Akhirnya
aku benar-benar dibebaskan. Meski untuk sampai ke sana perlu waktu hampir satu
bulan. Setelah Sanusi dan Tomo tertangkap kembali hampir seminggu setelahnya,
pihak lapas melakukan kroscek antara aku dan dua pelarian itu. Dan aku
dinyatakan bersih.
“Alhamdulillah…”
Cuma itu yang mampu kuucapkan dalam sujud syukurku di depan gerbang lapas. Lega
rasanya bisa melihat kembali lalu lalang orang di jalanan, menikmati hangatnya
sinar matahari, melihat senyum bijak bapak angkatku yang menjemputku dan aku bisa
kembali melihat Utari.
Utari.
Bagaimana keadaannya sekarang? Jujur aku khawatir. Wanita manapun pasti
tertekan jika mengalami kejadian seperti itu. Apalagi Utari yang begitu sholeha
dan selalu menutup rapat auratnya. Baginya pasti ini merupakan aib dan trauma
yang tak kan mudah terhapus begitu saja. Sudah bertahun-tahun Utari menjaga
kesetiannya pada mendiang suaminya bahkan sampai menolak pinanganku. Tapi
justru kejadian tragis itu yang harus diterima sebagai imbalannya.
“Gimana
keadaan Mbakyu, Ken?” tanyaku pada
Niken saat aku mengunjungi kediaman Utari, sehari setelah aku bebas. Bu Etik
ibunya Niken juga ikut menemaniku ngobrol.
“Ya
gitu itu Mas. Secara fisik sih mbak Ut itu sehat. Tapi batinnya masih trauma
mas. Ndak pernah mau keluar kamar kecuali untuk wudhu dan mandi. Mandinya pun
lama banget. Dia selalu merasa badannya penuh najis dan ingin menghilangkannya
sampai habis”
Aku
tertegun. Mataku membasah. Miris mendengar cerita tentang Utari. Hidup sendiri
tanpa keluarga dan harus mengalami kejadian menakutkan sekaligus menjijikkan.
Andai saja dulu Utari tidak menolak lamaranku, tentu aku bisa membelanya sekuat
tenagaku. Tak kan kubiarkan seorang pun menyakiti Utari biar hanya seujung
kuku.
Tapi
toh aku cuma manusia biasa. Selayaknya titah di muka bumi ini, aku hanya harus
tunduk dan patuh, serta ikhlas menerima apapun yang digariskanNya untukku.
“Aku
boleh menemuinya, Ken?”
“Boleh
saja Nak Widodo. Tapi jangan kaget kalau melihat reaksi Utari” Bu Etik
mengingatkanku.
“Kenapa
Bu?”
“Itu
lho Mas, Mbak Utari itu ndak pernah bisa ketemu sama laki-laki. Setiap melihat
laki-laki dia selalu histeris. Bahkan waktu dulu baru pulang dari rumah sakit,
dia selalu kalap dan menyerang lelaki manapun yang datang menjenguknya. Bapakku
dan Pak Marsudi pernah dilempar dengan asbak dan dicakar. Tapi kami semua
memaklumi, mungkin dia trauma”
Kupejamkan
mataku. Ada perih di ulu hati ini. Tapi aku harus bicara pada Utari. Kalau pun
untuk itu aku harus menerima lemparan asbak, cakaran atau apapun yang
menyakitkan aku rela. Dan semoga Allah memudahkan aku untuk menemui Utari. ‘Bismillaahiromaanirrohim…’
batinku sambil menyibakkan tirai kamar Utari.
“Assalamu’alaikum.
Mbakyu…ini aku Widodo…” aku
menyapanya dengan hati-hati karena takut mengagetkannya. Saat itu dia nampak sedang
termenung di kursi rotan menghadap keluar jendela kamarnya.
Seketika
dia menoleh ke arahku dan langsung wajahnya memucat. Dia berdiri dan seperti
yang diceritakan Niken juga ibunya, dia langsung menyerangku dengan kursi rotan
yang tadi didudukinya. Kursi itu mengenai tulang keringku. Nyeri. Tapi aku tak
peduli dan sengaja tidak menghindari serangan Utari.
Usai
melemparku denga kursi kembali Utari melemparkan vas bunga dan beberapa benda
lain, namun tak sampai mengenaiku meski aku tak menghindar. Wajahnya kian
memucat dan air matanya berlinang. Dia terus saja menjauh hingga tersudut di
pojok kamarnya yang berdinding biru itu.
“Pergi
kamu! Jangan sentuh saya! Saya ndak mau lihat kamu lagi! Pergiii….!” Utari
menangis histeris. Air matanya kian menganak sungai. Tak tega aku melihatnya
begitu. Terduduk bersimpuh pasrah di antara ranjang dan dinding.
“Istighfar,
Mbakyu. Ini Widodo. Saya cuma ingin
menengok Mbakyu…” aku mencoba meredam
tangisnya, tapi malah makin menjadi. Dibenamkan wajahnya diantara kedua lutut
yang merapat ke dada. Bahunya berguncang hebat. Sementara kepalan tangannya
memukul-mukul lantai. Hatiku sakit melihatnya. Dia memang orang lain, tapi dia
punya tempat khusus di hati lelakiku yang haus kasih.
“Pergilah…Dhimas! Jangan pernah berharap apapun
dari saya lagi. Saya tidak pantas lagi untuk Dhimas. Saya kotor dan menjijikkan…” Utari mencoba membuatku pergi.
Tapi bukan Widodo Jatmiko jika mundur teratur. Kucoba medekatinya perlahan. Tak
berani kusentuh dia meski sebenarnya sangat ingin memeluknya. Sekedar
memberikan rasa aman yang setelah kejadian itu mungkin tak pernah dia rasakan.
“Mbakyu, kotor atau tidaknya manusia,
menjijikkan atau tidak, hanya Allah yang Maha Mengetahui. Apalagi semua ini
bukan salah Mbakyu. Mbakyu cuma korban. Selama dalam hati Mbakyu masih ada Allah sebagai Tuhan dan
Muhammad sebagai RosulNya, saya akan tetap mecintai Mbakyu. Bagi saya, Mbakyu
tetap Sri Utari yang saya kenal, yang santun dan sholeha”
Utari
masih saja menangis. Tapi nampaknya dia memahami ucapanku bahwa aku tak peduli
pada kondisi fisiknya seperti apa dan tetap mencintainya. Cukup lama menunggu
hingga tangisnya mereda dan kembali menegakkan kepalanya memandangku lekat.
Mata sembabnya seolah menanyakan kesungguhanku. Aku tersenyum. Senyum paling manis
yang pernah kumiliki.
“Saya
bisa pegang janji Dhimas?” tanya
Utari di sela isak tangisnya. Aku hanya mengangguk pasti. Tapi aku berharap itu
cukup menjadikan jaminan bahwa aku akan selalu menjaga dan melindunginya.
Di
luar kamar kulihat Niken dan ibunya berpelukan. Mereka menangis meski bibir
meraka tersenyum. Seolah mereka ingin mengatakan, mereka bahagia melihat aku
dan Utari saling mencintai.
******
“Ini
pencitraan Wid” kata Sanusi saat aku membesuknya di lapas pagi itu. sebulan
setelah aku bebas.
“Maksudmu
apa San?” tanyaku tak mngerti.
“Ini
kasus yang sengaja diciptakan oleh Subakti untuk pencitraan. Selama ini dia
sipir yang paling tidak pernah dapat penghargaan meski sudah berkerja belasan
tahun. Dengan kasus yang dia buat dan dia selesaikan sendiri dia berharap dapat
citra positif dari pimpinan dan kemudian dapat penghargaan” setengah berbisik
Sanusi menjelaskan makna kata “pencitraan” yang disematkannya pada sipir
Subakti.
Sanusi
memang divonis cukup lama. Lima belas tahun penjara. Saat aku masuk lapas ini
dua setengah tahu yang lalu, dia sudah menginap di hotel prodeo ini selama
delapan tahun. Jadi sangat mungkin dia paham segala sesuatu termasuk tentang
sipir Subakti.
Aku
mengembuskan nafasku dengan keras. Kesal. Kok masih ada orang-orang seperti
Subakti di muka bumi ini? Tak bisakah mendapatkan sesuatu dengan cara yang
lebih elit dan terpuji? Pantas saja tamparan dan tinjunya begitu keras mengenai
mukaku. Mungkin pelampiasan rasa kesalnya.
“Tapi….ada
satu hal lagi yang ingin kukatakan padamu Wid. Dan aku harap kamu tidak
terkejut mendengarnya…”
“Soal
apa?”
“Soal
Utari”
“Kenapa
dengan Utari?”
“Subakti
juga demen(suka) sama Utari bahkan sejak sebelum menikah dengan mendiang
suaminya”
“Dari
mana kamu tahu?”
“Sebenarnya
aku tetangga Utari di Klaten. Subakti itu teman sekolah Utari waktu SMA. Sejak
dulu dia memang menginginkan Utari tapi tidak pernah dianggep karena
orangnya kasar dan berangasan. Akhirnya Utari memilih Yusuf yang alim dan
jebolan pesantren. Sayangnya tak lama setelah menikah, Yusuf meninggal dunia”
“Lantas,
apa ini juga berhubungan dengan kaburnya kalian malam itu?” Sanusi tidak
menjawab tapi mendadak wajahnya memucat seperti sedang ketakutan. Tiba-tiba dia
bersimpuh dan mencium kakiku.
“Maafkan
aku dan Tomo, Wid…maafkan kami”
“Hei…ada
apa?! Udah berdiri saja. Aku bukan ibu atau bapak kalian. Kalau merasa salah yo ndak usah sampai nyembah-nyembah
seperti ini. Cuma Allah saja yang layak disembah. Ayo berdiri!” Aku membimbing
Sanusi untuk berdiri.
“Memangnya
kalian punya salah apa sama aku? Toh pada akhirnya terbukti kan, aku bersih dan
tidak terlibat dengan kaburnya kalian?” Sanusi hanya menunduk. Tapi aku melihat
dia seperti ingin mengatakan sesuatu tapi takut atau ragu. Kemudian dia
merangkulku dan membisikkan kalimat yang hampir saja membuat aku meninju
mukanya.
“Perkosaan
Utari…kami berdua pelakunya Wid. Semua atas suruhan Subakti”
Aku
melepas rangkulan Sanusi dengan kasar dan kuhempaskan tubuhnya di kursi ruang
besuk. Aku terkejut, marah, geram jengkel tapi tak bisa berbuat apa-apa.
Kutatap tajam mata Sanusi. Ingin rasanya aku melumatnya hidup-hidup. Tapi
percuma. Toh perkosaan itu sudah terjadi dan kekesalanku tak mengembalikan
apapun malah menambah rasa cintaku pada Utari.
“Aarrrggghhh…!
Brakk!” aku menggeram sambil menggebrak meja dengan kasar. Tak ada sipir yang
menegur. Sepertinya mereka paham apa yang membuat aku kesal dan marah. Kutatap
tajam mata Sanusi yang terlihat tak berdaya dengan kemarahanku.
“Tolong
katakan padaku, kenapa kalian sampai hati melakukan itu? Kalian kan tahu, aku
begitu mencintai Utari!”
“Subakti
ingin semua pria menjauhi Utari setelah tahu dia tak suci lagi. Dan setelahnya
dia akan merengkuh Utari berlagak sebagai penyelamat”
Kukepalkan
tanganku kuat-kuat menyalurkan geram yang masih tersisa. Kalau tidak lupa pesan
sipir Hakim untuk tidak melanggar hukum lagi, aku pasti sudah cari Subakti di
manapun dia berada dan menghabisinya saat itu juga. Meski taruhannya adalah
tiang gantungan.
“Kalau
kamu benar-benar mencintai Utari, segera nikahi dia Wid. Jaga dan lidungi dia
dari orang-orang seperti Subakti. Tapi kamu juga harus hati-hati, karena bukan
tidak mungkin dia akan merasa dilancangi
jika tahu kamu menikahinya. Sekali lagi, aku dan Tomo minta maaf. Silakan saja
kalau setelah ini kamu tidak akan pernah membesuk kami lagi”
Aku
kehabisan kata-kata. Aku hanya paham satu hal, aku memang harus segera menikahi
Utari. Sebentar lagi Ramadhan. Aku ingin mengecap indahnya Ramadhan bersamanya.
Aku juga ingin bisa selalu menjaganya seumur hidupku, bukan hanya sebagai Mbakyu
Kinasih, tapi sebagai garwa kinasih, belahan jiwa terkasih.
Semoga
saja…..(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar