Ni hao ma,
Xiao Chu?
Masihkah senyummu secerah mentari
Dan pipimu semerah delima rekah?
Kau tahu
Betapa dalam rindu ingin kutuangkan
Tapi entahlah
Berkali-kali aku hanya berani melihat beranda rumahmu
Jika pun kudatangi
Tak berani kutinggalkan satu jejak pun di beranda
Meski sekedar sebagai penanda
Bahwa aku pernah ke sana Xiao Chu
Sejatinya ingin kutulis rerangkaian kata di daun yang terbawa angin
Berharap akan sampai padamu
Tapi selalu kuurungkan
Karena masih saja puisi duka dan kegelisahan
Yang ingin kutuangkan
Aku hanya mau
Jika aku tlah mampu merangkai aksara
Dan bisa bermakna
Hanya makna bahagia yang akan terbaca Xiao Chu
Meski aku tak selalu bersamamu
Percayalah
Di sepertiga malam dalam munajat panjang
Selalu ada namamu terucap
Dan dari ribuan pinta
Ada satu harap kau akan bertemu bahagia
Bersamanya glossary: Xiao Chu :
gadis kecil bernama Chu
Ni hao ma : apa kabar
Aku
sedang menyelesaikan piketku hari itu. Senin pagi adalah giliranku bersama
Hamid, Tomo dan Sanusi rekan satu selku untuk menyiapkan sarapan bagi para
penghuni Lapas. Tugas kami seperti biasa adalah menanak nasi bagi ratusan napi
beserta para sipir dan staff di lapas ini. Sementara napi yang lain menyiapkan
sayur dan lauk berupa Oseng Buncis, Telur Dadar dan Tempe Goreng. Menu yang
tergolong mewah untuk para pesakitan seperti kami.
Saat
semua sudah siap dan tinggal menunggu jam makan pagi tiba, sipir Hakim datang
menghampiriku yang sedang mengangkat satu dandang besar nasi bersama Tomo.
“Widodo,
ada tamu untukmu!”
“Siapa
pak? Bapak angkat saya?” tanyaku sambil terus melangkah menuju ruang makan dan
meletakkan nasi yang masih mengepul asapnya itu di sisi meja besar tempat
menyusun piring dan sendok.
“Bukan.
Perempuan. Tapi selama aku bertugas di sini, aku belum pernah melihatnya
mengunjungimu” sipir Hakim memang baru dua bulan bertugas disini. Sementara aku
sudah hampir satu tahun menginap di hotel prodeo ini.
“Baik
pak. Saya cuci tangan dulu. Tomo, kamu minta bantuan Hamid atau Sanusi saja ya?
Paling aku sebentar aja. Belum tahu juga siapa yang mencariku…” kataku pada
Tomo sambil membersihkan tanganku lalu merapikan pakaianku ala kadarnya. Lagi
pula, apanya lagi yang mau dirapikan? Seragam biru-biru ini adalah pakaian
kebesaran kami para penghuni lapas.
Sambil
berjalan menuju ruang untuk menerima tamu, aku terus bertanya dalam hatiku. Ada
perempuan mengunjungiku sepagi ini di penjara. Siapa? Selama aku tinggal di kota
ini, aku tak terlalu banyak punya teman apalagi perempuan. Teman pria saja
semenjak aku di penjara tak pernah lagi menanyakan kabarku. Mereka seperti
enggan untuk mengenal apalagi berteman denganku. Status sebagai narapidana
ternyata mampu membuatku kehilangan banyak hal.
Sampai
di ruangan untuk menerima tamu, mataku menangkap sosok yang sangat kukenal. Dan
seketika tubuhku gemetar, sendi-sendiku terasa lemas dan nafasku sesak. Aku
menghentikan langkahku dan kembali ke dalam diiringai pandangan bingung sipir
Hakim.
Kusandarkan
tubuhku di dinding. Aku tak sanggup lagi berjalan. Dadaku kian nyeri dan
nafasku semakin sesak.
“Wid…Widodo!
Kamu kenapa? Kamu sakit?” sipir Hakim menghampiriku dan duduk di depanku. Aku
diam saja sambil mengatur nafasku. Setelah sedikit lebih lega aku segera
berdiri dan melangkah kembali ke ruang makan.
“Widodo!
Kamu tidak ingin bertemu dengan pembesukmu?!” Tanya sipir Hakim melihatku
kembai ke tempat piketku.
“Maaf
pak. Tapi saya minta tolong pada bapak, katakan padanya saya belum siap ketemu
dengannya pak. Tolong” aku memohon pada sipir Hakim. Sipir Hakim menggedikkan
bahunya dan menggelengkan kepala, heran dengan sikapku. Tapi aku tak peduli.
Yang aku inginkan sekarang adalah menenangkan diri.
“Baiklah.
Akan aku sampaikan padanya. Tapi kamu yakin baik-baik saja?” Aku hanya
mengangguk dan berlalu meninggalkannya menuju uang makan.
Tapi
sepanjang pagi itu hingga malam tiba, pikiranku tak pernah lepas dari peremuan
berjilbab yang tadi bermaksud membesukku. Dan mengingatnya selalu saja
menghadirkan lagi rasa berdosa yang selama ini berusaha kuhilangkan dengan
sekuat tenaga. Tapi rupanya aku tak berhasil. Perasaan itu selalu saja
menghinggapiku bila mengingatnya, terlebih bila kuingat kelakuanku yang
memalukan yang secara tidak langsung membuatku akhirnya terdampar di tempat
ini.
Namanya
Sri Utari. Sejak aku tinggal di desa itu, aku hanya tahu dia seorang janda.
Yang membuat aku prihatin, dia menjadi janda karena suaminya meninggal, hanya
tiga bulan setelah mereka menikah. Saat kemesraan masih hangat-hangatnya, saat
manisnya madu pernikahan seharusnya masih mereka kecap, tapi Utari harus
kembali sendiri. Kesendirian yang menyakitkan dibandingkan menjadi lajang.
Tak
seorang perempuan pun di muka bumi ini yang ingin menyandang status janda. Aku
ingat betul saat ayahku baru meninggal dunia, ibuku harus berjuang mati-matian
tidak hanya untuk menghidupi anak-anaknya, tapi juga untuk menepis anggapan
miring tentang seorang janda. Saat itu ibuku sering dikabarkan menerima lelaki
yang bukan muhrim di rumah. Dan semua itu tentu saja hanya isapan jempol
belaka. Karena aku sebagai anak bungsunya lah yang sehari-hari menemani ibuku.
Dan aku bisa melihat sendiri, ibuku bukan tipe wanita yang kendho tapihe
alias tidak kuat iman. Sampai meninggalnya pun, ibuku tetap sendiri.
Pun
demikian dengan Utari. Selama aku mengenalnya, aku tidak pernah melihatnya
bertingkah aneh-aneh. Dia memang ramah pada siapapun yang ditemuinya. Tapi
hanya menyapa ala kadarnya, bukan genit. Dia juga sangat santun dalam
berbusana. Selalu menutup auratnya dengan sempurna kemanapun dia pergi. Dan
tujuanya pun hanya ke pasar, untuk sekedar membeli bahan untuk dagangannya.
Sepulang
dari pasar, dia kembali akan menutup pintu rumahnya dan memasak makanan yang
dia jual, hingga menjelang Ashar. Dan selepas Ashar hingga menjelang Maghrib
dia akan berjualan di depan rumahnya atau lebih tepatnya di teras rumahnya .Makanan
yang enak dan harga yang murah membuat Utari tak perlu waktu lama untuk menghabiskan
dagangannya. Tanpa diundang pun pelanggan akan datang untuk membeli Pecel dan
Mendoan buatan Utari. Apalagi Utari juga seorang pedagang yang ramah. Sehingga
pelanggannya merasa nyaman membeli dagangannya.
Setelah
dagangan habis, Utari kembali akan mengunci rapat pintu rumahnya dan baru akan
keluar selepas Subuh untuk ke pasar seperti yang biasa kulihat setiap aku
pulang dari mushola.
Sebagai
laki-laki, jujur saja aku sering dibuat penasaran oleh Utari. Bicaranya yang
singkat dan seperlunya, justru membuatku makin ingin mengenalnya. Dia memang
lebih tua beberapa tahun dariku. Tapi yang aku tahu, tak ada undang-undang atau
hukum yang melarang seorang pria mencintai wanita yang lebih tua. Tapi itulah,
aku selalu merasa kalah wibawa jika sudah berada di depan Utari. Kematangannya
dalam menghadapi hidup membuat nyaliku ciut kendati dalam hatiku ada ribuan
kata yang ingin kuungkapkan. Yang jika diringkas hanya akan menjadi “Aku
menyukai Mbakyu…”
Haduuh….!
Aku seringkali merasa kuwalahan membendung hasratku sendiri. Entahlah. Padahal
tak sedikit cemooh kudapatkan dari orang-orang di sekelilingku saat aku
ceritakan bahwa aku menyukai Utari. Tapi ya wis ben(biarlah). Aku
menyukai Utari bukan hanya karena dia cantik. Tapi menurutku dia layak untuk
dicintai juga dilindungi. Semakin sering kudengar cemooh, makin kuat tekadku
untuk meminang Utari.
Apalagi
menurutku, aku punya cukup modal untuk melamarnya. Aku bukan pengangguran. Aku
punya penghasilan tetap meski mungkin pas-pasan. Dan biarpun tak bisa menjamin
kehidupan yang mewah bagi Utari, setidaknya kami tidak kelaparan. Ah….angan
yang terlalu muluk buat perjaka tanggung seperti aku. Meski demikian, suatu
hari aku beranikan diri untuk menyatakan keinginanku. Tapi apa jawabnya?
“Maaf
Dhimas. Saya menghargai niat baik
dhimas. Tapi sekali lagi maaf. Saya belum berpikir untuk menikah kembali. Saya
masih ingin menikmati kenangan saya bersama kangmas. Nyuwun ngapunten(maaf)Dhimas” jawabnya seraya menundukkan
kepala.
“Apa
karena saya terlalu muda untuk Mbakyu?”
“Bukan.
Bukan karena Dhimas terlalu muda.
Tapi karena saya memang belum ingin meninggalkan kenangan saya bersama suami
saya. Siapa tahu saja, di akhirat kelak saya bisa menjadi bidadarinya di surga”
Subhanallah….sampai
segitu mikirnya? Kalau bukan wanita sholeha, pasti dia sudah mencari pengganti
suaminya sejak beberapa tahun silam. Padahal hingga saat ini, sudah enam tahun
dia menjanda. Tapi Allah memang Maha Mengatur segalanya. Dan rupanya aku memang
harus kecewa meski sebenarnya aku juga ingin dia menjadi bidadariku di surga
nanti.
Hari
terus berganti. Penolakan Utari tak menyurutkan hasratku untuk terus memujanya.
Apalagi setiap melihat senyum dan mendengar sapanya yang lembut, jiwa lelakiku
seakan ingin berontak. Rasanya tak cukup bagiku hanya mendengar kalimat ‘mari Dhimas, saya duluan’ atau ‘sugeng
enjang(selamat pagi) Dhimas’. Aku ingin Utari jujur menyatakan perasaannya
bahwa dia juga menyukaiku.
Terdengar
agak sedikit memaksa memang. Tapi itulah yang ingin kudengar darinya.
Dan
keinginan itu mendorongku untuk melakukan hal yang selama ini kubayangkan pun
tidak. Menyatroni rumah Utari saat gulita masih menyelimuti. Hari pertama
Ramadhan tahun lalu itu menjadi saksi kegilaanku akan Utari.
Malam
itu aku tak bisa tidur barang semenitpun. Syahwatku berontak. Berbagai cara
telah kulakukan tapi tak berhasil meredamnya. Dan entah mengapa malam itu
bayangan Utari berkeliaran dalam benakku. Aku tahu, sangat tahu bahwa dia bukan
hakku. Aku tak boleh menjamahnya. Aku juga tahu dan sangat bisa membayangkan,
apa yang akan dibicarakan banyak orang jika aku sampai menyalurkan hasrat
gilaku ini pada Utari. Namun aku tak bisa menahannya.
Selepas
makan sahur, aku berjalan menuju rumah Utari. Setan telah menuntunku untuk
mengetuk pintu rumahnya yang selalu terkunci rapat seperti pintu hatinya.
Setelah
dibukakan pintu, segera aku merangsek masuk dan memeluknya meski aku tahu dia
masih mengenakan mukena pertanda baru selesai sholat malam. Dia meronta.
Sekali, berhasil dan lari masuk ke kamar. Aku mengejarnya dan terus mengejarnya
hingga dia tak bisa mengelak lagi. Kucengkeram wajahnya dan berusaha untuk
memagut bibir merahnya.
“Istigfar
Dhimas…istighfar! Kita bukan suami
istri!” Utari mengingatkanku sambil terus berusaha melepaskan diri. Tapi aku
seperti kesetanan dan tak peduli ucapannya. Terus saja kujelajahi seluruh
tubuhnya yang masih berbalut mukena sambil berusaha untuk mencumbunya.
“Busyet!” batinku. “Susah juga perempuan ini ditaklukkan”
“Sudahlah Mbakyu, tidak usah munafik. Katakan
saja Mbakyu juga menginginkan ini!
Sudah enam tahun Mbakyu menjanda.
Saya yakin Mbakyu pun merindukan
belaian dan dekapan seorang pria!” aku masih memeluknya erat bahkan aku sudah
berani membuka paksa mukena dan kerudungnya.
Sementara
itu, kulihat Utari berlinang air mata. Wajahnya pun memucat dan bibirnya
bergetar. Terlihat sekali rona ketakutan di wajah cantiknya. Namun bukannya
iba, aku semakin gila. Bibir yang bergetar itu terlihat begitu ranum dan
menggiurkan. Dan aku, Widodo Jatmiko ingin sekali memagutnya. Kesempatan tak
kan datang dua kali.
Tapi
aku tak lagi menggunakan cara kasar. Aku ingat kalau perempuan itu suka
kelembutan karena dia ibarat gelas kristal. Ceroboh sedikit saja maka….prang!
Pecahlah kristal itu.
Aku
mencoba bersikap lembut pada Utari. Rambutnya yang tergerai indah kubelai
dengan lembut. Lalu perlahan kudekatkan wajahku ke wajahnya untuk segera
kunikmati sensasi yang sudah semalaman kuimpikan.
Namun
tiba-tiba mataku melihat deretan ayat-ayat suci Al Qur’an yang tertempel
didinding di belakang kepala Utari. Meski tak berisi penjelasan tentang
seberapa besar dosa yang kulakukan, ayat-ayat itu seperti menamparku dan
mengingatkanku bahwa perempuan bukan untuk didzolimi tapi dilindungi.
“Astaghfirullah
hal adziim….” Kuhempaskan tubuh Utari dan kubalikkan badanku. Tubuhku pun kini
gemetar. Bukan. Bukan karena hasrat menggelora yang tak tersalurkan, tapi lebih
karena seperti tertampar dan menyadari bahawa aku telah melakukan sebuah
kebodohan.
Kusandarkan
kepalaku di kusen pintu kamar Utari. Sekilas kulihat dia terduduk lemas di
lantai dan menagis tersedu sambil menutupi kepalanya dengan sarung. Tidak ada
kata yang keluar dari mulutnya. Hanya isakan yang semakin jelas terdengar.
“Ya Allah….apa yang bau saja kulakukan?
Perempuan ini begitu kucintai. Tapi setan mana yang Kau biarkan membujukku
untuk menjamahnya? Dia buka hakku. Dia bukan untukku. Dia perempuan yang begitu
setia pada suaminya. Seharusnya aku menghormatinya, melindunginya atau
menjaganya. Tapi…Astaghfirullah hal adziim….”
Air
mataku mengalir tanpa isakan. Penyesalanku terlalu dalam. Tapi aku tak mampu
mengatakan apapun selain “Maafkan saya Mbakyu,
saya khilaf…” dan berlari meninggalkannya menembus gelapnya dini hari itu.
Aku
terus saja berlari tanpa peduli apapun lagi. Aku hanya tahu aku sudah melakukan
kesalahan besar dan rasanya tak punya muka lagi jika harus bertemu dengan
Utari. Dan di dini hari itu, seorang pemuda mabuk tertabrak olehku yang sedang
berlari menghindari rasa bersalahku. Pemuda itu mengamuk dan menyerangku dengan
botol minuman kerasnya namun berhasil kutangkis bahkan aku membalikkan
serangannya dan melukai kepalanya hingga dia tak sadarkan diri.
Peristiwa
dini hari itulah yang menghantarkanku sampai di penjara ini. Dianggap melakukan
penyerangan meski aku hanya membela diri.
Andai
saja aku tidak melakuka kebodohan itu, mungkin aku masih bisa memandang senyum
indah Utari, Mbakyuku Kinasih. Masih
bisa mendengar sapaan santunya setiap pagi dan masih berani menatap matanya
untuk sekedar mengatakan “Saya mencintai Mbakyu”
meski cuma dalam hati.
“Halo! Selamat malam!” perempuan lima puluh tahunan itu menyapa ramah si
penelpon.
“Malam, Tante. Marissa-nya ada?” tanya si penelpon.
“Ini siapa ya?”
“Ini Tommy, tante. Tommy Tjokro” kata si penelpon.
“Oh, kamu Tom! Marissa lagi ke New York”
“New York? Tugas peliputan, Tante?”
“Nggak, Tom. Marissa lagi cuti. Dia pengen jalan-jalan sekalian mau ketemu
kamu. Kamu pindah ke Bloomberg, kan?” kata mama Marissa.
“Tante, saya memang pindah ke Bloomberg. Tapi tidak di pusat. Saya anchor
Bloomberg Indonesia. Jadi ya masih di Jakarta” jelas Tommy. Ada sedikit rasa
iba. Membayangkan betapa kecewanya gadis itu.
Bagi Tommy, Marissa Anita bukan sekedar rekan kerja yang baik dan profesional. Dia
juga pribadi yang menyenangkan. Dan belakangan, Tommy mulai menaruh hati
padanya. Kebersamaan hampir setiap hari di 8 - 11 Metro TV telah menghadirkan
rasa yang berbeda di hatinya.
“Kalau begitu kamu hubungi hapenya saja!” kata mama Marissa.
“Sudah, Tante tapi tidak bisa. Mungkin baterainya habis. Karena itu saya
telpon kemari. Baiklah kalau begitu, Tante. Saya permisi dulu. Maaf sudah
mengganggu. Selamat malam”
“Selamat malam!” keduanya menutup telpon sambil berfikir tentang Marissa.
*****
Bandara Soekarno Hatta, beberapa hari kemudian.
Marissa melangkah gontai keluar dari terminal kedatangan luar negeri. Dia
merasa lelah dan malu pada dirinya sendiri. Menurutnya, sebagai jurnalis dia
sudah melakukan hal konyol dengan mencari Tommy hingga ke New York. Saat itu
dia hanya tahu satu hal, dia harus ungkapkan perasaannya.
“Marissa…!” sebuah suara memanggilnya. Dan saat menoleh, sosok yang
belakangan ini mengisi hatinya terlihat berjalan menghampirinya.
“Tommy?! Kamu ngapain ke sini?” Marissa heran. Seingatnya, tak ada yang tahu
kepergiannya selain keluarga.
“Seharusnya aku yang tanya, ngapain kamu ke New York?”
“Kamu sudah tahu jawabannya…..” kata Marissa datar.
“Marissa, aku memang pindah ke Bloomberg, tapi Bloomberg Indonesia. Jadi aku
nggak akan ke mana-mana” Tommy menatap lekat mata Marissa yang mulai berkaca.
Ada banyak rasa berbaur. Malu, bodoh, konyol dan bahagia.
“Lagi pula, aku nggak akan pernah bisa kemana-mana lagi…” Marissa
memandangnya tak mengerti.
Menarilah hingga kamu tak sanggup lagi
menari. Menarilah hingga hembusan nafasmu yang terakhir. Biarkanlah
panggung itu menjadi saksi betapa kamu mencinta dan mengabdi kepada seni
sama tulusnya dengan mengabdi pada suamimu dan keluargamu.
***@***
“Kamu ndak dandan? Sebentar lagi tobong
dibuka lho dik!” Suara lelaki itu mengagetkan Wulan yang tengah
berbaring di biliknya. Lelaki yang ternyata adalah Wahyu, suaminya itu
kemudian mendekati istrinya dan duduk di tepi balai-balai tempatnya
bebaring.
“Ndak mas. Kepalaku pusing dan mual”
terdengar suara yang sangat lemah dari bibir istrinya. Wahyu juga
melihat wajah istrinya begitu pucat. Seketika dirabanya dahi sang istri.
“Wah iya, dik. Kamu sakit? Ya wis kalau
memang sakit ndak usah manggung dulu. Lha terus yang nggantiin kamu
mbeksa siapa? Gambyong Pareanom ndak lengkap tanpa kamu”
“Aku sudah minta Asih untuk menggantikanku.
Sudah kuliat tadi mbeksanya bagus. Luwes. Dia juga cepet nangkep kalau
diajarin. Pokonya mas Wahyu ndak usah khawatir” Wulan berusaha
menenangkan suaminya.
Wajar jika Wahyu nampak kebingungan
mengetahui Wulan istrinya tidak bisa menari malam itu. Wulan adalah Sri
Panggung di grup kethoprak yang dia pimpin. Berawal dari penggemar,
kemudian diperistri. Lalu Wahyu melihat bahwa Wulan punya bakat tidak
hanya menari, tapi juga bermain peran. Akhirnya lambat laun Wulan pun
berubah dari penggemar menjadi primadona. Hampir semua tokoh sudah dia
mainkan. Rara Jonggrang, Dayang Sumbi, hingga RA Kartini dan Nyi Roro
Kidul. Semua diperankan sama baiknya hingga membuat dia digandrungi
para penggemar seni kethoprak. Bahkan jika satu malam saja dia tidak
muncul meski hanya menjadi penari pembuka, penonton pasti menanyakan ke
belakang panggung, begitu lakon yang dimainkan usai.
Dan malam itu, seharusnya dia menari untuk
pembuka pentaas. Namun karena merasa tidak enak badan. Wulan meminta
salah seorang yuniornya untuk menggantikannya.
“Aku keluar dulu ya dik? Kamu ndak apa
sendiri di sini?” terlihat kekhawatiran di wajah Wahyu. Selama ini dia
hanya tahu istrinya seorang perempuan yang tangguh dan hampir tidak
pernah sakit. Apalagi sampai harus libur manggung.
“Ndak apa mas. Aku sudah minum obat kok.
Ntar juga sembuh kalau sudah istirahat. Mas siap-siap saja di belakang
panggung. Nanti malah riasannya luntur kena keringat. Disini ungkeb”
Wahyu hanya tersenyum dan mencium dahi istrinya kemudian berlalu dari
bilik. Sementara Wulan hanya menatap punggung suaminya hinga menghilang
di balik tirai.
Sebenarnya Wulan sudah sering mengalami
pusing dan mual. Bahkan kadang kala keluar darah dari hidungnya saat dia
terlalu capek. Tapi itulah Wulan. Dia merasa tidak perlu memberitahu
suaminya meski dokter sudah menjatuhkan vonis yang saat itu mampu
membuat seluruh tubuhnya gemetar.
Leukemia. Selama ini Wulan hanya tahu
leukemia dari TV. Tak pernah terfikir sedikitpun bahwa dia akan
mengalami ini. Namun demikian, rasa terkejutnya tak lantas membuatnya
hilang semangat.Disembunyikannya setiap rasa lelah yang mendera, juga
mimisan selalu menyertainya. Diabaikannya nasihat dokter untuk tidak
terlalu capek. Di tidak ingin semua orang tahu apa yang dirasakannya.
Terutama suaminya. Lebih dari itu, dia terlalu cinta pada seni.
Dia selalu teringat nasihat mendiang ibunya yang juga seorang penari.
“Menarilah hingga kamu tak sanggup lagi
menari. Menarilah hingga hembusan nafasmu yang terakhir. Biarkanlah
panggung itu menjadi saksi betapa kamu mencinta dan mengabdi kepada seni
sama tulusnya dengan mengabdi pada suamimu dan keluargamu”
Dan itu dibuktikannya dengan tidak pernah
absen mangung barang satu malam pun. Menjadi peran utama atau bukan,
atau bahkan hanya menjadi penari pembuka, semua tak masalah. Yang pasti
penonton selalu bisa melihat penampilan Wulan setiap malam. Tak ada
hasrat ingin dipuji. Hanya keinginnya untuk terus berkesenianlah yang
mendasarinya untuk melakukan semua itu. Mungkin serupa pelukis yang
ingin terus melukis, guru yang ingin terus member tauladan, atau penulis
yang ingin terus menulis tanpa peduli apapun yang merintanginya.
Namun kemarin, usai memeranka Dewi Mantili
dalam cerita Saur Sepuh, Wulan mengalami mimisan yang lumayan hebat.
Adegan perkelahian yang banyak dilakukannya sebagai pendekar wanita
membuatnya kelelahan. Meski demikian tak pernah ada keinginan untuk
memberi tahu suaminya tentang keadaan yang sebenarnya. Sekali lagi,
wulan tak ingin merepotkan.
Sesunguhnya Wulan sadar, kondisinya semakin
lemah. Dia ingat, dokter mengatakan dia harus mendapatkan donor sumsum
tulang belakang. Tapi honornya sebagai pemain kethoprak yang tak
seberapa membuat dia tidak melakukan apapun selain pasrah dan selalu
berbaik sangka pada Sang Pencipta. Wulan percaya, sikap berbaik sangka
akan meringankan penyaitnya. Atau jika pun tak tertolong, dia ingin
sakaratul maut yang indah.
Karena itulah Wulan sudah menyiapkan
pengganti. Asih, seorang gadis berbakat yang nampaknya telah siap untuk
menjadi Sri Pangung berikutnya. Gerakan menarinya bagus, juga
ekspresinya. Kepandaiannya bermain peran juga tidak kalah dengan Wulan.
Secara diam-diam Wulan sering mengajak Asih untuk berlatih. Dan di mata
Wulan, Asih menyimpan sesuatu. Sesuatu yang bernilai sebagai seorang
seniman.
Selain menyiapkan Asih, Wulan juga
diam-diam menyiapkan batinnya untuk ‘pergi’. Tak pernah ada seorang pun
yang tahu, bahwa di pagi buta, ketika semua pemain pun suaminya masih
lelap tertidur, Wulan justru mengendap-endap pergi ke masjid dekat
lapangan dimana tobongnya berada. Dipanjatkannya doa kepada Sang Pemberi
Hidup dan Kehidupan. Dia memohon ampunan dan meminta kesembuhan juga
jalan keluar atas penyakitnya. Dia sadar, sebagai perempuan, istri dan
pekerja seni, tentu dia tak luput dari kesalahan dan sangat jauh dari
sempurna. Wulan hanya ingin satu hal. Mati khusnul khatimah.
*****
Cerita Roro Mendut malam itu berjalan
sukses. Semuanya lancar dari awal hingga akhir. Dan seperti biasa, Wulan
pun memainkan perannya dengan baik. Peran sebagai pedagang rokok pun
dihayatinya dengan sepenuh hati. Apalagi adegan percintaan yang
dimainkan bersama Wahyu yang malam itu berperan sebagai Pranacitra.
Semua penonton melihat romantisme yang tak biasa pada mereka terutama
Wulan. Bahkan pemain lain pun melihat Wulan seakan tidak ingi mengakhiri
adegan mesra itu.
Dan semua terjawab di akhir cerita. Drama
yang diakhiri dengan tewasnya Roro Mendhut karena bunuh diri menyusul
Prana citra ini membuat geger semua pemain. Karena hingga layar
diturunkan, dan penonton mulai meningggalkan tobong, Wulan tak juga
terlihat bergerak.
Semua pemain terutama Wahyu suaminya begitu
terkejut. Apalagi saat melihat ada darah mengalir dari hidung Wulan.
Wahyu yang sesungguhnya sangat tenang dan tidak mudah panik, mendadak
seperti kehilangan akal. Dia hanya bisa diam menatap istrinya yang
terkulai lemas dalam pelukannya.
Perlahan dibisikannya sesuatu ke telinga istrinya.
“Dik, aku tidak tau apa yang sebenarnya
terjadi padamu. Tapi aku siap mendengarkan apapun yang ingin kau
katakan. Katakan sesuatu dik. Jangan pergi dengan diam” air mata Wahyu
perlahan menetes. Dia tahu istrinya menyimpan sesuatu tentang kondisi
fisiknya. Karena secara diam-diam, sebenarnya Wahyu sering memergoki
Wulan mimisan dan terhuyung hampir pingsan. Tapi Wahyu ingin kejujuran
dari Wulan.
Tak lama kemudian, Wulan nampak membuka mata dan tersenyum. Dipandangnya semua pemain terutama Asih dan suaminya.
“As..Asih…duduk sini dik…” digamitnya Asih
agar duduk di sisinya. Asih dengan air mata berlinang menuruti keinginan mbakyu nya itu.
“Sih…setelah ini, kamu yang jadi Sri
Panggung ya. Menari dan bermainlah dengan baik. Jangan kecewakan
penonton yang sudah meluangkan waktunya untuk kita. Menarilah sampai
nafas terakhirmu dik….”
Asih tidak kuasa lagi membendung air
matanya. Bahkan semua pemain menangis malam itu. Semua merasa ada yang
akan terjadi di tobong itu.
“Mas Wahyu….setelah ini, menikah…lah dengan
Asih… mas. Bim…binglah dia menjadi istri dan pekerja seni yang baik.
Aku….aku percaya dia mampu menggantikan aku…”
“Jangan ngomong gitu dik. Kalau kamu memang
sakit, aku akan carikan obatnya. Tapi jangan minta aku mencari gantimu.
Aku nggak sanggup…” Wahyu memeluk istrnya erat. Air matanya tumpah
membasahi wajah ayu istrinya.
“Mas….waktuku ndak banyak. Ibu sudah
menjemputku. Aku belum pernah minta apa-apa kan? Penuhilah…..
permintaanku yang satu ini mas. Berjanjilah…untuk menikah…dengan
Asih..calon Sri Pangung tobong ini, juga Sri Pangung di hatimu kelak….”
Tak ada lagi yang sangup bicara. Wahyu
hanya mengangguk mengiyakan permintaaan istrinya. Meski jujur saja
hatinya menolak. Dan malam itu, setelah mengucap dua kalimat syahadat,
Wulan pun pergi dengan tenang. Dengan senyuman di wajahnya.
Bintang panggung itu memenuhi janjinya pada ibunya. Menari sampai tak sanggup lagi, menari sampai nafas terakhir.
Catatan :
Sri Panggung : Bintang panggung
Tobong : tempat pementasan kethoprak sekaligus tempat menginap pemainnya
Mbeksa : menari
Gambyong Pareanom : salah satu tarian dari Jawa Tengah.