meta content='IE=EmulateIE7' http-equiv='X-UA-Compatible'/> Maraza's Antology: Tentang Chef Wildan

Senin, 15 Juli 2013

Tentang Chef Wildan

Chef. Sebuah profesi yang dari dulu diidamkan Lila yang memang hobi memasak. Sejak di TV banyak bermunculan acara memasak dan melahirkan banyak chef ternama, Lila lantas ingin menjadi salah satu diantara mereka. Rasanya pasti menyenangkan bisa menciptakan beragam resep baru yang menggoda lidah untuk mencoba. Atau memodifikasi resep yang sudah ada menjadi lebih lezat dan bernilai jual tinggi.
Untuk mencapai semua itu, Lila memilih masuk SMK jurusan Boga. Hobinya memasak dia salurkan di sini. Dan ternyata saat mendalami ilmu kuliner, Lila semakin paham bahwa memasak bukan hanya sekedar harus lezat, tapi juga perlu penyajian yang unik dan menarik. Bukan cuma itu. Lila juga menjadi paham bahwa seorang chef tidak hanya harus pintar memasak, tapi juga harus bisa jadi pemimpin atau leader yang baik. Karena di balik dapur sebuah restoran atau hotel, semua persiapan berada di bawah pengawasan satu chef yang sama.
Lulus dari SMK, Lila mengambil kuliah di Akademi Pariwisata lagi-lagi dia mendalami kuliner. Wawasannya makin bertambah karena tidak hanya mempelajari kuliner Indonesia tapi juga kuliner asing lainnya. Meski demikian, lidah Indonesia Lila tidak bisa menampik bahwa kuliner Indonesia lebih lezat dan lebih menantang untuk dipelajari. Bumbu yang beragam dan cara memasak yang lumayan rumit adalah tantangan yang harus ditaklukkan. Makanan Indonesia harus jadi tuan rumah di negeri sendiri. Itu keinginannya.
Satu hal yang selama ini tak pernah dibayangkan Lila adalah, dia harus bekerja di bawah pimpinan seorang chef yang super jutek dan tukang marah-marah. Chef Juna? Gordon Ramsey yang punya Hell’s Kitchen itu? Ahhh…lewat. Nggak ada apa-apanya. Kalau Juna atau Ramsey cuma ‘ngamuk’ kalau ada kontestan yang masaknya nggak banget. Tapi chef yang satu ini, dia sepertinya sudah jutek dari lahir. Mukanya nggak pernah senyum, nggak pernah mengarahkan, tapi selalu memaki jika kurang pas sedikit saja dengan maunya.
Kadang Lila juga rekan kerjanya yang lain merasa, chef yang bernama Wildan ini bermasalah dengan urusan mental. Orang yang waras akan menyampaikan segala sesuatu dengan kalimat yang baik agar diterima dengan baik pula. Kalau marah pun pasti masih mikir. Tapi tidak dengan Wildan. Dia bisa melontarkan makian yang paling menusuk perasaan bahkan pernah salah satu chef baru yang langsung resign di hari pertama kerja,  begitu melihat cara kerja dan sikap tidak bersahabat Wildan. Satu kata yang bisa diberikan oleh Lila. Menyebalkan.
“Kenapa nih?  Kok anak papa murung hari gini?” Hari memang masih lumayan pagi. Baru jam tujuh lebih lima belas. Tapi Darmawan sudah melihat Lila putrinya termenung di meja makan. Secangkir kopi di depannya tak tersentuh dan sudah menjadi dingin.
“Eh, Papa. Sini deh, Pa. Ada yang mau Lila tanyain.” Lila menggamit Darmawan dan menarik kursi di sebelahnya untuk Sang Papa.
“Mau nanya apa sih?” Darmawan menatap Lila penasaran.
“Pa, orang-orang di resto tahu nggak, kalau aku anaknya Papa?” Lila memang berekrja di resto milik papanya.
“Nggak tuh. Kan kamu dulu masuk ke sana dengan jalan yang sama seperti yang lain. Tes tulis, interview juga praktek masak. Bahkan Papa sengaja mengundang penguji dari luar biar fair. Kenapa sih?” Darmawan belum bisa menebak arah pembicaraan putrinya.
“Nggak sih. Aku heran aja sama Chef Wildan. Dia sepertinya benci banget sama aku, Pa. Marah melulu, salah melulu. Padahal aku selalu simak dan kerjakan baik-baik semua instruksinya. Lagian aku kan punya sens of belongin paling tinggi pada resto itu dibanding yang lain. Jadi nggak mungkin kan aku masaknya ngawur dan bikin pelanggan pergi?
“Tapi nggak tahu nih. Chef Wilndan nggak pernah appreciate sama yang udah kukerjakan. Kayak kemaren nih. Mosok aku musti bikin Hakau Udang sampai tiga kali?! Katanya kurang ini lah, kurang itu lah, lipetan kulitnya masih kurang rapi lah. Padahal nih Pa, aku udah nanya sama Chef Steven  yang asli orang Cina. Katanya udah enak banget. Eh yang asli Indonesia malah segitunya.
“Padahal bikin hakau kan ngak gampang Pa. Biangnya, isinya, ngelipetnya. Kalau dia nggak benci sama aku, apa coba namanya? Pokonya sebel deh!” Lila memuntahkan semua uneg-unegnya. Lega rasanya.
“Eh..eh…kok pagi-pagi udah ada yang meledak? Pakai ngomongin orang lagi. Nggak baik lho! Pagi hari itu awali dengan gembira. Biar seharian gembira terus,” tiba-tiba saja Nurmala mama Lila sudah muncul dengan nampan  berisi roti bakar dan cokelat panas untuk sarapan mereka.
“Ini lho, Ma. Lila lagi kesel sama Wildan.” Kata Darmawan.
“Wildan? Chef baru yang ganteng dan cool itu? Ada apa sih cantik? Jangan gitu, ntar kecantol lho!” Nurmala mencoba mengingatkan Lila.
“Habis kesel sih, Ma. Apa aku resign aja ya dari restonya Papa? Nggak tahan lagi nih. Capek hati mlulu.”
“Eit, apa Papa pernah ngajarin anak-anak Papa untuk jadi pecundang? Nggak kan? Lihat kakak-kakak kamu Lexi dan Litha. Semua pernah mengalami masa sulit di tempat kerja yang mereka minati. Tapi passion yang mereka miliki mampu membuat mereka bertahan dan membuktikan bahwa mereka tidak layak untuk diremehkan.
“Kamu juga musti gitu. Bidang kuliner adalah bidang yang kamu sukai. Kamu sudah habiskan banyak waktu untuk sampai ke tahap ini. Seorang chef. Memang, saat ini kamu belum jadi chef utama di resto Papa. Tapi suatu saat nanti, kamu yang akan Papa pilih untuk menerusakn usaha itu karena kamu punya passion yang sama denga Papa.
“Nah, kalau belum apa-apa kamu sudah menyerah, bagaimana Papa bisa percayakan resto itu pada kamu? Buktikan pada Chef Wildan kamu anak buah yang layak diandalkan. Buktikan juga pada Papa dan Mama, kamu siap memimpin restoran itu. Kalau kamu ingin Wildan keluar dari resto kita, kamu sendiri yang harus memecatnya, setelah nanti kamu jadi owner!”
Panjang lebar Darmawan menasihati putri bungsunya. Dia hanya tidak ingin Lila menyerah sebelum berperang. Prinsip Darmawan, tidak ada salahnya sedikit berdarah-darah untuk meraih kemenangan. Para pejuang kemerdekaan jaman dulu pun melakukan yang sama bahkan lebih dari itu.
Lila hanya diam. Roti bakar cokelat keju itu rasanya tak nikmat lagi. Kalau saja tidak lapar mungkin tidak akan dimakannya. Apa yang baru dikatakan papanya berputar-putar dalam pikiranya. Papanya benar. Tak ada kemenangan dan keberhasilan tanpa perjuangan. Calon owner sebuah restaurant memang harus tahan banting. Kalau menghadapi seorang Wildan saja dia menyerah, bagaimana jika nanti resto mengalami maslah?
Akhirnya Lila memutuskan untuk melakukan sesuatu. Segera dihabiskan sarapannya, mencium tangan kedua orang tuanya dan melangkah tergesa keluar rumah diikuti tatapan tak mengerti Darmawan dan Nurmala. Mereka yakin Lila pasti ke tempat kerja karena sudah membawa tas dan mengenakan seragam. Tapi mengapa harus sepagi ini? Hanya Tuhan dan Lila yang tahu.
----
Baru jam delapan kurang sepuluh menit ketika Lila sampai di resto. Resto memang baru buka pukul sebelas. Tapi sudah beberapa orang yang datang terutama cleaning service. Resto yang bersih dan tertata rapi tentu akan membuat pelanggan kembali datang, selain makanannya yang juga harus lezat.
Lila hanya meyapa sekedarnya pada mereka dan segera menuju ruang persiapan. Dia kembali membuat Hakau Udang yang kemarin berakhir di tempat sampah. Tak ada yang berubah dari resepnya. Tetap resep yang sama dengan kemarin. Kalau ada yang berubah, maka yang berubah adalah semangat Lila saat membuatnya. Tidak ada lagi gerutuan atau keluh kesah. Kalau pun nanti masih dirasa tidak enak, Lila tak akan mengijinkanya untuk dibuang. Pengemis atau pemulung bahkan para pramusaji pasti masih doyan.
Hampir dua jam Lila mengerjakan ‘PR’nya dan setelah selesai segera dibawanya hakau yang masih mengepul asapnya itu ke ruangan  Wildan.
“Masuk!” teriak Wildan dari dalam. Dan dia segera melihat wajah kemerahan Lila yang datang dengan hakau di angannya.
“Pagi Chef!” Sapa Lila sambil melangkah mendekati meja Wildan. Sementara Si empunya meja sedang asik dengan gadgetnya.
“Ada apa? Kok pagi-pagi kamu sudah ke ruangan saya? Bawa makanan lagi. Mau nyogok saya, supaya saya nggak sering marah-marah?!” Ketus seperti biasanya. Tapi kali ini Lila menangapinya dengan tenang. ‘Calon owner ngak boleh cengeng.’ Bisik batinnya.
“Maaf Chef, saya anti suap. Saya cuma mau selesaikan PR kemarin. Tiga kali hakau saya berakhir di tempat sampah. Saya harap kali ini tidak, karena akan saya berikan pada pengemis kalau Chef nggak berkenan.” Lila berkata dengan tenang. Diletakkannya hakau buatannya di meja. Berdebar menunggu reaksi chef jutek itu. Sementara Wildan bergeming. Tetap asik dengan gadgetnya.
Setelah beberapa lama cuek, akhirnya Wildan mengambil sumpit yang sudah disiapkan Lila dan mulai menyantap hakaunya. Cukup lama Wildan membuat Lila penasaran karena tak segera mengatakan rasa hakau buatannya. Wildan seperti sedang menikmati setiap gigitan dan kunyahan di mulutanya.
“Enak kok. Enak banget. Mirip seperti di negara asalnya. Sebenarnya sih, tiga yang kemaren juga enak. Dan sesungguhnya nggak ada yang dibuang. Dimakan sama anak-anak termasuk saya. Asal kamu tahu itu bukan tempat sampah. Tapi kerajang sayuran.” Wildan tersenyum di  sudut bibirnya sambil melangkah meninggalkan Lila yang melongo.
Kesal, marah, pengen nangis karena merasa dikerjai. Tapi Lila tidak tahu harus berbuat apa.
“Tunggu Chef!” stengah berlari Lila menyusul Wildan yang sudah mendekati pintu.
“Apa lagi? Mau dikasih PR lagi?” Wildan memandang sinis pada Lila.
“Bukan itu. Saya cuma ingin tahu. Kenapa sih Chef Wildan sepertinya benci banget sama saya? Kalau saya punya kesalahan, tolong katakan saja biar saya perbaiki. Mungkin saya pernah tidak sengaja menyinggung perasaan Chef, tidak kooperatif dengan angota tim yang lain, atau memasak yang benar-benar tidak sesuai standar resto kita. Katakan Chef. Please.”
Wildan tidak langsung menjawab. Justru kali ini dia kelihatan grogi menerima pertanyaan bertubi-tubi seperti itu. Lama dia hanya memandang Lila dengan tatapan yang Lila sendiri tak berani menterjemahkan. Bukan sinis, benci atau marah seperti biasanya. Tapi pandangan Wildan kali ini benar-benar membuat Lila meleleh.
“Kamu benar-benar mau tahu kesalahan kamu?” Tanya Wildan setelah lama diam. Lila mengangguk.
“Kamu, selalu membuat saya merasa dimana-mana kamu ada. Di ruangan saya ini, di ruang persiapan, ruang meeting, bis kota, mobil bahkan kamar saya. Setiap saya menatap gambar Luna Maya artis idola saya, wajah kamu yang muncul. Nonton film Spiderman di sada tak ada lagi Mary Jane tapi kamu. Hermione juga berubah jadi kamu. Kamu, kamu dan selalu kamu di manapun aku berada. Masih merasa nggak salah?!
“Dan kesalahan kamu yang paling fatal adalah, kamu sudah mampu membuat saya bersemangat hidup lagi, mencintai pekerjaan saya lagi dan berani jatuh cinta lagi. Actualy, I love you Lila.”
Lila hanya terpaku. Tak percaya pada apa yang baru didengarnya. Sebetunya sejak lama semua orang di dapur resto membicarakan kemungkinan itu. Membully karena menaruh hati. Tapi Lila selalu mengatakan bahwa itu tidak mungkin. Meski dalam hati sesungguhnya Lila juga mulai melirik Wildan. Andai tidak jutek dan pemarah tentu wajah tampan itu makin menawan. Sayangnya…
Dan sekarang ternyata Lila mendengar sendiri dari mulut Wildan, ungkapan perasannya yang tak biasa itu.
“Maaf untuk yang tak menyenangkan, La. Aku melakukannya agar kamu membenciku, keluar dari resto ini dan aku tak perlu melihatmu lagi hingga tak perlu jatuh cinta lagi. Tapi ternyata aku tidak bisa. Kamu ada di mana-mana bahkan dihatiku. Bagaimana, La? Masih ada tempat untukku?” Wildan menatap Lila penuh harap. Lila tak melihat lagi Wildan yang jutek dan pemberang. Ini Wildan yang berbeda.
Are you serious, Chef?”
Yes, I am.” Lila hanya diam memandang tajam pada Wildan yang masih menunggu jawabannya. Sampai akhirnya, Lila mengatakan kalimat yang sangat mengejutkan Wildan.
“Saya nggak mau.” Cuma itu yang dikatakan Lila sambil membuka pintu ruangan dan melangkah keluar. Tinggallah Wildan yang terpaku di depan pintu yang kembali menutup. Sementara Lila tersenyum simpul karena berhasil mengerjai Wildan. Meski Lila pun mulai menyukai Wildan, Lila lebih ingin agar Wildan berjuang untuk mendapatkan hatinya sama kerasnya dengan saat Lila berjuang untuk membuat hakau udang pesanan Wildan.
Hidup memang perlu perjuangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar