meta content='IE=EmulateIE7' http-equiv='X-UA-Compatible'/> Maraza's Antology: Mbakyuku Kinasih 3 : Firasat dan Kebebasan yang Tertunda

Senin, 08 Juli 2013

Mbakyuku Kinasih 3 : Firasat dan Kebebasan yang Tertunda

“Gimana Wid, ndak diangkat?” tanya sipir Hakim saat melihatku meletakkan gagang telepon dengan wajah muram. Aku menggeleng. Resah. Itu yang kurasakan dan belum pernah terjadi sebelumnya. Tapi kali ini ada perasaan tidak enak, seperti terjadi sesuatu pada Utari.
“Ah..semoga tidak” sanggah batinku.
“Ya sudah, nanti kamu coba lagi. Atau kamu juga bisa pakai HP saya kalau mau. Satu operator kok” Aku tersenyum tipis. Tapi tak juga mampu mengurangi resahku. Dan sepanjang hari itu aku lebih banyak diam.
“Astaghfirullah hal adziim…ampuni kegundahan ini Ya Allah. Lindungi dia dari mara bahaya. Amiin” Biasanya aku hanya berdoa untuk diriku sendiri dan keluargaku. Tapi entah mengapa dalam sholatku kali ini aku ingin berdoa untuk Utari, Mbakyuku Kinasih. Perempuan yang sudah mengisi salah satu sudut di hatiku. Ibarat mainan anak-anak…apa ya namanya? Ah ya.. puzzle! Ibarat puzzle, jika satu kepingnya saja hilang, maka bentuk gambarnya takkan sempurna.
Utari sudah mulai memenuhi seluruh alam pikiranku meski aku tidak tahu apa sesungguhnya yang ada di hati Utari. Ah…rasanya tak kan cukup jika kutuliskan rasa ini dalam bentuk buku. Bahkan mungkin, novel terkenal seperti Ketika Cinta Bertasbih pun tak akan bisa mengisahkan seluruh rasaku pada Utari.
Tapi nampaknya aku harus besabar untuk menunggu kebebasan itu datang. Dua hari menjelang kebebasanku, lapas geger. Dua rekan satu selku, Sanusi dan Tomo kabur. Dan apesnya, mereka kabur dari ventilasi di atas ranjang selku.
“Plak..! Plak..! Sudah ngaku saja!” tamparan sipir Subakti ternyata cukup keras. Apalagi dia menampar bukan dengan telapak tapi punggung tangan. Batu akik di cicinnya itu pasti sudah melukaiku. Kurasakan perih dikedua sudut bibirku. Aku meringis menahan sakit. Apalagi sejak semalam aku demam dan kepalaku sangat pusing. Tamparan itu membuat kepalaku semakin berdenyut. Ditambah lagi, lampu hemat energi yang berada tepat di atas kepalaku, semakin membuat kepalaku sakit.
“Saya nggak tahu pak. Semalaman saya ada di ruang kesehatan. Saya demam dan tidur di sana dijaga oleh sipir Hakim dan Taufik. Silakan tanya pada mereka” Aku mencoba meraba bibirku. Berdarah.
“Betul begitu sipir Hakim?!”
“Betul Pak. Semalaman Widodo bersama saya dan sipir Taufik di ruang kesehatan. Badannya demam”
“Tapi mereka kabur dari ventilasi di ruang selmu. Nggak mungkin kamu nggak tahu!” sipir Subakti masih saja memaksaku mengaku bahwa aku terlibat dalam kaburnya Sanusi dan Tomo.
“Apa kalau mereka kabur lewat sana, selalu atas persetujuan saya? Atau karena saya akrab dengan mereka, saya dianggap setuju mereka kabur?” aku mencoba membalikkan pertanyaan sipir Subakti dengan pertanyaan pula. Tapi tak kusangka aku kembali mendapatkan ‘hadiah’
“Dugh…!” kali ini tinjunya melayang tepat di pipi kananku. Nyeri. Bahkan hampir saja kursi yang kududuki terjungkal saking kerasnya. Aku tidak tahu dari mana sipir Subakti dapat ilmu kekerasan ini. Mungkin dia kebanyakan nonton film-film Arnold Schwarseneger, Sylverster Stalone, atau Steven Seagal. Apa yang dilakukannya padaku hari ini sama persis dengan yang sering kulihat di film-film itu. Ruang yang temaram, lampu yang hanya satu tepat diatas si pesakitan dan sipir berbadan besar yang galaknya bukan kepalang.
“Arrhrgghh….” Pipiku terasa sangat perih, bukan cuma nyeri. Pasti batu akik itu sudah menggoresnya lagi. Diantara keremangan sudut ruangan. Aku melihat sipir Hakim mengucapkan sesuatau yang tak terdengar tapi bisa kubaca “Kamu lebih baik diam. Cari aman” sambil meletakkan telunjuknya di bibir.
Aku mencoba mengerti isyaratnya. Tapi jujur saja aku tidak terima diperlakukan seperti ini. aku bukan tahanan baru dan besok seharusnya aku sudah keluar dari penjara ini. Apalagi sebagai sipir, seharusnya dia mengayomi binaannya bukan menyiksa. Kalaupun harus bertanya, tak bisakah dengan cara yang lebih baik? Kami memang pesakitan. Tapi kami juga punya perasaan. Kami punya hati.
Tubuhku terasa gemetar. Panas badanku yang semula sudah turun mendadak terasa seperti semalam. Aku menggigil. Tapi nampaknya Subakti bukan orang yang mudah iba. Tetap saja interogasi plus penyiksaan ini berlanjut.
“Sekali lagi saya tanya…! Kamu tahu mengapa dan ke mana mereka melarikan diri?! Ayo jawab?!” sipir Subakti kembali menanyaiku, tetap dengan bentakan keras yang menyakitkan telinga dan ulu hatiku.
“Sampai kapanpun saya tidak akan pernah bicara, Pak. Karena saya memang tidak tahu apa-apa. Percuma saja Bapak menampar atau memukul saya. Saya akan tetap bungkam” dengan tubuh gemetaran menahan rasa dingin yang tiba-tiba menyerang, aku menjawab pertanyaannya. Tapi…
“Plak….! Plak…! Dugh…!” kembali dua tamparan dan satu tinju dihadiahkan untukku. Pandanganku berputar. Aku mencoba menegakkan kepalaku namun semakin berputar. Kemudian pandanganku berubah gelap. Tapi sebelum semuanya benar-benar lenyap dari pandangan dan pendengaranku aku masih sempat mendnegar sipir Subakti menggebrak meja di sampingku, juga suara-suara sipir Hakim dan Taufik memanggil-manggil namaku.
“Wid…! Widodo….! Bangun Wid…! Widodo….!”
Tapi aku tak mampu lagi bersuara. Semua lenyap. Gelap.
******
Aku membuka mataku. Buram. Kepala ini masih berdenyut. Nyeri. Aroma obat-obatan langsung menyeruak menusuk hidungku. Kucoba menggerakkan jemari tanganku. Kaku. Wajahku pun terasa nyeri dan pedih. Samar mulai kulihat apa yang ada di sekitarku.
“Di mana ini? Pasti di ruang kesehatan. Tapi mengapa tak ada gambar pak SBY dan Budiono? Ah pasti di tempat lain” aku membatin. Kemudian mulai kulihat bayangan beberapa orang di sekitar tempat aku terbaring.
“Widodo Jatmiko….kamu sudah sadar?” suara yang sangat kukenal. Sipir Hakim. Sipir paling sabar di lapas. Aku menoleh ke arah suara itu. Mencoba tersenyum namun sakit sekali bibirku.
“Alham…dulillah..pak…” Cuma itu yang keluar dari mulutku. Kupejamkan lagi mataku karena jutaan kunang-kunang masih beterbangan di sana.
“Kamu tadi pingsan cukup lama. Jadi kami bawa ke rumah sakit. Kamu istirahat saja dulu di sisni. Saya dan pak Hakim yang akan menemani kamu. Ada juga beberapa polisi diluar sana menjaga pintu” kali ini kudengar suara sipir Taufik. Dua orang sipir ini memang paling akrab dengan warga binaan. Mereka sering dijadikan tempat curhat. Bahkan bang Dorman yang penjahat kambuhan dan terkenal garang pun sungkan jika berhadapan dengan kedua sipir berwibawa ini.
Oh..jadi ini rumah sakit. Polisi? Astaghfirullah…tak cukupkah hanya sipir Hakim dan Taufik saja yang menemaniku? Aku sudah akan bebas tapi masih diperlakukan seperti penjahat baru yang mencoba kabur. Tapi ya sudahlah…mungkin ini ujian buat kesabaranku. Karena pasti kebebasanku akan diundur hingga teman-temanku tertangkap kembali dan diproses serta aku dinyatakan benar-benar bersih dan tidak terlibat.
“Bisa ..pinjam….ha..penya pak….” Kataku terbata. Entah kenapa aku ingin sekali mendengar suara lembut dan santun Utari. Saat aku tidak berdaya seperti ini, selain Sang Maha Rahim, Utari lah yang aku ingat. Apalagi beberapa hari lalu, aku gagal memberitahukan kebebasanku. Kali ini aku ingin kembali memberinya kabar.
“Kamu ingin menghubunginya lagi? Siapa namanya? Ah iya…Utari! Kamu ingin menelpon Utari?” sipir Hakim tersenyum padaku dan memberikan hapenya. Aku pun tersenyum meski lebih panyas disebut seringai karena bibirku dan wajahku sakit luar biasa. Dan hape yang tipis itu pun terasa begitu berat karena tenagaku yang belum pulih.
“Assalamu’alaikum….” Terdengar sebuah suara. Tapi bukan Utari. Suara seorang ABG 18 tahunan.
Sapa… iki(siapa ini)?”
“Niken Mas, anaknya Bu Etik. Ini Mas Widodo?! Bener kan mas, ini mas Wid?! Kapan dibebaskan mas?!?”
“Iya…Ken..ini Widodo. Aku…aku masih di lapas. Mana mbak Utari? Kok kamu yang angkat?” dadaku mulai berdebar. Resah itu mulai datang. Tidak mungkin orang lain bisa sembarangan ngangkat telpon Utari kalau tidak ada sesuatu yang mendesak.
“Mas…mbak Utari….mbak Utari….Aduh, gimana ini ngomongnya ya?” Niken terdengar bingung.
“Mbak Utari…..kenapa Ken? Kamu…kamu bicara saja, ndak usah takut” aku berusaha menenangkan Niken meski aku sendiri tidak tenang.
“Mbak Utari kena musibah mas. Semalam didatangi dua orang nggak dikenal. Terus dirudhapeksa(diperkosa) dan ditikam pakai pisau. Sekarang ada di rumah sakit. Belum sadar. Kalau mas Wid…….”
Aku tak sanggup lagi mendengarkan ucapan Niken. Kepalaku berdenyut makin kuat. Mataku kembali berkunang-kunang. Tak sangup lagi kugenggam hape sipir Hakim. Lemas seluruh sendiku. Utari diperkosa dan ditusuk orang? Pria bejat mana yang berani mendzolimi Utari? Dulu aku memang penah hampir melakukannya. Tapi kuurungkan. Yang kucintai tak mungkin kulukai. Tapi sekarang?
Pandanganku gelap. Kurasakan hape itu lepas dari genggamanku dan…Klak! Jauh ke lantai kamar. Sementara masih terdengar suara Niken dari speaker memanggil namaku, diikuti suara sipir Hakim dan Taufik berusaha menyadarkanku.
Tapi aku tak sanggup lagi menjawab. Semua gelap. Lenyap.(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar