meta content='IE=EmulateIE7' http-equiv='X-UA-Compatible'/> Maraza's Antology: Mbakyuku Kinasih 2 : Surat Yang Tak Kumengerti Maknanya

Jumat, 05 Juli 2013

Mbakyuku Kinasih 2 : Surat Yang Tak Kumengerti Maknanya

-->
Ramadhan datang lagi. Berarti sudah setahun aku jadi pesakitan. Memang, jika dihitung dari saat aku masuk lapas, aku baru sepuluh bulan berada disini. Tapi jalannya pemeriksaan dan persidangan hingga vonis dijatuhkan membutuhkan waktu sekitar dua bulan. Jadi sejak peristiwa dini hari itu, sudah setahun aku terkurung. Padahal vonis hukumanku 3 tahun penjara. Vonis yang sangat tidak sepadan dengan yang sudah kulakukan.

Tapi aku memaklumi. Aku cuma rakyat jelata, sementara pihak yang menjadi ‘korban’ adalah anak pejabat. 

Ya. Pemuda mabuk itu memang anak seorang pejabat. Dan sudah menjadi rahasia khalayak bahwa pejabat bisa melakukan apa saja pada rakyat jelata seperti aku. Geram rasanya jika mengingat bahwa sebetulnya aku tidak bersalah. Tapi sayangnya aku tidak punya bukti cukup kuat untuk membela diri.
Akhirnya aku memilih untuk menjalani saja hukuman ini. Anggap saja ini hukuman karena aku telah mencoba untuk menggagahi Utari.

Ah…Mbakyu, bagaimana kabarmu sekarang? Masihkan kau berjualan Pecel dan Tempe Mendoan? Atau, masihkah engkau berjalan kaki ke pasar selepas Subuh? Aku merindukan saat-saat itu Mbakyu. Saat dimana kau berjalan di depanku dan mengucapkan sapaanmu yang santun. Masihkah kau selalu mengunci rapat pintu rumahmu seperti kau mengunci pintu hatimu? Adakah kau….

“Widodo Jatmiko, ada tamu untukmu!” tiba-tiba saja sipir Taufik sudah di depanku dan membuyarkan bayangan indah Utari yang baru saja kulukis dengan sisa keberanianku. Karena memang aku tak pernah berani lagi membayangkan wajahnya. Setiap itu kulakukan, pasti yang terlihat adalah gurat ketakutan dan linangan air mata di wajah pucatnya. Dan semua itu akibat ulahku.
*****

Aku hanya menunduk tak berani menatap wajahnya. Sementara kedua tanganku saling meremas, menghilangkan rasa tak nyaman yang hadir, saat aku tau siapa pembesukku di pagi ke delapan Ramadhan ini.

“Apa kabar Dhimas? Dhimas baik-baik saja?” Utari memecah kesunyian setelah cukup lama kami hanya terdiam.

“Alhamdulillah…” kupejamkan mataku menahan nyeri yang tiba-tiba menyerang dadaku. Kutarik nafas dalam-dalam mencoba untuk melegakannya.

“Alhamdulillah saya baik-baik saja. Mbakyu sendiri bagaimana? Sehat?” kuberanikan diri untuk bertanya meski aku sadar itu pertanyaan yang sangat bodoh. Kalau tidak baik-baik saja, mana mungkin dia sampai kemari?

“Alhamdulillah, seperti yang Dhimas lihat, saya baik-baik saja. Ini saya bawakan sedikit makanan untuk berbuka puasa” Utari menyodorkan kotak makanan berwarna putih dengan tutup merah muda.

Aku tertegun. Perempuan ini sungguh mulia. Aku sudah pernah mencoba untuk memperkosanya. Tapi justru dia orang pertama selain bapak angkatku yang datang membesukku di sini. Tempat yang sangat tidak layak untuk didatangi perempuan seperti Utari.

Aku menyeka air mataku yang mengalir tiba-tiba tanpa diminta. Nafasku kembali sesak dan dadaku nyeri. Sendi-sendiku pun terasa lemas. Rasa berdosa itu kembali datang melihat ketulusannya. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa dan membiarkan perasaan itu menghilang dengan sendirinya.

“Maafkan saya Mbakyu…maafkan saya….” Kututup wajahku dengan kedua tanganku. Aku tak sanggup lagi menahan kalimat itu lebih lama lagi. Aku merasa harus mengungkapkannya. Dan setelahnya aku merasa lebih lega meski tangisku tak juga mereda.

Lalu kurasakan sentuhan lembut di bahuku. Aku tahu itu tangan Utari. Tapi aku tak mendengar sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Hanya kudengar suara kaki kursi yang bergeser dan langkah kaki yang semakin menjauh. Saat kutegakkan kepalaku, aku melihat Utari melangkah ke arah pintu. Tersenyum santun pada sipir penjaga dan kemudian menghilang di balik pintu besi gerbang penjara ini. Aku hanya bisa terpaku menatap punggungnya hingga sipir Taufik menarik tanganku dan membawaku kembali ke sel.
*****

Adzan Maghrib berkumandang dari mushola lapas. Segera kubatalkan puasaku dengan segelas teh yang sudah siap di meja makan. Sementara kotak makanan pemberian Utari yang ternyata berisi Pastel dan Lemet juga kubawa karena ingin berbagi dengan teman-temanku. Saat kubuka tutupnya, kutemukan kantong plastik klip yang bersisi lipatan kertas. Ternyata sepucuk surat dari Utari.

Assalamu’alaikum Wr Wb

Dhimas Widodo Jatmiko,
Saya menulis surat ini sebagai permintaan maaf saya karena sudah pernah menolak lamaran Dhimas. Peristiwa dini hari itu menyadarkan saya bahwa sebenarnya Dhimas tulus dan tidak main-main. Dan saya juga menjadi paham apa yang akan terjadi jika sebuah ketulusan mendapatkan penolakan. Meskipun saya tidak menyangka Dhimas akan senekad itu.

Dhimas, apa yang Dhimas lakukan pagi itu memang membuat saya ketakutan. Sangat ketakutan hingga tidak berani keluar rumah karena takut bertemu dengan Dhimas. Tapi itu tak berlangsung lama. Saya segera paham mengapa Dhimas melakukan hal itu. Hati lelaki memang berbeda dengan wanita. Jika seorang wanita tertolak cintanya, umumnya mereka akan menangis. Tapi jika lelaki yang tertolak, ternyata berbeda kejadiannya.

Dhimas, berbuat baiklah selama dalam tahanan. Dapatkan pengurangan masa tahan sebanyak mungkin. Jangan lupa untuk selalu mendekatkan diri pada Gusti Kang Murbeng Jagad. Apalagi ini bulan Ramadhan yang penuh berkah dan ampunan. Mintalah padaNya untuk menjaga hatimu agar terhindar dari perbuatan tercela yang membuatmu tinggal lebih lama lagi di penjara.
Jika saat kebebasan itu datang, tolong kabari saya. Saya ingin menjadi orang pertama yang menyambutmu dengan senyum di gerbang lapas.

Dari Mbakyumu
Sri Utari (08125250375)

Jujur aku tidak mengerti apa makna dari surat Utari terutama paragraf terakhir. Tapi yang pasti aku merasa lega karena Utari sudah memaafkanku meski hanya tersirat pada kata-kata dalam suratnya. Utari juga menungu kebebasanku.

Ah….Sri Utari Mbakyuku Kinasih, aku akan turuti nasihatmu. Aku akan berlaku baik dalam penjara. Sisa masa hukuman yang masih dua tahun ini akan kubuat menjadi lebih singkat lagi. Dan aku akan mengabarimu jika saatnya tiba nanti. Aku ingin kau menjadi orang pertama yang kulihat saat sipir penjaga membuka pintu besi di depan sana, dan membiarkanku menghirup udara bebas.

Tunggu aku Mbakyu, aku akan kembali untukmu…(bersambung)

2 komentar:

  1. Pertama kali kenal mbak Rina krn baca cerbung asyik ini ^_^

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih ya mbak....fiksi2 mbak Indri juga asik. kalo aku komen dan kenalan di lapak mbak Indri pas baca tulisan "enam alasana kenapa saya tidak pakai BB"

      suka gaya nulisnya mbak In..

      Hapus