Krriiiingng!!! Suara jam weker
tua itu terdengar sangat keras. Membangunkan aku dari tidur dan mimpiku yang
terus terang tidak begitu indah. Baru pukul dua dini hari. Tapi panggilan tugas
membuatku mau tak mau harus terjaga.
Kusingkirkan dua selimut yang
semalaman membalut tubuhku. Selimut warna merah muda dengan bunga-bunga ungu
kesayanganku. Dan satu lagi. Selimut kemalasan. Kalau sudah ketemu sama yang
satu ini, bisa berantakan semua urusan. Kusisir rambutku, kujalin membentuk
kepang dan kulipat rapi. Seutas karet hias siap menguatkan
lipatannya.Selanjutnya jilbab putih dengan hiasan pita ungu kukenakan untuk
menutup kepalaku sebelum aku melangkah keluar.
Baru saja aku menutup pintu
kamar, sebuah suara menyapaku.
“Pagi Sarah ! Baru bangun?”
Suara renyah dan bersahabat milik seorang pemuda tampan salah satu penghuni
rumah ini. Suaranya selalu seperti dentingan piano yang mampu menggetarkan
hatiku dan melambungkan anganku hingga ke langit ke tujuh.
“Pagi tuan! Ah..Iya saya baru
bangun. Tuan ingin saya buatkan sesuatu? Kopi mungkin?” tanyaku menawarkan
sesuatu padanya. Dia menggeleng dan berlalu sambil mengatakan “Kamu kerjakan
saja tugasmu, biar aku buat kopi sendiri.” Sementara aku hanya bisa menatap
punggungnya. Dotti yang
dikenakannya membuatnya terlihat lebih tinggi.
Noah. Demikian nama pemuda itu.
Sulung dari tiga bersaudara yang semuanya tampan. Berdarah campuran India dan
Arab membuat wajahnya makin mempesona. Rambut ikal, mata biru dan hidung
mancungnya selalu saja membuat aku dan mungkin jutaan gadis lain di luar sana
terpesona.
Tak seperti kedua adiknya Moses
dan Zakaria atau Zack, Noah memang lebih tenang. Sama persis dengan ayahnya
Haji Hosein Al Mahmoud. Sementara Moses dan Zack lebih seperti ibunya Hajjah
Zurraida. Lebih banyak bicara dan cenderung cerewet.
Bagiku semua penghuni rumah ini
menyenangkan. Tapi Noah memang special.
Entahlah. Mungkin aku sudah gila
karena selalu mendekap bayangannya dalam mimpi dan anganku. Padahal siapalah
aku ini? Seorang pelayan yang kebetulan benasib baik, diperlakukan secara
manusiawi oleh majikannya. Tak pernah sekalipun majikanku baik tuan Hosein
maupun nyonya Zurraida memarahiku atas kesalahanku. Mereka selalu menegurku
secara baik-baik. Jika kesalahan itu karena aku belum tahu, maka mereka akan
mengajariku hingga aku bisa. Tapi jika kesalahan itu akibat kelalaianku
sendiri, mereka akan mengingatkanku agar tidak mengulanginya lagi.
Nonya Zurraida juga
memperlakukan aku sama sepeti anak-anaknya. Bahkan aku masih ingat betul saat
aku kecil dan ibuku masih ada, nyonya Zurraida selalu menyuruhku untuk bermain
bersama Noah dan kedua adiknya. Mereka pun tak segan bermain denganku. Membagi
mainan yang meraka miliki untuk anak pelayan ibu mereka. Mak jangan salahkan
aku jika kemudian aku merasa betah berlama-lama dengan mereka terutama Noah
yang memang selalu melindungiku dari keusilan Zack dan Moses.
Noah selalu ada saat aku
perlukan. Dia ibarat malaikat penjaga buatku. Saat aku memerlukan seseorang
ntuk bicara, Noah ada untukku. Saat aku kerepotan dengan tugas-tugasku, Noah
lah yang selalu ringan tangan membantuku tanpa canggung. Tanpa melihat siapa
yang dia bantu dan pekerjaan apa yang dia kerjakan. Pun saat aku menangis
karena kematian ibuku yang memang sudah tua, Noah pula yang menyediakan
pundaknya untukku menangis. Merelakan bahu kekarnya kubasahi dengan air mata,
meski tanpa kuminta. Jadi jangan salahkan aku jika aku merasa nyaman bersama
anak majikanku ini.
Seperti pagi ini, saat seisi
rumah belum terjaga, Noah sudah bangun dan menemaniku di dapur. Dia duduk di
salah satu kursi di sisi meja dapur dengan secangkir kopi yang masih mengepul.
Kopi yang dibuatnya sendiri. Karena segera setelah bangun tadi, aku lebih dulu
tunaikan sholat malamku.
Sementara itu, matanya asik
menatap layar notebook di depannya. Entah sedang mengerjakan apa. Sesekali
terlihat tangannya meraih telepon pintar di sisi notebooknya dan menuliskan
sesuatu. Wajahnya nampak serius tapi tetap saja menawan. ’Ah..Noah. Jika begini terus, menu sahur ini
tak akan pernah matang.’ Kuputuskan untuk mengakhiri petualangan mata
dan anganku dan segera menutaskan tugasku pagi ini.
Nyonya Zurraida berpesan, pagi
ini dia ingin makan Sup Asam Manis dan Udang Selimut. Masakan yang juga
kegemaran ketiga anaknya. Sementara untuk tuan Hosein, aku sudah hafal makanan
favoritnya saat sahur. Tahu Saus Tiram yang pedas, ditambah dengan sedikit
sosis. Minuman khas sahur keluarga ini pun sudah kuhafal di luar kepala. Kopi
untuk Noah yang sudah dibuatnya sendiri, teh manis dengan campuran susu dan
madu untuk Tuan dan Nyonya, sementara Moses dan Zack selalu memilih cokelat
panas. Mmmm…menu yang cukup beragam khas orang kaya.
Sementara aku? Aku akan makan
apa yang mereka makan. Seperti juga dua orang sekuriti dan sopir keluarga yang
selalu setia, dan sudah seperti keluarga juga buatku.
“Makanlah dulu Sarah…sudah
hampir imsak!” suara renyah itu terdengar lagi. Aku menoleh sesaat dan kembali
dengan pekerjaanku. Rupanya mereka sudah selasai sahur. Aku tak terlalu
memperhatikan karena sibuk mencuci peralatan bekas memasak tadi. Noah nampak
membawa piring-piring kotor ke arahku. Tepatnya ke tempat cuci piring.
Tapi tidak sendiri, Zack membantunya.
“Makanlah dulu Sarah. Pekerjaanmu
itu dilanjutkan nanti saja!” Noah kembali mengulang perintahnya. Aku hanya
tersenyum dan mengangguk. Kucuci tanganku dan segera makan. Tak kupedulikan
lagi Noah sampai akhirnya aku tahu dia berdiri di belakangku sambil
memperhatikan aku makan. Itu kuketahui saat aku tersedak karena terburu-buru
menelan udang yang sungguh nikmat ini. Terbatuk-batuk dan sesak nafas.
“Pelan-pelan saja. Udang itu
tidak akan kabur. Dia sudah mati bahkan sebelum kau goreng tadi,” dia tersenyum
dan memberikan segelas air untukku. Senyumnya itu, sangaaat manis.’Oh Tuhan…jangan biarkan dia terlalu lama
tersenyum. Aku bisa pingsan bahagia…’
Itulah Noahku. Haaah? Noahku? Oh
tidak! Betapa lancangnya aku berani mengatakan dia Noahku. Rasanya aku musti
tegaskan pada diriku sendiri batas tipis antara aku dan Noah. Pelayan dan Si
Tuan Tampan. Meskipun mereka tidak pernah membuat batasan-batasan, tapi
sepertinya aku yang harus tahu diri. Bisa berada di dekatnya saja sudah ibarat
mengenggam emas sepanjang usia.
*****
Hari ini kediaman keluarga
Hosein sangat ramai. Banyak tamu berdatangan. Beberapa dintaranya aku kenal
karena sering datang ke rumah ini. Tuan Ismail dan Abdullah adik tuan Hosein,
beserta istri mereka Zahara dan Khadijah. Kedua pasangan ini memang sering
berkunjung. Dan mereka pun memperlakukan aku sama baiknya dengan majikanku. Aku
juga melihat Khalil, Isa dan Hassan, sahabat baik Noah. Zack dan Moses juga
nampak menemani teman mereka masing-masing untuk berbincang. Dan aku? Tetap di
dapur mempersiapkan semua hidangan yang aku yakin akan ludes setelah adzan
Maghrib berkumandang.
“Sarah…kue ini diletakkan di
mana?” suara Iqbal sopir keluarga ini mengagetkanku. Di tangannya nampak
sebentuk kue ulang tahun dengan tulisan Happy Birthday Noah, dengan lilin
berbentuk angka 27 di atasnya. Baru aku tahu, hari ini Noah berulang tahun.
Selama aku di sini keluarga ini tidak pernah merayakan ulang tahun. Tak
sekalipun. Tapi jika kali ini dirayakan, pasti ada sesuatu yang special. ’mengapa hatiku tiba-tiba berdebar ya?’
Aku katakan pada Iqbal bahwa aku
yang akan membawanya ke ruang tengah, tempat di mana pesta akan berlangsung.
Sungguh, sebenarnya aku tidak ingin muncul di tengah-tengah mereka. Rasa tidak
nyaman itu selalu datang ketika semua orang di rumah ini berkumpul dengan
teman-teman mereka masing-masing. Padahal tak satupun dari mereka yang
mencibirku meski aku jelas-jelas mengenakan seragam pelayan.
Ruang tengah yang megah dan
gemerlap. Aku melangkah dengan gemetar menuju meja di tengah ruangan. Kue ulang
tahun ini ternyata berat juga. Tiba-tiba suara renyah itu kembali singgah di
telingaku.
“Sarah…kemarilah sebentar!”
“Baik Tuan,” jawabku tanpa
menoleh. Aku tahu itu suara Noah dan yang lebih penting, kue ini sangat berat
dan harus segera kuletakkan di meja.
“Sarah kenalkan, ini Aisha. Dia
tunanganku. Aisha, ini Sarah, sahabat baikku. Dia yang selalu menyiapkan
keperluanku,” gadis itu mengulurkan tangannya dan kusambut dengan tak berdaya.
Dia, Aisha, sungguh tak sebanding denganku. Tinggi semampai dengan kulit putih
bak pualam. Nampak anggun dalam balutan kaftan warna jingga cerah dengan kerudung warna senada.
Perhiasan yang dikenakannya tak banyak, tapi mampu memancarkan aura cantiknya.
Dia, Aisha, sangat serasi jika
disandingkan dengan Noah. Tinggi tegap dan tampan. Dotti jingga cerah dan dupatta dilehernya tak akan membuat orang menampik bahwa dia
memang menawan.
Dan aku? Mataku kian mengabur. Sebelum
semua menjadi makin buram, aku berlari ke kamarku dan menangis sepuasku.
Menangis karena terlalu tinggi berangan tentangn Noah. Menangis karena malu
bahwa dia sama sekali tidak menaruh hati padaku dan hanya menganggapku sahabat
baiknya. Menangis karena aku cemburu meski seharusnya aku tak layak cemburu.
Aku cuma pengagum rahasia. Mengagumi tanpa kata-kata.
Kemudian aku melihat secarik kertas diselipkan di
bawah pintu kamarku entah oleh siapa. Dengan masih berurai air mata, kupungut
dan kubaca deretan kalimat indah yang ditulis dengan tangan itu.
Jangan sedih jika dia tidak memilihmu. Barangkali
dia memang tak tahu, di sekitarnya ada mutiara berkilau. Jangan sedih,
jika dia tak memahamimu. Mungkin dia memang tak mengerti bagaimana
harus berlaku padamu meski dia selalu ada untukmu. Bukalah matamu, dan
lihatlah bahwa pelangi tidak satu warna. Jika merah terasa membakarmu,
masih ada hijau dan biru yang lebih teduh untukmu. Percayalah, sejatinya
Tuhan sudah menciptakan jutaan warna untuk kita. Jika bukan saat ini,
nanti kau pasti akan temukan warna yang sesuai dengan mu yang akan mencerahkan
harimu sepanjang hayatmu
Your Secret Admirer
Moses
Tidak ada komentar:
Posting Komentar