Ramadhan datang lagi. Berarti sudah setahun aku
jadi pesakitan. Memang, jika dihitung dari saat aku masuk lapas, aku baru
sepuluh bulan berada disini. Tapi jalannya pemeriksaan dan persidangan hingga
vonis dijatuhkan membutuhkan waktu sekitar dua bulan. Jadi sejak peristiwa dini
hari itu, sudah setahun aku terkurung. Padahal vonis hukumanku 3 tahun penjara.
Vonis yang sangat tidak sepadan dengan yang sudah kulakukan.
Tapi aku memaklumi. Aku cuma rakyat jelata,
sementara pihak yang menjadi ‘korban’ adalah anak pejabat.
Ya. Pemuda mabuk itu
memang anak seorang pejabat. Dan sudah menjadi rahasia khalayak bahwa pejabat
bisa melakukan apa saja pada rakyat jelata seperti aku. Geram rasanya jika
mengingat bahwa sebetulnya aku tidak bersalah. Tapi sayangnya aku tidak punya
bukti cukup kuat untuk membela diri.
Akhirnya aku memilih untuk menjalani saja hukuman
ini. Anggap saja ini hukuman karena aku telah mencoba untuk menggagahi Utari.
Ah…Mbakyu,
bagaimana kabarmu sekarang? Masihkan kau berjualan Pecel dan Tempe Mendoan?
Atau, masihkah engkau berjalan kaki ke pasar selepas Subuh? Aku merindukan
saat-saat itu Mbakyu. Saat dimana kau
berjalan di depanku dan mengucapkan sapaanmu yang santun. Masihkah kau selalu
mengunci rapat pintu rumahmu seperti kau mengunci pintu hatimu? Adakah kau….
“Widodo Jatmiko, ada tamu untukmu!” tiba-tiba
saja sipir Taufik sudah di depanku dan membuyarkan bayangan indah Utari yang
baru saja kulukis dengan sisa keberanianku. Karena memang aku tak pernah berani
lagi membayangkan wajahnya. Setiap itu kulakukan, pasti yang terlihat adalah
gurat ketakutan dan linangan air mata di wajah pucatnya. Dan semua itu akibat
ulahku.
*****
Aku hanya menunduk tak berani menatap wajahnya.
Sementara kedua tanganku saling meremas, menghilangkan rasa tak nyaman yang
hadir, saat aku tau siapa pembesukku di pagi ke delapan Ramadhan ini.
“Apa kabar Dhimas?
Dhimas baik-baik saja?” Utari memecah kesunyian setelah cukup lama kami hanya
terdiam.
“Alhamdulillah…” kupejamkan mataku menahan nyeri
yang tiba-tiba menyerang dadaku. Kutarik nafas dalam-dalam mencoba untuk
melegakannya.
“Alhamdulillah saya baik-baik saja. Mbakyu sendiri bagaimana? Sehat?”
kuberanikan diri untuk bertanya meski aku sadar itu pertanyaan yang sangat
bodoh. Kalau tidak baik-baik saja, mana mungkin dia sampai kemari?
“Alhamdulillah, seperti yang Dhimas lihat, saya baik-baik saja. Ini saya bawakan sedikit makanan
untuk berbuka puasa” Utari menyodorkan kotak makanan berwarna putih dengan
tutup merah muda.
Aku tertegun. Perempuan ini sungguh mulia. Aku
sudah pernah mencoba untuk memperkosanya. Tapi justru dia orang pertama selain
bapak angkatku yang datang membesukku di sini. Tempat yang sangat tidak layak
untuk didatangi perempuan seperti Utari.
Aku menyeka air mataku yang mengalir tiba-tiba
tanpa diminta. Nafasku kembali sesak dan dadaku nyeri. Sendi-sendiku pun terasa
lemas. Rasa berdosa itu kembali datang melihat ketulusannya. Tapi aku tak bisa
berbuat apa-apa dan membiarkan perasaan itu menghilang dengan sendirinya.
“Maafkan saya Mbakyu…maafkan
saya….” Kututup wajahku dengan kedua tanganku. Aku tak sanggup lagi menahan
kalimat itu lebih lama lagi. Aku merasa harus mengungkapkannya. Dan setelahnya
aku merasa lebih lega meski tangisku tak juga mereda.
Lalu kurasakan sentuhan lembut di bahuku. Aku
tahu itu tangan Utari. Tapi aku tak mendengar sepatah kata pun keluar dari
mulutnya. Hanya kudengar suara kaki kursi yang bergeser dan langkah kaki yang
semakin menjauh. Saat kutegakkan kepalaku, aku melihat Utari melangkah ke arah
pintu. Tersenyum santun pada sipir penjaga dan kemudian menghilang di balik
pintu besi gerbang penjara ini. Aku hanya bisa terpaku menatap punggungnya
hingga sipir Taufik menarik tanganku dan membawaku kembali ke sel.
*****
Adzan Maghrib berkumandang dari mushola lapas.
Segera kubatalkan puasaku dengan segelas teh yang sudah siap di meja makan.
Sementara kotak makanan pemberian Utari yang ternyata berisi Pastel dan Lemet
juga kubawa karena ingin berbagi dengan teman-temanku. Saat kubuka tutupnya,
kutemukan kantong plastik klip yang bersisi lipatan kertas. Ternyata sepucuk
surat dari Utari.
Assalamu’alaikum Wr Wb
Dhimas Widodo Jatmiko,
Saya menulis surat ini sebagai permintaan
maaf saya karena sudah pernah menolak lamaran Dhimas. Peristiwa dini hari itu
menyadarkan saya bahwa sebenarnya Dhimas tulus dan tidak main-main. Dan saya
juga menjadi paham apa yang akan terjadi jika sebuah ketulusan mendapatkan
penolakan. Meskipun saya tidak menyangka Dhimas akan senekad itu.
Dhimas, apa yang Dhimas lakukan pagi itu
memang membuat saya ketakutan. Sangat ketakutan hingga tidak berani keluar rumah
karena takut bertemu dengan Dhimas. Tapi itu tak berlangsung lama. Saya segera
paham mengapa Dhimas melakukan hal itu. Hati lelaki memang berbeda dengan
wanita. Jika seorang wanita tertolak cintanya, umumnya mereka akan menangis.
Tapi jika lelaki yang tertolak, ternyata berbeda kejadiannya.
Dhimas, berbuat baiklah selama dalam tahanan.
Dapatkan pengurangan masa tahan sebanyak mungkin. Jangan lupa untuk selalu
mendekatkan diri pada Gusti Kang Murbeng Jagad. Apalagi ini bulan Ramadhan yang
penuh berkah dan ampunan. Mintalah padaNya untuk menjaga hatimu agar terhindar
dari perbuatan tercela yang membuatmu tinggal lebih lama lagi di penjara.
Jika saat kebebasan itu datang, tolong kabari
saya. Saya ingin menjadi orang pertama yang menyambutmu dengan senyum di
gerbang lapas.
Dari Mbakyumu
Sri Utari (08125250375)
Jujur aku tidak mengerti apa makna dari surat
Utari terutama paragraf terakhir. Tapi yang pasti aku merasa lega karena Utari
sudah memaafkanku meski hanya tersirat pada kata-kata dalam suratnya. Utari
juga menungu kebebasanku.
Ah….Sri Utari Mbakyuku
Kinasih, aku akan turuti nasihatmu. Aku akan berlaku baik dalam penjara.
Sisa masa hukuman yang masih dua tahun ini akan kubuat menjadi lebih singkat
lagi. Dan aku akan mengabarimu jika saatnya tiba nanti. Aku ingin kau menjadi
orang pertama yang kulihat saat sipir penjaga membuka pintu besi di depan sana,
dan membiarkanku menghirup udara bebas.
Tunggu aku Mbakyu,
aku akan kembali untukmu…(bersambung)
Pertama kali kenal mbak Rina krn baca cerbung asyik ini ^_^
BalasHapusmakasih ya mbak....fiksi2 mbak Indri juga asik. kalo aku komen dan kenalan di lapak mbak Indri pas baca tulisan "enam alasana kenapa saya tidak pakai BB"
Hapussuka gaya nulisnya mbak In..