“Gimana
Wid, ndak diangkat?” tanya sipir Hakim saat melihatku meletakkan gagang
telepon dengan wajah muram. Aku menggeleng. Resah. Itu yang kurasakan dan belum
pernah terjadi sebelumnya. Tapi kali ini ada perasaan tidak enak, seperti
terjadi sesuatu pada Utari.
“Ah..semoga tidak”
sanggah batinku.
“Ya
sudah, nanti kamu coba lagi. Atau kamu juga bisa pakai HP saya kalau mau. Satu
operator kok” Aku tersenyum tipis. Tapi tak juga mampu mengurangi resahku. Dan
sepanjang hari itu aku lebih banyak diam.
“Astaghfirullah
hal adziim…ampuni kegundahan ini Ya Allah. Lindungi dia dari mara bahaya.
Amiin” Biasanya aku hanya berdoa untuk diriku sendiri dan keluargaku. Tapi
entah mengapa dalam sholatku kali ini aku ingin berdoa untuk Utari, Mbakyuku Kinasih. Perempuan yang sudah
mengisi salah satu sudut di hatiku. Ibarat mainan anak-anak…apa ya namanya? Ah
ya.. puzzle! Ibarat puzzle, jika satu kepingnya saja hilang, maka bentuk
gambarnya takkan sempurna.
Utari
sudah mulai memenuhi seluruh alam pikiranku meski aku tidak tahu apa
sesungguhnya yang ada di hati Utari. Ah…rasanya tak kan cukup jika kutuliskan
rasa ini dalam bentuk buku. Bahkan mungkin, novel terkenal seperti Ketika Cinta
Bertasbih pun tak akan bisa mengisahkan seluruh rasaku pada Utari.
Tapi
nampaknya aku harus besabar untuk menunggu kebebasan itu datang. Dua hari
menjelang kebebasanku, lapas geger. Dua rekan satu selku, Sanusi dan Tomo
kabur. Dan apesnya, mereka kabur dari ventilasi di atas ranjang selku.
“Plak..!
Plak..! Sudah ngaku saja!” tamparan sipir Subakti ternyata cukup keras. Apalagi
dia menampar bukan dengan telapak tapi punggung tangan. Batu akik di cicinnya
itu pasti sudah melukaiku. Kurasakan perih dikedua sudut bibirku. Aku meringis
menahan sakit. Apalagi sejak semalam aku demam dan kepalaku sangat pusing.
Tamparan itu membuat kepalaku semakin berdenyut. Ditambah lagi, lampu hemat
energi yang berada tepat di atas kepalaku, semakin membuat kepalaku sakit.
“Saya
nggak tahu pak. Semalaman saya ada di ruang kesehatan. Saya demam dan tidur di
sana dijaga oleh sipir Hakim dan Taufik. Silakan tanya pada mereka” Aku mencoba
meraba bibirku. Berdarah.
“Betul
begitu sipir Hakim?!”
“Betul
Pak. Semalaman Widodo bersama saya dan sipir Taufik di ruang kesehatan.
Badannya demam”
“Tapi
mereka kabur dari ventilasi di ruang selmu. Nggak mungkin kamu nggak tahu!”
sipir Subakti masih saja memaksaku mengaku bahwa aku terlibat dalam kaburnya
Sanusi dan Tomo.
“Apa
kalau mereka kabur lewat sana, selalu atas persetujuan saya? Atau karena saya
akrab dengan mereka, saya dianggap setuju mereka kabur?” aku mencoba
membalikkan pertanyaan sipir Subakti dengan pertanyaan pula. Tapi tak kusangka
aku kembali mendapatkan ‘hadiah’
“Dugh…!”
kali ini tinjunya melayang tepat di pipi kananku. Nyeri. Bahkan hampir saja
kursi yang kududuki terjungkal saking kerasnya. Aku tidak tahu dari mana sipir
Subakti dapat ilmu kekerasan ini. Mungkin dia kebanyakan nonton film-film
Arnold Schwarseneger, Sylverster Stalone, atau Steven Seagal. Apa yang
dilakukannya padaku hari ini sama persis dengan yang sering kulihat di
film-film itu. Ruang yang temaram, lampu yang hanya satu tepat diatas si
pesakitan dan sipir berbadan besar yang galaknya bukan kepalang.
“Arrhrgghh….”
Pipiku terasa sangat perih, bukan cuma nyeri. Pasti batu akik itu sudah
menggoresnya lagi. Diantara keremangan sudut ruangan. Aku melihat sipir Hakim
mengucapkan sesuatau yang tak terdengar tapi bisa kubaca “Kamu lebih baik diam.
Cari aman” sambil meletakkan telunjuknya di bibir.
Aku
mencoba mengerti isyaratnya. Tapi jujur saja aku tidak terima diperlakukan
seperti ini. aku bukan tahanan baru dan besok seharusnya aku sudah keluar dari
penjara ini. Apalagi sebagai sipir, seharusnya dia mengayomi binaannya bukan
menyiksa. Kalaupun harus bertanya, tak bisakah dengan cara yang lebih baik?
Kami memang pesakitan. Tapi kami juga punya perasaan. Kami punya hati.
Tubuhku
terasa gemetar. Panas badanku yang semula sudah turun mendadak terasa seperti
semalam. Aku menggigil. Tapi nampaknya Subakti bukan orang yang mudah iba.
Tetap saja interogasi plus penyiksaan ini berlanjut.
“Sekali
lagi saya tanya…! Kamu tahu mengapa dan ke mana mereka melarikan diri?! Ayo
jawab?!” sipir Subakti kembali menanyaiku, tetap dengan bentakan keras yang
menyakitkan telinga dan ulu hatiku.
“Sampai
kapanpun saya tidak akan pernah bicara, Pak. Karena saya memang tidak tahu
apa-apa. Percuma saja Bapak menampar atau memukul saya. Saya akan tetap
bungkam” dengan tubuh gemetaran menahan rasa dingin yang tiba-tiba menyerang,
aku menjawab pertanyaannya. Tapi…
“Plak….!
Plak…! Dugh…!” kembali dua tamparan dan satu tinju dihadiahkan untukku.
Pandanganku berputar. Aku mencoba menegakkan kepalaku namun semakin berputar.
Kemudian pandanganku berubah gelap. Tapi sebelum semuanya benar-benar lenyap
dari pandangan dan pendengaranku aku masih sempat mendnegar sipir Subakti
menggebrak meja di sampingku, juga suara-suara sipir Hakim dan Taufik
memanggil-manggil namaku.
“Wid…!
Widodo….! Bangun Wid…! Widodo….!”
Tapi
aku tak mampu lagi bersuara. Semua lenyap. Gelap.
******
Aku
membuka mataku. Buram. Kepala ini masih berdenyut. Nyeri. Aroma obat-obatan
langsung menyeruak menusuk hidungku. Kucoba menggerakkan jemari tanganku. Kaku.
Wajahku pun terasa nyeri dan pedih. Samar mulai kulihat apa yang ada di
sekitarku.
“Di mana ini? Pasti di ruang kesehatan. Tapi mengapa tak ada
gambar pak SBY dan Budiono? Ah pasti di tempat lain” aku membatin. Kemudian mulai kulihat bayangan beberapa orang
di sekitar tempat aku terbaring.
“Widodo
Jatmiko….kamu sudah sadar?” suara yang sangat kukenal. Sipir Hakim. Sipir
paling sabar di lapas. Aku menoleh ke arah suara itu. Mencoba tersenyum namun
sakit sekali bibirku.
“Alham…dulillah..pak…”
Cuma itu yang keluar dari mulutku. Kupejamkan lagi mataku karena jutaan
kunang-kunang masih beterbangan di sana.
“Kamu
tadi pingsan cukup lama. Jadi kami bawa ke rumah sakit. Kamu istirahat saja
dulu di sisni. Saya dan pak Hakim yang akan menemani kamu. Ada juga beberapa
polisi diluar sana menjaga pintu” kali ini kudengar suara sipir Taufik. Dua
orang sipir ini memang paling akrab dengan warga binaan. Mereka sering
dijadikan tempat curhat. Bahkan bang Dorman yang penjahat kambuhan dan terkenal
garang pun sungkan jika berhadapan dengan kedua sipir berwibawa ini.
Oh..jadi
ini rumah sakit. Polisi? Astaghfirullah…tak cukupkah hanya sipir Hakim dan Taufik
saja yang menemaniku? Aku sudah akan bebas tapi masih diperlakukan seperti
penjahat baru yang mencoba kabur. Tapi ya sudahlah…mungkin ini ujian buat
kesabaranku. Karena pasti kebebasanku akan diundur hingga teman-temanku
tertangkap kembali dan diproses serta aku dinyatakan benar-benar bersih dan
tidak terlibat.
“Bisa
..pinjam….ha..penya pak….” Kataku terbata. Entah kenapa aku ingin sekali
mendengar suara lembut dan santun Utari. Saat aku tidak berdaya seperti ini,
selain Sang Maha Rahim, Utari lah yang aku ingat. Apalagi beberapa hari lalu,
aku gagal memberitahukan kebebasanku. Kali ini aku ingin kembali memberinya
kabar.
“Kamu
ingin menghubunginya lagi? Siapa namanya? Ah iya…Utari! Kamu ingin menelpon
Utari?” sipir Hakim tersenyum padaku dan memberikan hapenya. Aku pun tersenyum
meski lebih panyas disebut seringai karena bibirku dan wajahku sakit luar
biasa. Dan hape yang tipis itu pun terasa begitu berat karena tenagaku yang
belum pulih.
“Assalamu’alaikum….”
Terdengar sebuah suara. Tapi bukan Utari. Suara seorang ABG 18 tahunan.
“Sapa…
iki(siapa ini)?”
“Niken
Mas, anaknya Bu Etik. Ini Mas Widodo?! Bener kan mas, ini mas Wid?! Kapan
dibebaskan mas?!?”
“Iya…Ken..ini
Widodo. Aku…aku masih di lapas. Mana mbak Utari? Kok kamu yang angkat?” dadaku
mulai berdebar. Resah itu mulai datang. Tidak mungkin orang lain bisa
sembarangan ngangkat telpon Utari kalau tidak ada sesuatu yang mendesak.
“Mas…mbak
Utari….mbak Utari….Aduh, gimana ini ngomongnya ya?” Niken terdengar bingung.
“Mbak
Utari…..kenapa Ken? Kamu…kamu bicara saja, ndak usah takut” aku berusaha
menenangkan Niken meski aku sendiri tidak tenang.
“Mbak
Utari kena musibah mas. Semalam didatangi dua orang nggak dikenal. Terus dirudhapeksa(diperkosa)
dan ditikam pakai pisau. Sekarang ada di rumah sakit. Belum sadar. Kalau mas
Wid…….”
Aku
tak sanggup lagi mendengarkan ucapan Niken. Kepalaku berdenyut makin kuat.
Mataku kembali berkunang-kunang. Tak sangup lagi kugenggam hape sipir Hakim.
Lemas seluruh sendiku. Utari diperkosa dan ditusuk orang? Pria bejat mana yang
berani mendzolimi Utari? Dulu aku memang penah hampir melakukannya. Tapi
kuurungkan. Yang kucintai tak mungkin kulukai. Tapi sekarang?
Pandanganku
gelap. Kurasakan hape itu lepas dari genggamanku dan…Klak! Jauh ke lantai
kamar. Sementara masih terdengar suara Niken dari speaker memanggil namaku,
diikuti suara sipir Hakim dan Taufik berusaha menyadarkanku.
Tapi
aku tak sanggup lagi menjawab. Semua gelap. Lenyap.(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar