meta content='IE=EmulateIE7' http-equiv='X-UA-Compatible'/> Maraza's Antology: Mbakyuku Kinasih 4 : Cintaku dan Pencitraan Subakti

Jumat, 12 Juli 2013

Mbakyuku Kinasih 4 : Cintaku dan Pencitraan Subakti

Akhirnya aku benar-benar dibebaskan. Meski untuk sampai ke sana perlu waktu hampir satu bulan. Setelah Sanusi dan Tomo tertangkap kembali hampir seminggu setelahnya, pihak lapas melakukan kroscek antara aku dan dua pelarian itu. Dan aku dinyatakan bersih.
“Alhamdulillah…” Cuma itu yang mampu kuucapkan dalam sujud syukurku di depan gerbang lapas. Lega rasanya bisa melihat kembali lalu lalang orang di jalanan, menikmati hangatnya sinar matahari, melihat senyum bijak bapak angkatku yang menjemputku dan aku bisa kembali melihat Utari.
Utari. Bagaimana keadaannya sekarang? Jujur aku khawatir. Wanita manapun pasti tertekan jika mengalami kejadian seperti itu. Apalagi Utari yang begitu sholeha dan selalu menutup rapat auratnya. Baginya pasti ini merupakan aib dan trauma yang tak kan mudah terhapus begitu saja. Sudah bertahun-tahun Utari menjaga kesetiannya pada mendiang suaminya bahkan sampai menolak pinanganku. Tapi justru kejadian tragis itu yang harus diterima sebagai imbalannya.
“Gimana keadaan Mbakyu, Ken?” tanyaku pada Niken saat aku mengunjungi kediaman Utari, sehari setelah aku bebas. Bu Etik ibunya Niken juga ikut menemaniku ngobrol.
“Ya gitu itu Mas. Secara fisik sih mbak Ut itu sehat. Tapi batinnya masih trauma mas. Ndak pernah mau keluar kamar kecuali untuk wudhu dan mandi. Mandinya pun lama banget. Dia selalu merasa badannya penuh najis dan ingin menghilangkannya sampai habis”
Aku tertegun. Mataku membasah. Miris mendengar cerita tentang Utari. Hidup sendiri tanpa keluarga dan harus mengalami kejadian menakutkan sekaligus menjijikkan. Andai saja dulu Utari tidak menolak lamaranku, tentu aku bisa membelanya sekuat tenagaku. Tak kan kubiarkan seorang pun menyakiti Utari biar hanya seujung kuku.
Tapi toh aku cuma manusia biasa. Selayaknya titah di muka bumi ini, aku hanya harus tunduk dan patuh, serta ikhlas menerima apapun yang digariskanNya untukku.
“Aku boleh menemuinya, Ken?”
“Boleh saja Nak Widodo. Tapi jangan kaget kalau melihat reaksi Utari” Bu Etik mengingatkanku.
“Kenapa Bu?”
“Itu lho Mas, Mbak Utari itu ndak pernah bisa ketemu sama laki-laki. Setiap melihat laki-laki dia selalu histeris. Bahkan waktu dulu baru pulang dari rumah sakit, dia selalu kalap dan menyerang lelaki manapun yang datang menjenguknya. Bapakku dan Pak Marsudi pernah dilempar dengan asbak dan dicakar. Tapi kami semua memaklumi, mungkin dia trauma”
Kupejamkan mataku. Ada perih di ulu hati ini. Tapi aku harus bicara pada Utari. Kalau pun untuk itu aku harus menerima lemparan asbak, cakaran atau apapun yang menyakitkan aku rela. Dan semoga Allah memudahkan aku untuk menemui Utari. ‘Bismillaahiromaanirrohim…’ batinku sambil menyibakkan tirai kamar Utari.
“Assalamu’alaikum. Mbakyu…ini aku Widodo…” aku menyapanya dengan hati-hati karena takut mengagetkannya. Saat itu dia nampak sedang termenung di kursi rotan menghadap keluar jendela kamarnya.
Seketika dia menoleh ke arahku dan langsung wajahnya memucat. Dia berdiri dan seperti yang diceritakan Niken juga ibunya, dia langsung menyerangku dengan kursi rotan yang tadi didudukinya. Kursi itu mengenai tulang keringku. Nyeri. Tapi aku tak peduli dan sengaja tidak menghindari serangan Utari.
Usai melemparku denga kursi kembali Utari melemparkan vas bunga dan beberapa benda lain, namun tak sampai mengenaiku meski aku tak menghindar. Wajahnya kian memucat dan air matanya berlinang. Dia terus saja menjauh hingga tersudut di pojok kamarnya yang berdinding biru itu.
“Pergi kamu! Jangan sentuh saya! Saya ndak mau lihat kamu lagi! Pergiii….!” Utari menangis histeris. Air matanya kian menganak sungai. Tak tega aku melihatnya begitu. Terduduk bersimpuh pasrah di antara ranjang dan dinding.
“Istighfar, Mbakyu. Ini Widodo. Saya cuma ingin menengok Mbakyu…” aku mencoba meredam tangisnya, tapi malah makin menjadi. Dibenamkan wajahnya diantara kedua lutut yang merapat ke dada. Bahunya berguncang hebat. Sementara kepalan tangannya memukul-mukul lantai. Hatiku sakit melihatnya. Dia memang orang lain, tapi dia punya tempat khusus di hati lelakiku yang haus kasih.
“Pergilah…Dhimas! Jangan pernah berharap apapun dari saya lagi. Saya tidak pantas lagi untuk Dhimas. Saya kotor dan menjijikkan…” Utari mencoba membuatku pergi. Tapi bukan Widodo Jatmiko jika mundur teratur. Kucoba medekatinya perlahan. Tak berani kusentuh dia meski sebenarnya sangat ingin memeluknya. Sekedar memberikan rasa aman yang setelah kejadian itu mungkin tak pernah dia rasakan.
Mbakyu, kotor atau tidaknya manusia, menjijikkan atau tidak, hanya Allah yang Maha Mengetahui. Apalagi semua ini bukan salah Mbakyu. Mbakyu cuma korban. Selama dalam hati Mbakyu masih ada Allah sebagai Tuhan dan Muhammad sebagai RosulNya, saya akan tetap mecintai Mbakyu. Bagi saya, Mbakyu tetap Sri Utari yang saya kenal, yang santun dan sholeha”
Utari masih saja menangis. Tapi nampaknya dia memahami ucapanku bahwa aku tak peduli pada kondisi fisiknya seperti apa dan tetap mencintainya. Cukup lama menunggu hingga tangisnya mereda dan kembali menegakkan kepalanya memandangku lekat. Mata sembabnya seolah menanyakan kesungguhanku. Aku tersenyum. Senyum paling manis yang pernah kumiliki.
“Saya bisa pegang janji Dhimas?” tanya Utari di sela isak tangisnya. Aku hanya mengangguk pasti. Tapi aku berharap itu cukup menjadikan jaminan bahwa aku akan selalu menjaga dan melindunginya.
Di luar kamar kulihat Niken dan ibunya berpelukan. Mereka menangis meski bibir meraka tersenyum. Seolah mereka ingin mengatakan, mereka bahagia melihat aku dan Utari saling mencintai.
******
“Ini pencitraan Wid” kata Sanusi saat aku membesuknya di lapas pagi itu. sebulan setelah aku bebas.
“Maksudmu apa San?” tanyaku tak mngerti.
“Ini kasus yang sengaja diciptakan oleh Subakti untuk pencitraan. Selama ini dia sipir yang paling tidak pernah dapat penghargaan meski sudah berkerja belasan tahun. Dengan kasus yang dia buat dan dia selesaikan sendiri dia berharap dapat citra positif dari pimpinan dan kemudian dapat penghargaan” setengah berbisik Sanusi menjelaskan makna kata “pencitraan” yang disematkannya pada sipir Subakti.
Sanusi memang divonis cukup lama. Lima belas tahun penjara. Saat aku masuk lapas ini dua setengah tahu yang lalu, dia sudah menginap di hotel prodeo ini selama delapan tahun. Jadi sangat mungkin dia paham segala sesuatu termasuk tentang sipir Subakti.
Aku mengembuskan nafasku dengan keras. Kesal. Kok masih ada orang-orang seperti Subakti di muka bumi ini? Tak bisakah mendapatkan sesuatu dengan cara yang lebih elit dan terpuji? Pantas saja tamparan dan tinjunya begitu keras mengenai mukaku. Mungkin pelampiasan rasa kesalnya.
“Tapi….ada satu hal lagi yang ingin kukatakan padamu Wid. Dan aku harap kamu tidak terkejut mendengarnya…”
“Soal apa?”
“Soal Utari”
“Kenapa dengan Utari?”
“Subakti juga demen(suka) sama Utari bahkan sejak sebelum menikah dengan mendiang suaminya”
“Dari mana kamu tahu?”
“Sebenarnya aku tetangga Utari di Klaten. Subakti itu teman sekolah Utari waktu SMA. Sejak dulu dia memang menginginkan Utari tapi tidak pernah dianggep karena orangnya kasar dan berangasan. Akhirnya Utari memilih Yusuf yang alim dan jebolan pesantren. Sayangnya tak lama setelah menikah, Yusuf meninggal dunia”
“Lantas, apa ini juga berhubungan dengan kaburnya kalian malam itu?” Sanusi tidak menjawab tapi mendadak wajahnya memucat seperti sedang ketakutan. Tiba-tiba dia bersimpuh dan mencium kakiku.
“Maafkan aku dan Tomo, Wid…maafkan kami”
“Hei…ada apa?! Udah berdiri saja. Aku bukan ibu atau bapak kalian. Kalau merasa salah yo ndak usah sampai nyembah-nyembah seperti ini. Cuma Allah saja yang layak disembah. Ayo berdiri!” Aku membimbing Sanusi untuk berdiri.
“Memangnya kalian punya salah apa sama aku? Toh pada akhirnya terbukti kan, aku bersih dan tidak terlibat dengan kaburnya kalian?” Sanusi hanya menunduk. Tapi aku melihat dia seperti ingin mengatakan sesuatu tapi takut atau ragu. Kemudian dia merangkulku dan membisikkan kalimat yang hampir saja membuat aku meninju mukanya.
“Perkosaan Utari…kami berdua pelakunya Wid. Semua atas suruhan Subakti”
Aku melepas rangkulan Sanusi dengan kasar dan kuhempaskan tubuhnya di kursi ruang besuk. Aku terkejut, marah, geram jengkel tapi tak bisa berbuat apa-apa. Kutatap tajam mata Sanusi. Ingin rasanya aku melumatnya hidup-hidup. Tapi percuma. Toh perkosaan itu sudah terjadi dan kekesalanku tak mengembalikan apapun malah menambah rasa cintaku pada Utari.
“Aarrrggghhh…! Brakk!” aku menggeram sambil menggebrak meja dengan kasar. Tak ada sipir yang menegur. Sepertinya mereka paham apa yang membuat aku kesal dan marah. Kutatap tajam mata Sanusi yang terlihat tak berdaya dengan kemarahanku.
“Tolong katakan padaku, kenapa kalian sampai hati melakukan itu? Kalian kan tahu, aku begitu mencintai Utari!”
“Subakti ingin semua pria menjauhi Utari setelah tahu dia tak suci lagi. Dan setelahnya dia akan merengkuh Utari berlagak sebagai penyelamat”
Kukepalkan tanganku kuat-kuat menyalurkan geram yang masih tersisa. Kalau tidak lupa pesan sipir Hakim untuk tidak melanggar hukum lagi, aku pasti sudah cari Subakti di manapun dia berada dan menghabisinya saat itu juga. Meski taruhannya adalah tiang gantungan.
“Kalau kamu benar-benar mencintai Utari, segera nikahi dia Wid. Jaga dan lidungi dia dari orang-orang seperti Subakti. Tapi kamu juga harus hati-hati, karena bukan tidak mungkin dia akan merasa dilancangi jika tahu kamu menikahinya. Sekali lagi, aku dan Tomo minta maaf. Silakan saja kalau setelah ini kamu tidak akan pernah membesuk kami lagi”
Aku kehabisan kata-kata. Aku hanya paham satu hal, aku memang harus segera menikahi Utari. Sebentar lagi Ramadhan. Aku ingin mengecap indahnya Ramadhan bersamanya. Aku juga ingin bisa selalu menjaganya seumur hidupku, bukan hanya sebagai Mbakyu Kinasih, tapi sebagai garwa kinasih, belahan jiwa terkasih.
Semoga saja…..(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar