meta content='IE=EmulateIE7' http-equiv='X-UA-Compatible'/> Maraza's Antology: Istana Pasir Liana

Senin, 08 Juli 2013

Istana Pasir Liana

‘Rumah tangga semestinya dibangun berdasarkan cinta, berhias kesetiaan dan rasa percaya. Maka ia akan kokoh bagai kastil tua dan menjadi legenda. Ketika hanya curiga dan rasa cemburu yang mewarnai dan itu tak terkendali, tak sesuatu pun bisa diharapkan, karena ia hanya ibarat istana pasir. Begitu mudah goyah dan runtuh. Waktu hanya untuk menunda kehancurannya.
——–
“Kau mau kemana, Mas?”
Asrul menurunkan bahunya dan mendesah, ia merasa terpenjara sejak menikahi Liana.
Ia tahu bagaimana seharusnya seseorang yang sudah hidup berumah tangga. Tapi yang dilakukan Liana rasanya terlalu melewati batas. Sekedar ingin keluar menghirup udara karena kegerahan sekalipun Liana serta merta mengejar dan menanyakan kemana.
Telepon akan terus berbunyi disertai SMS bertubi-tubi, jika sedikit saja ia terlambat pulang. Ia tahu Liana mencintainya, tapi kadang ia bertanya-tanya, cinta macam apa yang ada dalam hati Liana. Dalam kisah kasih rumah tangga, ada cemburu memang sudah seharusnya. Tapi lantas untuk kecemburuan tak beralasan seperti Liana itu apa namanya…
Liana seringkali mengamuk, hanya karena ia bertegur sapa dengan wanita tetangga. Seringkali pengertian yang ia coba berikan dimentahkan begitu saja dengan sanggahan menurut kadar timbang perasaannya sendiri, dan terkadang malahan omelan dan cacian yang didapatnya.
Untuk inikah cinta itu dipersatukan?
Ia lebih seringkali mengalah atau tepatnya terpaksa mengalah. Liana tak segan untuk membuat rumah seperti kapal pecah jika perasaan cemburunya yang tak beralasan itu kembali muncul, hanya karena ia setengah jam lebih lambat tiba di rumah, atau karena menyapa tetangga komplek di kiri dan kanan.
Liana semakin memprihatinkan. Sedikitpun tak ia dapatkan rasa cinta, apalagi rasa hormat dari Liana, kecuali cemburu buta yang meresahkannya. Entah setan apa yang diam dalam otaknya, sehingga setiap pulang selalu yang ditanyakan Liana adalah apakah ia tak bermain mata dengan teman wanita sekantor, atau kecantol wanita di jalan…
Liana sudah sangat mengabaikan logika. Cemburu di otaknya seperti penyakit jiwa yang membelenggu begitu kuatnya. Ia tak ingin menganggap Liana gila, tapi gelagat Liana menunjukkan, seakan tanda-tanda dan anggapan itu benar saja.
Asrul kadang tak habis mengerti. Seingatnya, dulu sebelum menikah Liana sangat manis dan menyenangkan. Tak pernah ada kegilaan macam yang dia dapatkan sekarang.. Di dalam benaknya, seseorang yang berperangai manis macam Liana akan sangat mendukung karirnya yang sedang berkembang. Maka ia memilihnya dan memutuskan menikahinya
Yang terjadi, kenyataan seringkali tak sejalan dengan keinginan. Semakin bertambah usia pernikahan, bukan kebahagiaan yang didapatkan, tapi siksaan. Bukan surga, tapi neraka.
——
Terkadang orang tua mengatakan, seseorang yang baru saja dari mana-mana selalu diikuti setan. Setan yang senang sekali mengambil manfaat jika situasi yang menyambut kedatangan seseorang itu di rumahnya adalah situasi yang buruk.
Liana mencecarnya dengan pertanyaan penuh kecurigaan, hanya karena ketika tepat di depan pintu ia mendapat telepon dari Mila, teman sekantornya.
“Kau bicara dengan siapa?”
“Orang kantor! Dia ketua panitia lelang, di kantor sedang ada lelang untuk pengadaan barang.” Asrul berusaha memberi penjelasan sebaik mungkin. Berusaha tak emosi meski sebenarnya sangat kesal.
“Tapi, kau menyebut namanya Mila?”
“Namanya memang Mila!”
“Kau berselingkuh dengannya, kan?”
Asrul mendesah untuk ribuan kalinya. Apa yang sebenarnya bercokol di otakmu? Kau membicarakan sesuatu yang bukan saja membosankan, tapi juga tak pernah terbukti!
“Berpikirlah sedikit, Liana!”
“Dia hampir selalu menelponmu! Kau memang menyuruhnya untuk menelpon di depanku bukan?”
“Kau seseorang yang terpelajar, berpikirlah rasional dan gunakan logikamu! Seharusnya kau bisa sedikit lebih waras! Sesekali pakai otakmu! Seumur hidupmu dan sepanjang pernikahan kita hanya akan kau habiskan untuk mencurigaiku dan membiarkan cemburu butamu tak terkendali?” Asrul mulai geram. Setan mulai menari mengipaskan hawa panas. Parahnya, Liana begitu mudah menurutkan nalurinya dan mengabaikan nuraninya.
“Ooh! Jadi menurutmu aku bodoh dan gila? Begitu maksudmu?” Liana mulai meniti irama meninggi, dan Asrul merasa, kebiasaan itu sudah menjadi penyakit yang menjangkiti.
“Terserah kau saja! Pikir saja sendiri apa maksudnya? Aku lelah. Aku mau mandi!” Asrul melangkah masuk ke kamar. Keadaan yang membuat Liana makin tak terkendali dan membuat rumahnya bermetamorfosa serupa kapal pecah.
——
Sudah hampir seminggu Asrul ke luar kota. Perusahaan menugaskannya untuk menertibkan menejemen di kantor cabang yang baru beberapa bulan dibuka.
Sebenarnya tugas luar kota adalah hal biasa, tapi sekali ini sangat berarti bagi Asrul. Ia ingin memanfaatkannya untuk merenung. Tentang dirinya, tentang istri dan rumah tangga mereka yang berjalan tak semestinya. Ia tahu, akan selalu ada masalah dalam sebuah rumah tangga, silih berganti menjadi semacam ujian apakah mereka akan survive atau mengangkat tangan dan mundur teratur.
Ia tak tahu apa yang sesungguhnya mesti ia lakukan, apakah pernikahan ‘sakit’ ini harus dipertahankan. Selama ini sudah segala cara dilakukannya untuk memberi pengertian pada Liana. Menegur dengan baik-baik, hingga yang sedikit kasar karena terbawa kenyataan Liana sepertinya tak pernah mau mencoba mengerti. Semuanya telah dilakukannya.
Ditinggal berhari-hari hingga berminggu-minggu bukan masalah lagi buat Liana. Yang menjadi masalah kali ini adalah, Asrul sama sekali tidak bisa dihubungi kecuali malam atau pagi hari, bahkan kadang tidak bisa sama sekali selam 24 jam. Liana uring-uringan, dan selalu yang dipikirkannya adalah pergi menyusul keberadaan suaminya.
Asrul tahu Liana sering menelponnya. Dia juga tahu Liana mengirim begitu banyak SMS. Tapi tak satu kali pun Asrul ingin balas menelpon atau membalas SMS. Ia merasa percuma, isinya hanya tentang hal yang membosankan dan tak beralasan. Jika istri lain ditinggal suaminya dan tidak bisa menghubungi dia akan cemas, tapi Liana akan mengamuk karena kecurigaan yang sudah di luar batas kewajaran.
——–
“Suamimu sudah membalas?” Tanya ibunya melihat Liana terus memandangi layar teleponnya. Selama Asrul ke luar kota, Liana menginap di rumah orang tuanya.
“Aku tak pernah tahu apa maksudnya tak membalas pesanku, padahal ibu tahu, ini sudah seminggu lebih!” Keluh Liana kesal.
“Ibu pikir dia takkan membalasnya selama isi pesanmu hanya kecurigaan dan kecemburuan yang tak masuk akal.” Ibunya berkata datar namun sanggup menusuk tajam batin Liana.
“Aku istrinya, bu! Tentu saja aku mengkhawatirkannya!”
“Ibu takkan membela siapa-siapa, tapi pikirkan! Apa pernah selama ini suamimu mencurigai dan mencemburui semua teman priamu? Apa pernah dia melarangmu bergaul, jalan dengan teman-temanmu tanpa mengajaknya? Tidak pernah bukan?” Liana diam
“Bersikaplah adil pada suamimu, nak! Dia seseorang yang baik, tapi kau bisa menjadikannya seseorang yang tak terduga ketika kau terus memperlakukannya seperti itu, tak memberinya penghargaan. Ketika pertanyaanmu tak bermakna kepedulianmu, tak bermakna perhatianmu, tak bermakna kerinduanmu, tak pula bermakna kasih sayangmu, maka jawaban yang datang akan semakin membuat kau tak tahu tentang pertanyaan dengan makna-makna seperti itu!” Tutur ibunya.
“Satu hal lagi Liana, Rumah tangga semestinya dibangun berdasarkan cinta, berhias kesetiaan dan rasa percaya. Maka ia akan kokoh bagai kastil tua dan menjadi legenda. Ketika hanya curiga dan rasa cemburu yang mewarnai dan itu tak terkendali, tak sesuatu pun akan bisa kau harapkan, karena ia hanya ibarat istana pasir. Begitu mudah goyah dan runtuh. Waktu hanya untuk menunda kehancurannya.”
Liana hanya terpaku. Semua yang dikatakan ibunya benar. Kecurigaan dan rasa cemburu yang tak terkendali hanya mendatangkan bencana untuk pernikahan mereka.
Tapi setan selalu berhasil mengusik nurani manusia dari penerimaan atas kebenaran. Ia terlalu keras kepala untuk sedikit saja mencoba keluar dari lingkaran setan yang membelitnya. Ia sadar apa yang dikatakan ibu semuanya benar, tapi ia bergeming dengan segala pikiran negatif tentang suaminya. Dia bahkan sudah menyusun rencana untuk menggertak suaminya yang kali ini dianggap keterlaluan.
——
“Apa?” Teriak Liana suatu sore, beberapa bulan setelah Asrul pulang dari luar kota. Dia tak menyangka kata itu akan keluar dari mulut suaminya. Padahal sebelumnya dia yang punya rencana untuk menggertak Asrul dengan meminta cerai. Tapi sekarang? Sementara Asrul dengan raut muka sangat tenang mengangguk membenarkan.
“Maksudmu? Apa salahku?”
“Kau tak bersalah!”
“Lalu kenapa? Kau tak mencintaiku lagi?”
“Aku mencintaimu!”
“Bohong! Perempuan itu kan yang telah merebutmu dariku?” Liana menatap suaminya tak mengerti. Tiba-tiba saja ia merasa sangat cemas.
“Duduklah Liana.” Asrul menarik tangan Liana agar duduk di sampingnya. Dalam keterkejutannya Liana bagai kerbau dicocok hidung, hanya menurut saja.
“Tak ada seorangpun yang merebutku darimu! Tak ada! Kau yang telah menyuruhku pergi dengan semua ketidakpedulianmu selama ini. Kau hanya mengerti tentang perasaanmu! Kau tak mempedulikanku! Aku tak bisa lagi tiba di depan pintu setiap malam dengan pertanyaan yang membuatku seperti tak berharga, dan membuatku gelisah!”
“Aku tak mau kehilanganmu!” Liana mulai menangis. Ia teringat kata-kata ibunya.
Asrul memandang iba pada Liana. Sebenarnya dia pun tak ingin berpisah karena sangat mencintai istrinya. Tapi sikap Liana sungguh membuatnya terpenjara. Dan Asrul tak tahan lagi.
“Aku tak meragukan itu. Tapi rasanya kita punya pemahaman yang berbeda tentang mencintai. Mencintai itu tak berarti mengekang Li, seperti aku yang tidak pernah mengekangmu. Mencintai juga berarti mempercayai, seperti aku selalu percaya bahwa kau istri yang setia. Tapi coba apa yang kau lakukan padaku Li?” Asrul sengaja membiarkan Liana menjawab sendiri pertanyaannya.
“Maafkan aku Liana. Maaf kalau aku tak bisa menjadi suami seperti yang kau idamkan. Maafkan aku juga yang tidak sabar mendidikmu hingga menjadi istri yang baik. Aku sudah berulang kali mengingatkanmu agar memperbaiki sikapmu, tapi kamu tidak pernah berubah. Sekali lagi maafkan aku Li. Saat ini juga, kujatuhkan talak satuku padamu. Dan besok aku akan menemui kedua orang tuamu untuk menyerahkanmu secara baik-baik, seperti saat aku memintamu dengan baik-baik pula. Maafkan aku, Liana.”
“Aku tak mau kau tinggalkan, Mas…..!” Kata-kata Liana tak berarti lagi, Asrul sudah bergegas masuk ke kamarnya dan keluar dengan dua koper besar.
Langkahnya terhenti saat melihat Liana menangis tersedu. Diraihnya bahu Liana dan direngkuhnya mantan istrinya itu dalam pelukannya.
“Aku pergi Li! Jaga dirimu baik-baik. Jika kau sudah berubah, aku pasti menerimamu kembali. Tapi jika kau berjodoh dengan orang lain, kuharap kau bisa memperlakukan suamimu dengan lebih baik. Cintai dia sepenuh hatimu, tapi jangan mencengkeramnya dalam genggamanmu agar tak terlepas kembali.” Asrul sekuat tenaga menahan air matanya. Ini bukan akhir perjalanan pernikahan yang dikehendakinya.
“Aku….” Liana memeluk erat tubuh Asrul. Seolah ingin merasakan kehangatan untuk terakhir kalinya. Asrul membiarkannya. Membiarkan dada bidangnya basah oleh air mata, hingga perlahan Liana melepaskan pelukannya. “Maafkan aku, kita masih bisa membicarakannya lagi, kan?”
“Aku pergi, Li!” Asrul mengecup kening Liana dan dibalas dengan mencium tangannya. Bakti terakhirnya sebagai istri yang selama ini tak pernah ditunaikannya.
“O, ya, kau boleh tetap disini. Rumah ini atas namamu.” Asrul melangkah keluar tanpa menoleh lagi. Bukannya tak ingin menatap lagi wajah Liana, tapi menyembunyikan air mata yang sudah tak sanggup ditahan lagi. Bagaimanapun, perpisahan selalu menghadirkan luka.
Sementara Liana hanya bisa berteriak memanggil nama Asrul. Teriakan yang tak lagi bermakna. Sama tak bermaknanya dengan penyesalan yang kini menghimpit dadanya. Liana terlalu mementingkan egonya dan tak menyadari ada yang terluka. Asrul, orang yang dicintainya. Dan seperti yang dikatakan ibunya, rumah tangga tak hanya butuh cinta dan kesetiaan tapi juga kepercayaan. Dan Liana sudah membuktikannya. Istana cintanya hanya selayak istana pasir.
Kini hancur dan tinggal menjadi cerita.


#karya bersama Maraza dan Adri Wahyono

Tidak ada komentar:

Posting Komentar