meta content='IE=EmulateIE7' http-equiv='X-UA-Compatible'/> Maraza's Antology: The Secret Admirer

Jumat, 05 Juli 2013

The Secret Admirer

Krriiiingng!!! Suara jam weker tua itu terdengar sangat keras. Membangunkan aku dari tidur dan mimpiku yang terus terang tidak begitu indah. Baru pukul dua dini hari. Tapi panggilan tugas membuatku mau tak mau harus terjaga.
Kusingkirkan dua selimut yang semalaman membalut tubuhku. Selimut warna merah muda dengan bunga-bunga ungu kesayanganku. Dan satu lagi. Selimut kemalasan. Kalau sudah ketemu sama yang satu ini, bisa berantakan semua urusan. Kusisir rambutku, kujalin membentuk kepang dan kulipat rapi. Seutas karet hias siap menguatkan lipatannya.Selanjutnya jilbab putih dengan hiasan pita ungu kukenakan untuk menutup kepalaku sebelum aku melangkah keluar.
Baru saja aku menutup pintu kamar, sebuah suara menyapaku.
“Pagi Sarah ! Baru bangun?” Suara renyah dan bersahabat milik seorang pemuda tampan salah satu penghuni rumah ini. Suaranya selalu seperti dentingan piano yang mampu menggetarkan hatiku dan melambungkan anganku hingga ke langit ke tujuh.
“Pagi tuan! Ah..Iya saya baru bangun. Tuan ingin saya buatkan sesuatu? Kopi mungkin?” tanyaku menawarkan sesuatu padanya. Dia menggeleng dan berlalu sambil mengatakan “Kamu kerjakan saja tugasmu, biar aku buat kopi sendiri.” Sementara aku hanya bisa menatap punggungnya. Dotti yang dikenakannya membuatnya terlihat lebih tinggi.
Noah. Demikian nama pemuda itu. Sulung dari tiga bersaudara yang semuanya tampan. Berdarah campuran India dan Arab membuat wajahnya makin mempesona. Rambut ikal, mata biru dan hidung mancungnya selalu saja membuat aku dan mungkin jutaan gadis lain di luar sana terpesona.
Tak seperti kedua adiknya Moses dan Zakaria atau Zack, Noah memang lebih tenang. Sama persis dengan ayahnya Haji Hosein Al Mahmoud. Sementara Moses dan Zack lebih seperti ibunya Hajjah Zurraida. Lebih banyak bicara dan cenderung cerewet.
Bagiku semua penghuni rumah ini menyenangkan. Tapi Noah memang special.
Entahlah. Mungkin aku sudah gila karena selalu mendekap bayangannya dalam mimpi dan anganku. Padahal siapalah aku ini? Seorang pelayan yang kebetulan benasib baik, diperlakukan secara manusiawi oleh majikannya. Tak pernah sekalipun majikanku baik tuan Hosein maupun nyonya Zurraida memarahiku atas kesalahanku. Mereka selalu menegurku secara baik-baik. Jika kesalahan itu karena aku belum tahu, maka mereka akan mengajariku hingga aku bisa. Tapi jika kesalahan itu akibat kelalaianku sendiri, mereka akan mengingatkanku agar tidak mengulanginya lagi.
Nonya Zurraida juga memperlakukan aku sama sepeti anak-anaknya. Bahkan aku masih ingat betul saat aku kecil dan ibuku masih ada, nyonya Zurraida selalu menyuruhku untuk bermain bersama Noah dan kedua adiknya. Mereka pun tak segan bermain denganku. Membagi mainan yang meraka miliki untuk anak pelayan ibu mereka. Mak jangan salahkan aku jika kemudian aku merasa betah berlama-lama dengan mereka terutama Noah yang memang selalu melindungiku dari keusilan Zack dan Moses.
Noah selalu ada saat aku perlukan. Dia ibarat malaikat penjaga buatku. Saat aku memerlukan seseorang ntuk bicara, Noah ada untukku. Saat aku kerepotan dengan tugas-tugasku, Noah lah yang selalu ringan tangan membantuku tanpa canggung. Tanpa melihat siapa yang dia bantu dan pekerjaan apa yang dia kerjakan. Pun saat aku menangis karena kematian ibuku yang memang sudah tua, Noah pula yang menyediakan pundaknya untukku menangis. Merelakan bahu kekarnya kubasahi dengan air mata, meski tanpa kuminta. Jadi jangan salahkan aku jika aku merasa nyaman bersama anak majikanku ini.
Seperti pagi ini, saat seisi rumah belum terjaga, Noah sudah bangun dan menemaniku di dapur. Dia duduk di salah satu kursi di sisi meja dapur dengan secangkir kopi yang masih mengepul. Kopi yang dibuatnya sendiri. Karena segera setelah bangun tadi, aku lebih dulu tunaikan sholat malamku.
Sementara itu, matanya asik menatap layar notebook di depannya. Entah sedang mengerjakan apa. Sesekali terlihat tangannya meraih telepon pintar di sisi notebooknya dan menuliskan sesuatu. Wajahnya nampak serius tapi tetap saja menawan. ’Ah..Noah. Jika begini terus, menu sahur ini tak akan pernah matang.’ Kuputuskan untuk mengakhiri petualangan mata dan anganku dan segera menutaskan tugasku pagi ini.
Nyonya Zurraida berpesan, pagi ini dia ingin makan Sup Asam Manis dan Udang Selimut. Masakan yang juga kegemaran ketiga anaknya. Sementara untuk tuan Hosein, aku sudah hafal makanan favoritnya saat sahur. Tahu Saus Tiram yang pedas, ditambah dengan sedikit sosis. Minuman khas sahur keluarga ini pun sudah kuhafal di luar kepala. Kopi untuk Noah yang sudah dibuatnya sendiri, teh manis dengan campuran susu dan madu untuk Tuan dan Nyonya, sementara Moses dan Zack selalu memilih cokelat panas. Mmmm…menu yang cukup beragam khas orang kaya.
Sementara aku? Aku akan makan apa yang mereka makan. Seperti juga dua orang sekuriti dan sopir keluarga yang selalu setia, dan sudah seperti keluarga juga buatku.
“Makanlah dulu Sarah…sudah hampir imsak!” suara renyah itu terdengar lagi. Aku menoleh sesaat dan kembali dengan pekerjaanku. Rupanya mereka sudah selasai sahur. Aku tak terlalu memperhatikan karena sibuk mencuci peralatan bekas memasak tadi. Noah nampak membawa piring-piring kotor ke arahku. Tepatnya ke tempat cuci piring. Tapi tidak sendiri, Zack membantunya.
“Makanlah dulu Sarah. Pekerjaanmu itu dilanjutkan nanti saja!” Noah kembali mengulang perintahnya. Aku hanya tersenyum dan mengangguk. Kucuci tanganku dan segera makan. Tak kupedulikan lagi Noah sampai akhirnya aku tahu dia berdiri di belakangku sambil memperhatikan aku makan. Itu kuketahui saat aku tersedak karena terburu-buru menelan udang yang sungguh nikmat ini. Terbatuk-batuk dan sesak nafas.
“Pelan-pelan saja. Udang itu tidak akan kabur. Dia sudah mati bahkan sebelum kau goreng tadi,” dia tersenyum dan memberikan segelas air untukku. Senyumnya itu, sangaaat manis.’Oh Tuhan…jangan biarkan dia terlalu lama tersenyum. Aku bisa pingsan bahagia…’
Itulah Noahku. Haaah? Noahku? Oh tidak! Betapa lancangnya aku berani mengatakan dia Noahku. Rasanya aku musti tegaskan pada diriku sendiri batas tipis antara aku dan Noah. Pelayan dan Si Tuan Tampan. Meskipun mereka tidak pernah membuat batasan-batasan, tapi sepertinya aku yang harus tahu diri. Bisa berada di dekatnya saja sudah ibarat mengenggam emas sepanjang usia.
*****
Hari ini kediaman keluarga Hosein sangat ramai. Banyak tamu berdatangan. Beberapa dintaranya aku kenal karena sering datang ke rumah ini. Tuan Ismail dan Abdullah adik tuan Hosein, beserta istri mereka Zahara dan Khadijah. Kedua pasangan ini memang sering berkunjung. Dan mereka pun memperlakukan aku sama baiknya dengan majikanku. Aku juga melihat Khalil, Isa dan Hassan, sahabat baik Noah. Zack dan Moses juga nampak menemani teman mereka masing-masing untuk berbincang. Dan aku? Tetap di dapur mempersiapkan semua hidangan yang aku yakin akan ludes setelah adzan Maghrib berkumandang.
“Sarah…kue ini diletakkan di mana?” suara Iqbal sopir keluarga ini mengagetkanku. Di tangannya nampak sebentuk kue ulang tahun dengan tulisan Happy Birthday Noah, dengan lilin berbentuk angka 27 di atasnya. Baru aku tahu, hari ini Noah berulang tahun. Selama aku di sini keluarga ini tidak pernah merayakan ulang tahun. Tak sekalipun. Tapi jika kali ini dirayakan, pasti ada sesuatu yang special. ’mengapa hatiku tiba-tiba berdebar ya?
Aku katakan pada Iqbal bahwa aku yang akan membawanya ke ruang tengah, tempat di mana pesta akan berlangsung. Sungguh, sebenarnya aku tidak ingin muncul di tengah-tengah mereka. Rasa tidak nyaman itu selalu datang ketika semua orang di rumah ini berkumpul dengan teman-teman mereka masing-masing. Padahal tak satupun dari mereka yang mencibirku meski aku jelas-jelas mengenakan seragam pelayan.
Ruang tengah yang megah dan gemerlap. Aku melangkah dengan gemetar menuju meja di tengah ruangan. Kue ulang tahun ini ternyata berat juga. Tiba-tiba suara renyah itu kembali singgah di telingaku.
“Sarah…kemarilah sebentar!”
“Baik Tuan,” jawabku tanpa menoleh. Aku tahu itu suara Noah dan yang lebih penting, kue ini sangat berat dan harus segera kuletakkan di meja.
“Sarah kenalkan, ini Aisha. Dia tunanganku. Aisha, ini Sarah, sahabat baikku. Dia yang selalu menyiapkan keperluanku,” gadis itu mengulurkan tangannya dan kusambut dengan tak berdaya. Dia, Aisha, sungguh tak sebanding denganku. Tinggi semampai dengan kulit putih bak pualam. Nampak anggun dalam balutan kaftan warna jingga cerah dengan kerudung warna senada. Perhiasan yang dikenakannya tak banyak, tapi mampu memancarkan aura cantiknya.
Dia, Aisha, sangat serasi jika disandingkan dengan Noah. Tinggi tegap dan tampan. Dotti jingga cerah dan dupatta dilehernya tak akan membuat orang menampik bahwa dia memang menawan.
Dan aku? Mataku kian mengabur. Sebelum semua menjadi makin buram, aku berlari ke kamarku dan menangis sepuasku. Menangis karena terlalu tinggi berangan tentangn Noah. Menangis karena malu bahwa dia sama sekali tidak menaruh hati padaku dan hanya menganggapku sahabat baiknya. Menangis karena aku cemburu meski seharusnya aku tak layak cemburu. Aku cuma pengagum rahasia. Mengagumi tanpa kata-kata.
Kemudian aku melihat secarik kertas diselipkan di bawah pintu kamarku entah oleh siapa. Dengan masih berurai air mata, kupungut dan kubaca deretan kalimat indah yang ditulis dengan tangan itu.

Jangan sedih jika dia tidak memilihmu. Barangkali dia memang tak tahu, di sekitarnya ada mutiara berkilau. Jangan sedih, jika dia tak memahamimu. Mungkin dia memang tak mengerti bagaimana harus berlaku padamu meski dia selalu ada untukmu. Bukalah matamu, dan lihatlah bahwa pelangi tidak satu warna. Jika merah terasa membakarmu, masih ada hijau dan biru yang lebih teduh untukmu. Percayalah, sejatinya Tuhan sudah menciptakan jutaan warna untuk kita. Jika bukan saat ini, nanti kau pasti akan temukan warna yang sesuai dengan mu yang akan mencerahkan harimu sepanjang hayatmu
Your Secret Admirer
Moses

Tidak ada komentar:

Posting Komentar