan sebagai Pranacitra. Semua penonton melihat romantisme yang tak biasa pada mereka terutama Wulan. Bahkan pemain lain pun melihat Wulan seakan tidak ingi mengakhiri adegan mesra itu.

Dan semua terjawab di akhir cerita. Drama yang diakhiri dengan tewasnya Roro Mendhut karena bunuh diri menyusul Prana citra ini membuat geger semua pemain. Karena hingga layar diturunkan, dan penonton mulai meningggalkan tobong, Wulan tak juga terlihat bergerak.

Semua pemain terutama Wahyu suaminya begitu terkejut. Apalagi saat melihat ada darah mengalir dari hidung Wulan. Wahyu yang sesungguhnya sangat tenang dan tidak mudah panik, mendadak seperti kehilangan akal. Dia hanya bisa diam menatap istrinya yang terkulai lemas dalam pelukannya.
Perlahan dibisikannya sesuatu ke telinga istrinya.

“Dik, aku tidak tau apa yang sebenarnya terjadi padamu. Tapi aku siap mendengarkan apapun yang ingin kau katakan. Katakan sesuatu dik. Jangan pergi dengan diam” air mata Wahyu perlahan menetes. Dia tahu istrinya menyimpan sesuatu tentang kondisi fisiknya. Karena secara diam-diam, sebenarnya Wahyu sering memergoki Wulan mimisan dan terhuyung hampir pingsan. Tapi Wahyu ingin kejujuran dari Wulan.

Tak lama kemudian, Wulan nampak membuka mata dan tersenyum. Dipandangnya semua pemain terutama Asih dan suaminya.

“As..Asih…duduk sini dik…” digamitnya Asih agar duduk di sisinya. Asih dengan air mata berlinang menuruti keinginan mbakyu nya itu.

“Sih…setelah ini, kamu yang jadi Sri Panggung ya. Menari dan bermainlah dengan baik. Jangan kecewakan penonton yang sudah meluangkan waktunya untuk kita. Menarilah sampai nafas terakhirmu dik….”

Asih tidak kuasa lagi membendung air matanya. Bahkan semua pemain menangis malam itu. Semua merasa ada yang akan terjadi di tobong itu.

“Mas Wahyu….setelah ini, menikah…lah dengan Asih… mas. Bim…binglah dia menjadi istri dan pekerja seni yang baik. Aku….aku percaya dia mampu menggantikan aku…”

“Jangan ngomong gitu dik. Kalau kamu memang sakit, aku akan carikan obatnya. Tapi jangan minta aku mencari gantimu. Aku nggak sanggup…” Wahyu memeluk istrnya erat. Air matanya tumpah membasahi wajah ayu istrinya.

“Mas….waktuku ndak banyak. Ibu sudah menjemputku. Aku belum pernah minta apa-apa kan? Penuhilah….. permintaanku yang satu ini mas. Berjanjilah…untuk menikah…dengan Asih..calon Sri Pangung tobong ini, juga Sri Pangung di hatimu kelak….”

Tak ada lagi yang sangup bicara. Wahyu hanya mengangguk mengiyakan permintaaan istrinya. Meski jujur saja hatinya menolak. Dan malam itu, setelah mengucap dua kalimat syahadat, Wulan pun pergi dengan tenang. Dengan senyuman di wajahnya.

Bintang panggung itu memenuhi janjinya pada ibunya. Menari sampai tak sanggup lagi, menari sampai nafas terakhir.

Catatan :
Sri Panggung : Bintang panggung
Tobong : tempat pementasan kethoprak sekaligus tempat menginap pemainnya
Mbeksa : menari
Gambyong Pareanom : salah satu tarian dari Jawa Tengah.