meta content='IE=EmulateIE7' http-equiv='X-UA-Compatible'/> Maraza's Antology: 2013

Senin, 15 Juli 2013

Tentang Chef Wildan

Chef. Sebuah profesi yang dari dulu diidamkan Lila yang memang hobi memasak. Sejak di TV banyak bermunculan acara memasak dan melahirkan banyak chef ternama, Lila lantas ingin menjadi salah satu diantara mereka. Rasanya pasti menyenangkan bisa menciptakan beragam resep baru yang menggoda lidah untuk mencoba. Atau memodifikasi resep yang sudah ada menjadi lebih lezat dan bernilai jual tinggi.
Untuk mencapai semua itu, Lila memilih masuk SMK jurusan Boga. Hobinya memasak dia salurkan di sini. Dan ternyata saat mendalami ilmu kuliner, Lila semakin paham bahwa memasak bukan hanya sekedar harus lezat, tapi juga perlu penyajian yang unik dan menarik. Bukan cuma itu. Lila juga menjadi paham bahwa seorang chef tidak hanya harus pintar memasak, tapi juga harus bisa jadi pemimpin atau leader yang baik. Karena di balik dapur sebuah restoran atau hotel, semua persiapan berada di bawah pengawasan satu chef yang sama.
Lulus dari SMK, Lila mengambil kuliah di Akademi Pariwisata lagi-lagi dia mendalami kuliner. Wawasannya makin bertambah karena tidak hanya mempelajari kuliner Indonesia tapi juga kuliner asing lainnya. Meski demikian, lidah Indonesia Lila tidak bisa menampik bahwa kuliner Indonesia lebih lezat dan lebih menantang untuk dipelajari. Bumbu yang beragam dan cara memasak yang lumayan rumit adalah tantangan yang harus ditaklukkan. Makanan Indonesia harus jadi tuan rumah di negeri sendiri. Itu keinginannya.
Satu hal yang selama ini tak pernah dibayangkan Lila adalah, dia harus bekerja di bawah pimpinan seorang chef yang super jutek dan tukang marah-marah. Chef Juna? Gordon Ramsey yang punya Hell’s Kitchen itu? Ahhh…lewat. Nggak ada apa-apanya. Kalau Juna atau Ramsey cuma ‘ngamuk’ kalau ada kontestan yang masaknya nggak banget. Tapi chef yang satu ini, dia sepertinya sudah jutek dari lahir. Mukanya nggak pernah senyum, nggak pernah mengarahkan, tapi selalu memaki jika kurang pas sedikit saja dengan maunya.
Kadang Lila juga rekan kerjanya yang lain merasa, chef yang bernama Wildan ini bermasalah dengan urusan mental. Orang yang waras akan menyampaikan segala sesuatu dengan kalimat yang baik agar diterima dengan baik pula. Kalau marah pun pasti masih mikir. Tapi tidak dengan Wildan. Dia bisa melontarkan makian yang paling menusuk perasaan bahkan pernah salah satu chef baru yang langsung resign di hari pertama kerja,  begitu melihat cara kerja dan sikap tidak bersahabat Wildan. Satu kata yang bisa diberikan oleh Lila. Menyebalkan.
“Kenapa nih?  Kok anak papa murung hari gini?” Hari memang masih lumayan pagi. Baru jam tujuh lebih lima belas. Tapi Darmawan sudah melihat Lila putrinya termenung di meja makan. Secangkir kopi di depannya tak tersentuh dan sudah menjadi dingin.
“Eh, Papa. Sini deh, Pa. Ada yang mau Lila tanyain.” Lila menggamit Darmawan dan menarik kursi di sebelahnya untuk Sang Papa.
“Mau nanya apa sih?” Darmawan menatap Lila penasaran.
“Pa, orang-orang di resto tahu nggak, kalau aku anaknya Papa?” Lila memang berekrja di resto milik papanya.
“Nggak tuh. Kan kamu dulu masuk ke sana dengan jalan yang sama seperti yang lain. Tes tulis, interview juga praktek masak. Bahkan Papa sengaja mengundang penguji dari luar biar fair. Kenapa sih?” Darmawan belum bisa menebak arah pembicaraan putrinya.
“Nggak sih. Aku heran aja sama Chef Wildan. Dia sepertinya benci banget sama aku, Pa. Marah melulu, salah melulu. Padahal aku selalu simak dan kerjakan baik-baik semua instruksinya. Lagian aku kan punya sens of belongin paling tinggi pada resto itu dibanding yang lain. Jadi nggak mungkin kan aku masaknya ngawur dan bikin pelanggan pergi?
“Tapi nggak tahu nih. Chef Wilndan nggak pernah appreciate sama yang udah kukerjakan. Kayak kemaren nih. Mosok aku musti bikin Hakau Udang sampai tiga kali?! Katanya kurang ini lah, kurang itu lah, lipetan kulitnya masih kurang rapi lah. Padahal nih Pa, aku udah nanya sama Chef Steven  yang asli orang Cina. Katanya udah enak banget. Eh yang asli Indonesia malah segitunya.
“Padahal bikin hakau kan ngak gampang Pa. Biangnya, isinya, ngelipetnya. Kalau dia nggak benci sama aku, apa coba namanya? Pokonya sebel deh!” Lila memuntahkan semua uneg-unegnya. Lega rasanya.
“Eh..eh…kok pagi-pagi udah ada yang meledak? Pakai ngomongin orang lagi. Nggak baik lho! Pagi hari itu awali dengan gembira. Biar seharian gembira terus,” tiba-tiba saja Nurmala mama Lila sudah muncul dengan nampan  berisi roti bakar dan cokelat panas untuk sarapan mereka.
“Ini lho, Ma. Lila lagi kesel sama Wildan.” Kata Darmawan.
“Wildan? Chef baru yang ganteng dan cool itu? Ada apa sih cantik? Jangan gitu, ntar kecantol lho!” Nurmala mencoba mengingatkan Lila.
“Habis kesel sih, Ma. Apa aku resign aja ya dari restonya Papa? Nggak tahan lagi nih. Capek hati mlulu.”
“Eit, apa Papa pernah ngajarin anak-anak Papa untuk jadi pecundang? Nggak kan? Lihat kakak-kakak kamu Lexi dan Litha. Semua pernah mengalami masa sulit di tempat kerja yang mereka minati. Tapi passion yang mereka miliki mampu membuat mereka bertahan dan membuktikan bahwa mereka tidak layak untuk diremehkan.
“Kamu juga musti gitu. Bidang kuliner adalah bidang yang kamu sukai. Kamu sudah habiskan banyak waktu untuk sampai ke tahap ini. Seorang chef. Memang, saat ini kamu belum jadi chef utama di resto Papa. Tapi suatu saat nanti, kamu yang akan Papa pilih untuk menerusakn usaha itu karena kamu punya passion yang sama denga Papa.
“Nah, kalau belum apa-apa kamu sudah menyerah, bagaimana Papa bisa percayakan resto itu pada kamu? Buktikan pada Chef Wildan kamu anak buah yang layak diandalkan. Buktikan juga pada Papa dan Mama, kamu siap memimpin restoran itu. Kalau kamu ingin Wildan keluar dari resto kita, kamu sendiri yang harus memecatnya, setelah nanti kamu jadi owner!”
Panjang lebar Darmawan menasihati putri bungsunya. Dia hanya tidak ingin Lila menyerah sebelum berperang. Prinsip Darmawan, tidak ada salahnya sedikit berdarah-darah untuk meraih kemenangan. Para pejuang kemerdekaan jaman dulu pun melakukan yang sama bahkan lebih dari itu.
Lila hanya diam. Roti bakar cokelat keju itu rasanya tak nikmat lagi. Kalau saja tidak lapar mungkin tidak akan dimakannya. Apa yang baru dikatakan papanya berputar-putar dalam pikiranya. Papanya benar. Tak ada kemenangan dan keberhasilan tanpa perjuangan. Calon owner sebuah restaurant memang harus tahan banting. Kalau menghadapi seorang Wildan saja dia menyerah, bagaimana jika nanti resto mengalami maslah?
Akhirnya Lila memutuskan untuk melakukan sesuatu. Segera dihabiskan sarapannya, mencium tangan kedua orang tuanya dan melangkah tergesa keluar rumah diikuti tatapan tak mengerti Darmawan dan Nurmala. Mereka yakin Lila pasti ke tempat kerja karena sudah membawa tas dan mengenakan seragam. Tapi mengapa harus sepagi ini? Hanya Tuhan dan Lila yang tahu.
----
Baru jam delapan kurang sepuluh menit ketika Lila sampai di resto. Resto memang baru buka pukul sebelas. Tapi sudah beberapa orang yang datang terutama cleaning service. Resto yang bersih dan tertata rapi tentu akan membuat pelanggan kembali datang, selain makanannya yang juga harus lezat.
Lila hanya meyapa sekedarnya pada mereka dan segera menuju ruang persiapan. Dia kembali membuat Hakau Udang yang kemarin berakhir di tempat sampah. Tak ada yang berubah dari resepnya. Tetap resep yang sama dengan kemarin. Kalau ada yang berubah, maka yang berubah adalah semangat Lila saat membuatnya. Tidak ada lagi gerutuan atau keluh kesah. Kalau pun nanti masih dirasa tidak enak, Lila tak akan mengijinkanya untuk dibuang. Pengemis atau pemulung bahkan para pramusaji pasti masih doyan.
Hampir dua jam Lila mengerjakan ‘PR’nya dan setelah selesai segera dibawanya hakau yang masih mengepul asapnya itu ke ruangan  Wildan.
“Masuk!” teriak Wildan dari dalam. Dan dia segera melihat wajah kemerahan Lila yang datang dengan hakau di angannya.
“Pagi Chef!” Sapa Lila sambil melangkah mendekati meja Wildan. Sementara Si empunya meja sedang asik dengan gadgetnya.
“Ada apa? Kok pagi-pagi kamu sudah ke ruangan saya? Bawa makanan lagi. Mau nyogok saya, supaya saya nggak sering marah-marah?!” Ketus seperti biasanya. Tapi kali ini Lila menangapinya dengan tenang. ‘Calon owner ngak boleh cengeng.’ Bisik batinnya.
“Maaf Chef, saya anti suap. Saya cuma mau selesaikan PR kemarin. Tiga kali hakau saya berakhir di tempat sampah. Saya harap kali ini tidak, karena akan saya berikan pada pengemis kalau Chef nggak berkenan.” Lila berkata dengan tenang. Diletakkannya hakau buatannya di meja. Berdebar menunggu reaksi chef jutek itu. Sementara Wildan bergeming. Tetap asik dengan gadgetnya.
Setelah beberapa lama cuek, akhirnya Wildan mengambil sumpit yang sudah disiapkan Lila dan mulai menyantap hakaunya. Cukup lama Wildan membuat Lila penasaran karena tak segera mengatakan rasa hakau buatannya. Wildan seperti sedang menikmati setiap gigitan dan kunyahan di mulutanya.
“Enak kok. Enak banget. Mirip seperti di negara asalnya. Sebenarnya sih, tiga yang kemaren juga enak. Dan sesungguhnya nggak ada yang dibuang. Dimakan sama anak-anak termasuk saya. Asal kamu tahu itu bukan tempat sampah. Tapi kerajang sayuran.” Wildan tersenyum di  sudut bibirnya sambil melangkah meninggalkan Lila yang melongo.
Kesal, marah, pengen nangis karena merasa dikerjai. Tapi Lila tidak tahu harus berbuat apa.
“Tunggu Chef!” stengah berlari Lila menyusul Wildan yang sudah mendekati pintu.
“Apa lagi? Mau dikasih PR lagi?” Wildan memandang sinis pada Lila.
“Bukan itu. Saya cuma ingin tahu. Kenapa sih Chef Wildan sepertinya benci banget sama saya? Kalau saya punya kesalahan, tolong katakan saja biar saya perbaiki. Mungkin saya pernah tidak sengaja menyinggung perasaan Chef, tidak kooperatif dengan angota tim yang lain, atau memasak yang benar-benar tidak sesuai standar resto kita. Katakan Chef. Please.”
Wildan tidak langsung menjawab. Justru kali ini dia kelihatan grogi menerima pertanyaan bertubi-tubi seperti itu. Lama dia hanya memandang Lila dengan tatapan yang Lila sendiri tak berani menterjemahkan. Bukan sinis, benci atau marah seperti biasanya. Tapi pandangan Wildan kali ini benar-benar membuat Lila meleleh.
“Kamu benar-benar mau tahu kesalahan kamu?” Tanya Wildan setelah lama diam. Lila mengangguk.
“Kamu, selalu membuat saya merasa dimana-mana kamu ada. Di ruangan saya ini, di ruang persiapan, ruang meeting, bis kota, mobil bahkan kamar saya. Setiap saya menatap gambar Luna Maya artis idola saya, wajah kamu yang muncul. Nonton film Spiderman di sada tak ada lagi Mary Jane tapi kamu. Hermione juga berubah jadi kamu. Kamu, kamu dan selalu kamu di manapun aku berada. Masih merasa nggak salah?!
“Dan kesalahan kamu yang paling fatal adalah, kamu sudah mampu membuat saya bersemangat hidup lagi, mencintai pekerjaan saya lagi dan berani jatuh cinta lagi. Actualy, I love you Lila.”
Lila hanya terpaku. Tak percaya pada apa yang baru didengarnya. Sebetunya sejak lama semua orang di dapur resto membicarakan kemungkinan itu. Membully karena menaruh hati. Tapi Lila selalu mengatakan bahwa itu tidak mungkin. Meski dalam hati sesungguhnya Lila juga mulai melirik Wildan. Andai tidak jutek dan pemarah tentu wajah tampan itu makin menawan. Sayangnya…
Dan sekarang ternyata Lila mendengar sendiri dari mulut Wildan, ungkapan perasannya yang tak biasa itu.
“Maaf untuk yang tak menyenangkan, La. Aku melakukannya agar kamu membenciku, keluar dari resto ini dan aku tak perlu melihatmu lagi hingga tak perlu jatuh cinta lagi. Tapi ternyata aku tidak bisa. Kamu ada di mana-mana bahkan dihatiku. Bagaimana, La? Masih ada tempat untukku?” Wildan menatap Lila penuh harap. Lila tak melihat lagi Wildan yang jutek dan pemberang. Ini Wildan yang berbeda.
Are you serious, Chef?”
Yes, I am.” Lila hanya diam memandang tajam pada Wildan yang masih menunggu jawabannya. Sampai akhirnya, Lila mengatakan kalimat yang sangat mengejutkan Wildan.
“Saya nggak mau.” Cuma itu yang dikatakan Lila sambil membuka pintu ruangan dan melangkah keluar. Tinggallah Wildan yang terpaku di depan pintu yang kembali menutup. Sementara Lila tersenyum simpul karena berhasil mengerjai Wildan. Meski Lila pun mulai menyukai Wildan, Lila lebih ingin agar Wildan berjuang untuk mendapatkan hatinya sama kerasnya dengan saat Lila berjuang untuk membuat hakau udang pesanan Wildan.
Hidup memang perlu perjuangan.

Jumat, 12 Juli 2013

Mbakyuku Kinasih 4 : Cintaku dan Pencitraan Subakti

Akhirnya aku benar-benar dibebaskan. Meski untuk sampai ke sana perlu waktu hampir satu bulan. Setelah Sanusi dan Tomo tertangkap kembali hampir seminggu setelahnya, pihak lapas melakukan kroscek antara aku dan dua pelarian itu. Dan aku dinyatakan bersih.
“Alhamdulillah…” Cuma itu yang mampu kuucapkan dalam sujud syukurku di depan gerbang lapas. Lega rasanya bisa melihat kembali lalu lalang orang di jalanan, menikmati hangatnya sinar matahari, melihat senyum bijak bapak angkatku yang menjemputku dan aku bisa kembali melihat Utari.
Utari. Bagaimana keadaannya sekarang? Jujur aku khawatir. Wanita manapun pasti tertekan jika mengalami kejadian seperti itu. Apalagi Utari yang begitu sholeha dan selalu menutup rapat auratnya. Baginya pasti ini merupakan aib dan trauma yang tak kan mudah terhapus begitu saja. Sudah bertahun-tahun Utari menjaga kesetiannya pada mendiang suaminya bahkan sampai menolak pinanganku. Tapi justru kejadian tragis itu yang harus diterima sebagai imbalannya.
“Gimana keadaan Mbakyu, Ken?” tanyaku pada Niken saat aku mengunjungi kediaman Utari, sehari setelah aku bebas. Bu Etik ibunya Niken juga ikut menemaniku ngobrol.
“Ya gitu itu Mas. Secara fisik sih mbak Ut itu sehat. Tapi batinnya masih trauma mas. Ndak pernah mau keluar kamar kecuali untuk wudhu dan mandi. Mandinya pun lama banget. Dia selalu merasa badannya penuh najis dan ingin menghilangkannya sampai habis”
Aku tertegun. Mataku membasah. Miris mendengar cerita tentang Utari. Hidup sendiri tanpa keluarga dan harus mengalami kejadian menakutkan sekaligus menjijikkan. Andai saja dulu Utari tidak menolak lamaranku, tentu aku bisa membelanya sekuat tenagaku. Tak kan kubiarkan seorang pun menyakiti Utari biar hanya seujung kuku.
Tapi toh aku cuma manusia biasa. Selayaknya titah di muka bumi ini, aku hanya harus tunduk dan patuh, serta ikhlas menerima apapun yang digariskanNya untukku.
“Aku boleh menemuinya, Ken?”
“Boleh saja Nak Widodo. Tapi jangan kaget kalau melihat reaksi Utari” Bu Etik mengingatkanku.
“Kenapa Bu?”
“Itu lho Mas, Mbak Utari itu ndak pernah bisa ketemu sama laki-laki. Setiap melihat laki-laki dia selalu histeris. Bahkan waktu dulu baru pulang dari rumah sakit, dia selalu kalap dan menyerang lelaki manapun yang datang menjenguknya. Bapakku dan Pak Marsudi pernah dilempar dengan asbak dan dicakar. Tapi kami semua memaklumi, mungkin dia trauma”
Kupejamkan mataku. Ada perih di ulu hati ini. Tapi aku harus bicara pada Utari. Kalau pun untuk itu aku harus menerima lemparan asbak, cakaran atau apapun yang menyakitkan aku rela. Dan semoga Allah memudahkan aku untuk menemui Utari. ‘Bismillaahiromaanirrohim…’ batinku sambil menyibakkan tirai kamar Utari.
“Assalamu’alaikum. Mbakyu…ini aku Widodo…” aku menyapanya dengan hati-hati karena takut mengagetkannya. Saat itu dia nampak sedang termenung di kursi rotan menghadap keluar jendela kamarnya.
Seketika dia menoleh ke arahku dan langsung wajahnya memucat. Dia berdiri dan seperti yang diceritakan Niken juga ibunya, dia langsung menyerangku dengan kursi rotan yang tadi didudukinya. Kursi itu mengenai tulang keringku. Nyeri. Tapi aku tak peduli dan sengaja tidak menghindari serangan Utari.
Usai melemparku denga kursi kembali Utari melemparkan vas bunga dan beberapa benda lain, namun tak sampai mengenaiku meski aku tak menghindar. Wajahnya kian memucat dan air matanya berlinang. Dia terus saja menjauh hingga tersudut di pojok kamarnya yang berdinding biru itu.
“Pergi kamu! Jangan sentuh saya! Saya ndak mau lihat kamu lagi! Pergiii….!” Utari menangis histeris. Air matanya kian menganak sungai. Tak tega aku melihatnya begitu. Terduduk bersimpuh pasrah di antara ranjang dan dinding.
“Istighfar, Mbakyu. Ini Widodo. Saya cuma ingin menengok Mbakyu…” aku mencoba meredam tangisnya, tapi malah makin menjadi. Dibenamkan wajahnya diantara kedua lutut yang merapat ke dada. Bahunya berguncang hebat. Sementara kepalan tangannya memukul-mukul lantai. Hatiku sakit melihatnya. Dia memang orang lain, tapi dia punya tempat khusus di hati lelakiku yang haus kasih.
“Pergilah…Dhimas! Jangan pernah berharap apapun dari saya lagi. Saya tidak pantas lagi untuk Dhimas. Saya kotor dan menjijikkan…” Utari mencoba membuatku pergi. Tapi bukan Widodo Jatmiko jika mundur teratur. Kucoba medekatinya perlahan. Tak berani kusentuh dia meski sebenarnya sangat ingin memeluknya. Sekedar memberikan rasa aman yang setelah kejadian itu mungkin tak pernah dia rasakan.
Mbakyu, kotor atau tidaknya manusia, menjijikkan atau tidak, hanya Allah yang Maha Mengetahui. Apalagi semua ini bukan salah Mbakyu. Mbakyu cuma korban. Selama dalam hati Mbakyu masih ada Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai RosulNya, saya akan tetap mecintai Mbakyu. Bagi saya, Mbakyu tetap Sri Utari yang saya kenal, yang santun dan sholeha”
Utari masih saja menangis. Tapi nampaknya dia memahami ucapanku bahwa aku tak peduli pada kondisi fisiknya seperti apa dan tetap mencintainya. Cukup lama menunggu hingga tangisnya mereda dan kembali menegakkan kepalanya memandangku lekat. Mata sembabnya seolah menanyakan kesungguhanku. Aku tersenyum. Senyum paling manis yang pernah kumiliki.
“Saya bisa pegang janji Dhimas?” tanya Utari di sela isak tangisnya. Aku hanya mengangguk pasti. Tapi aku berharap itu cukup menjadikan jaminan bahwa aku akan selalu menjaga dan melindunginya.
Di luar kamar kulihat Niken dan ibunya berpelukan. Mereka menangis meski bibir meraka tersenyum. Seolah mereka ingin mengatakan, mereka bahagia melihat aku dan Utari saling mencintai.
******
“Ini pencitraan Wid” kata Sanusi saat aku membesuknya di lapas pagi itu. sebulan setelah aku bebas.
“Maksudmu apa San?” tanyaku tak mngerti.
“Ini kasus yang sengaja diciptakan oleh Subakti untuk pencitraan. Selama ini dia sipir yang paling tidak pernah dapat penghargaan meski sudah berkerja belasan tahun. Dengan kasus yang dia buat dan dia selesaikan sendiri dia berharap dapat citra positif dari pimpinan dan kemudian dapat penghargaan” setengah berbisik Sanusi menjelaskan makna kata “pencitraan” yang disematkannya pada sipir Subakti.
Sanusi memang divonis cukup lama. Lima belas tahun penjara. Saat aku masuk lapas ini dua setengah tahu yang lalu, dia sudah menginap di hotel prodeo ini selama delapan tahun. Jadi sangat mungkin dia paham segala sesuatu termasuk tentang sipir Subakti.
Aku mengembuskan nafasku dengan keras. Kesal. Kok masih ada orang-orang seperti Subakti di muka bumi ini? Tak bisakah mendapatkan sesuatu dengan cara yang lebih elit dan terpuji? Pantas saja tamparan dan tinjunya begitu keras mengenai mukaku. Mungkin pelampiasan rasa kesalnya.
“Tapi….ada satu hal lagi yang ingin kukatakan padamu Wid. Dan aku harap kamu tidak terkejut mendengarnya…”
“Soal apa?”
“Soal Utari”
“Kenapa dengan Utari?”
“Subakti juga demen(suka) sama Utari bahkan sejak sebelum menikah dengan mendiang suaminya”
“Dari mana kamu tahu?”
“Sebenarnya aku tetangga Utari di Klaten. Subakti itu teman sekolah Utari waktu SMA. Sejak dulu dia memang menginginkan Utari tapi tidak pernah dianggep karena orangnya kasar dan berangasan. Akhirnya Utari memilih Yusuf yang alim dan jebolan pesantren. Sayangnya tak lama setelah menikah, Yusuf meninggal dunia”
“Lantas, apa ini juga berhubungan dengan kaburnya kalian malam itu?” Sanusi tidak menjawab tapi mendadak wajahnya memucat seperti sedang ketakutan. Tiba-tiba dia bersimpuh dan mencium kakiku.
“Maafkan aku dan Tomo, Wid…maafkan kami”
“Hei…ada apa?! Udah berdiri saja. Aku bukan ibu atau bapak kalian. Kalau merasa salah yo ndak usah sampai nyembah-nyembah seperti ini. Cuma Allah saja yang layak disembah. Ayo berdiri!” Aku membimbing Sanusi untuk berdiri.
“Memangnya kalian punya salah apa sama aku? Toh pada akhirnya terbukti kan, aku bersih dan tidak terlibat dengan kaburnya kalian?” Sanusi hanya menunduk. Tapi aku melihat dia seperti ingin mengatakan sesuatu tapi takut atau ragu. Kemudian dia merangkulku dan membisikkan kalimat yang hampir saja membuat aku meninju mukanya.
“Perkosaan Utari…kami berdua pelakunya Wid. Semua atas suruhan Subakti”
Aku melepas rangkulan Sanusi dengan kasar dan kuhempaskan tubuhnya di kursi ruang besuk. Aku terkejut, marah, geram jengkel tapi tak bisa berbuat apa-apa. Kutatap tajam mata Sanusi. Ingin rasanya aku melumatnya hidup-hidup. Tapi percuma. Toh perkosaan itu sudah terjadi dan kekesalanku tak mengembalikan apapun malah menambah rasa cintaku pada Utari.
“Aarrrggghhh…! Brakk!” aku menggeram sambil menggebrak meja dengan kasar. Tak ada sipir yang menegur. Sepertinya mereka paham apa yang membuat aku kesal dan marah. Kutatap tajam mata Sanusi yang terlihat tak berdaya dengan kemarahanku.
“Tolong katakan padaku, kenapa kalian sampai hati melakukan itu? Kalian kan tahu, aku begitu mencintai Utari!”
“Subakti ingin semua pria menjauhi Utari setelah tahu dia tak suci lagi. Dan setelahnya dia akan merengkuh Utari berlagak sebagai penyelamat”
Kukepalkan tanganku kuat-kuat menyalurkan geram yang masih tersisa. Kalau tidak lupa pesan sipir Hakim untuk tidak melanggar hukum lagi, aku pasti sudah cari Subakti di manapun dia berada dan menghabisinya saat itu juga. Meski taruhannya adalah tiang gantungan.
“Kalau kamu benar-benar mencintai Utari, segera nikahi dia Wid. Jaga dan lidungi dia dari orang-orang seperti Subakti. Tapi kamu juga harus hati-hati, karena bukan tidak mungkin dia akan merasa dilancangi jika tahu kamu menikahinya. Sekali lagi, aku dan Tomo minta maaf. Silakan saja kalau setelah ini kamu tidak akan pernah membesuk kami lagi”
Aku kehabisan kata-kata. Aku hanya paham satu hal, aku memang harus segera menikahi Utari. Sebentar lagi Ramadhan. Aku ingin mengecap indahnya Ramadhan bersamanya. Aku juga ingin bisa selalu menjaganya seumur hidupku, bukan hanya sebagai Mbakyu Kinasih, tapi sebagai garwa kinasih, belahan jiwa terkasih.
Semoga saja…..(bersambung)

Kisah Itu Telah Usai

Adzan Isya’ berkumandang saat Siwi selesai membereskan bekas makan malam dan mencucinya. Segera saja ia mengambil wudhu dan menyusul suaminya yang sudah menunggunya di mushola keluarga. Sholat berjamaah selalu menjadi hal yang dia nantikan setiap hari. Sebuah kegiatan yang menurutnya lebih mesra dari sekedar berduaan dan ngobrol kesana kemari.
Usai sholat, biasanya mereka akan mengaji bersama setidaknya satu juz. Tapi rupanya malam ini Nizar suaminya hanya ingin berbincang dengannya. Kesibukannya sebagai dokter Spesialis Jantung dan Bedah Thorax sering kali menyita waktunya bersama Siwi. Perempuan lemah lembut yang dinikahinya empat tahun silam.
“Wi,” kata Nizar tanpa menggeser duduknya. Masih di atas sajadah.
“Ada apa, Mas? Ada yang penting, ya? Kok kayaknya Mas bicaranya hati-hati banget gitu?” kata Siwi sembari melipat mukenanya. Matanya sesekali melirik suaminya yang terlihat seperti sedang kebingungan dan ragu-ragu.
“Mmmm…..kemarin, ada istri seorang pasien yang menemuiku. Bukan pasienku sih, pasien dokter Arbain. Dia memintaku agar mengijinkanmu menemui suaminya.” Nizar berkata dengan sangat hati-hati.
“Istri pasien? Aku harus ketemu suaminya? Memang siapa suaminya? Petinggi negeri ini?” Siwi sesungguhnya ingin tertawa. Tapi diurungkan. Entah mengapa ia merasa ini bukan saatnya bercanda.
“Dia Adiba. Adiba ingin kamu menemui Faisal. Dia kena kanker hati stadium lanjut. Dokter Arbain tidak menjelaskan stadium berapa. Tapi menurut perkiraan medis usianya tak lama lagi dan tinggal menunggu waktu. Kecuali Allah memberi mukjizat. Aku sudah melihat sendiri kondisinya. Fisiknya memang sudah sangat lemah.”
Siwi hanya diam. Faisal. Sebuah nama yang sangat familier di telinganya. Dan seketika seraut wajah tampan berkelebat membangkitkan memori yang susah payah dia kubur dalam-dalam. Lelaki yang pernah sangat dicintainya, namun justru meninggalkannya demi wanita lain. Memang tak ada lagi cinta juga dendam untuk lelaki itu. Tapi mendengar namanya disebut, tak urung membuat Siwi gemetar. Seketika wajahnya yang datar berubah murung.
“Apa aku seorang malaikat penyembuh hingga aku harus menemuinya dalam keadaan sekarat? Lantas, apakah kedatangannku akan merubah keadaan? Maaf, Mas. Katakan pada Adiba aku tidak bisa.”
“Wi….aku tahu, di masa lalu kamu telah disakitinya. Tapi istriku yang kukenal adalah seorang pemaaf. Dia hanya ingin, di saat akhir hidupnya, dia dimaafkan oleh semua orang termasuk kamu, Wi. Apa itu salah?”
“Aku sudah memaafkannya sebelum diminta. Sampaikan itu pada Adiba atau Faisal. Bagiku ceritaku dan Faisal sudah usai. Aku tak ingin ada hal apapun yang membangkitkannya kembali meski sebuah rasa iba. Tolong pahami aku, Mas.” Siwi menatap suaminya dengan tajam.
Nizar paham. Betapa luka yang pernah ditorehkan Faisal begitu menyakitkan Siwi. Bahkan pertama kali mereka bertemu, Siwi dalam keadaan sangat terpuruk akibat pengkhianatan Faisal. Rasanya wajar jika Siwi menolak. Karena meski lemah lembut tapi sesungguhnya Siwi berwatak keras. Dan jika sudah menatap seperti itu, berarti tak bisa dibantah lagi. Nizar berusaha mengerti. Meski sisi kemanusiaannya sebagai dokter yang sering melihat pasien menghadapi sakaratul maut, sangat tidak bisa terima sikap Siwi.
“Ya sudah. Nggak apa-apa. Nanti kusampaikan pada Adiba…” Nizar membelai rambut hitam Siwi dengan lembut juga mendaratkan ciuman di keningnya. Nizar menangkap kilatan telaga di mata Siwi. Entah karena apa.
******
Hampir jam sembilan pagi ketika perkerjaan rumah Siwi selesai semua. Mencuci, membersihkan rumah bahkan masak untuk makan siang. Nizar sudah berangkat sejak sebelum Subuh karena harus melakukan CABG. Ada panggilan dari rumah sakit karena seoarang pasiennya mengalami V-Tach. Karena itulah, Siwi tak harus meladeni suaminya dulu untuk sarapan sehingga pekerjaannya selesai lebih cepat.
Baru saja selesai mandi, hapenya berdering. Nama Nizar ada di layarnya.
“Assalamu’alaikum. Gimana, Mas? Operasinya sukses?” pertanyaan yang selalu meluncur lebih dulu setiap Nizar menelpon seusai operasi.
“Wa’alaikumsalam….” Siwi terkejut. Suara perempuan di seberang sana. Sebelum sempat mempercayai pendengarannya juga menguasai perasaannya, perempuan itu melanjutkan bicaranya.
“Siwi, ini aku Adiba. Maaf, aku menggunakan hape dokter Nizar. Karena menurutnya, kau tidak akan pernah mengangkat telpon asing.” Suara itu terdengar bergetar dan sesekali terdengar isak tertahan.
“Oh….nggak apa Diba. Bagaimana Mas Faisal? Kamu yang sabar ya, Diba…..” Siwi sungguh tak tahu kalimat apa yang harus dia katakan pada pempuan yang dulu ikut andil menghancurkan hatinya. Dia hanya berusaha bersimpati, berempati.
“Yah….begitulah Siwi. Kami hanya tinggal menunggu waktu saja. Apakah Mas Faisal akan dipanggil ‘pulang’, atau justru mendapatkan mukjizatNya. Berkali-kali dia mengalami gagal nafas dan tak sadarkan diri, tapi selalu kembali lagi pada kami. Dia masih menunggu maaf darimu, Siwi. Tolong maafkan dia….” Suara Adiba terdengar parau, dan isaknya pun lebih keras terdengar. Sedih, itu yang dirasakan Siwi. Terbayang bagamana bingungnya Adiba dengan kondisi suaminya. Mata Siwi pun mulai bertelaga.
“Diba. Aku bukan penentu akhir hidup seseorang. Itu hak sepenuhnya Allah. Dimaafkan atau tidak, jika Allah berkenan memanggilnya, dia pasti akan pulang. Begitu pun sebaliknya. Dimaafkan atau tidak, jika belum waktunya dia pergi, dia akan tetap bersamamu.
“Diba. Kita sama-sama perempuan. Aku harap, kau menjadi satu-satunya orang yang ditatapnya untuk terakhir kali sebelum dia menutup mata selamanya. Jadilah satu-satunya wanita yang menuntunnya untuk ‘pulang’ dengan kalimat tauhid. Atau sebaliknya, jadilah satu-satunya wanita yang menyemangatinya, jika Allah memberikan mukjizat padanya.
“Jangan lepas kepergian suamimu dengan pandangan cemburu. Aku yakin, meski kau minta aku menemui Mas Faisal, dalam hati kecilmu ada rasa tak rela perempuan lain ada di sisi suamimu di saat terakhirnya. Jadilah satu-satunya wanita dalam hidup Mas Faisal. Katakan padanya, aku sudah memaafkannya dan mengikhlaskan semuanya. Dia percaya padamu, Diba.”
Air mata Siwi mulai mengalir perlahan di kedua pipinya. Bagaimana pun, Faisal pernah menjadi orang istimewa di hatinya. Dan berita sakitnya Faisal sanggup menghadirkan setitik ingkar di hatinya. Jika tidak bertemu saja seperti ini, bukan tidak mungkin jika bertemu akan lebih parah.
Sementara itu di seberang sana, Adiba sedang berusaha memahami ucapan Siwi. Dalam hati dia membenarkan semuanya. Sedikit banyak, diakui atau tidak dia memang cemburu pada mantan kekasih suaminya itu. Dia cemburu, kenapa Faisal tak bisa melupakan cinta lamanya itu. Ada baiknya juga Siwi menolak permintaannya. Adiba pun sebenarnya ingin menjadi perempuan terakhir di hati suaminya. Dan penolakan Siwi akan melapangkan jalan untuk itu.
“Baiklah, Siwi. Aku mengerti. Terima kasih waktunya. Akan kucoba sampaikan pada Mas Faisal. Semoga dia bisa memahami ini. Assalamu’alaikum.” Siwi menjawab salam Adiba lirih. Air mata itu tak mampu dibendung lagi. Entah rasa apa yang ada di hatinya kini. Dia sendiri pun tak paham. Siwi hanya merasa sudah melakukan apa yang harus dilakukannya.
Lima menit kemudian hapenya kembali berdering. Nizar.
“Assalamu’alaikum…..ya, Mas?” Siwi yakin kali ini bukan Adiba.
“Wa’alaikumsalam. Faisal sudah pergi. Baru saja…..” Siwi sesaat tertegun. Namun dia bisa menguasai dirinya lagi.
“Bagaimana dia pergi, Mas?”
“Tenang. Sangat tenang. Bahkan bibirnya menyunggingkan senyum….” Siwi hanya diam. Tapi ada kelegaan menyusup ke dalam hatinya.
*****
Siwi dan Nizar duduk bersisihan di karpet ruang tengah. Televisi yang menyala tak mereka hiraukan lagi. Semua larut dengan pikiran masing-masing sejak pulang dari pemakaman Faisal sore tadi.
“Siwi…..” tiba-tiba Nizar membuka pembicaraan.
“Ya, Mas…”
“Jujur sampai saat ini aku nggak ngerti, kenapa kamu begitu ngotot tidak mau menemui Faisal. Adiba bahkan sudah meminta padamu secara langsung. Aku pun memberi lampu hijau. Tapi kenapa? Rasa kemanusiaanmu sudah hilang….?!” Nizar terlihat geram bercampur bingung.
“Aku melakukannya untukmu, Mas”
“Maksud kamu apa?”
“Sekarang coba tanya hati kecilmu. Adakah rasa cemburu jika aku menemui Faisal, lalu membisikan kata penyemangat di telinganya. Atau aku membacakan kalimat tauhid untuknya bahkan menangisi kepergiannya?” Nizar diam. Tapi hatinya membenarkan. Ada setitik rasa tak rela meski dia mengijinkan.
“Kisahku dan Faisal sudah selesai. Sudah menjadi sejarah yang tak perlu dikenang lagi. Tapi kisah kita? Kita masih akan punya banyak cerita di masa mendatang. Dan aku tak ingin merusaknya dengan alasan apapun. Sejak kita berikrar di hadapan Allah, maka sejak itulah aku hanya untukmu dan kau, kurahap hanya untukku. Selamanya…..Kau paham maksudku kan, Mas?”
Nizar kembali hanya diam saja. Dia berusaha menyelami setiap kata yang terucap dari bibir Siwi. Kemudian muncul rasa kagum akan begitu kuatnya Siwi berusaha untuk setia, berusaha menjaga agar rumah tangga mereka tetap utuh tanpa dibayangi orang ketiga. Tiba-tiba dada Nizar terasa sesak. Ada sesal di hatinya telah mengatakan sesuatu yang mungkin menyinggung perasaan istrinya.
Dengan perlahan diraihnya tangan Siwi dan diletakkan di dadanya. Kemudian dipeluknya erat Siwi dan membisikkan kata maaf. Siwi pun balas memeluk. Senyap. Tak ada kata terucap. Tapi dekapan erat itu sudah mewakili semuanya.

catatan :
CABG : coronnary artery bypass graft : operasi untuk mengatasi penyumbatan pada arteri coroner
V-Tach : ventricular tachycardia : detak jantung yang terlalu cepat dan bisa mengakibatkan berhentinya otot jantung berdenyut
refrensi istilah kedokteran: singhealth.com