meta content='IE=EmulateIE7' http-equiv='X-UA-Compatible'/> Maraza's Antology: Kisah Itu Telah Usai

Jumat, 12 Juli 2013

Kisah Itu Telah Usai

Adzan Isya’ berkumandang saat Siwi selesai membereskan bekas makan malam dan mencucinya. Segera saja ia mengambil wudhu dan menyusul suaminya yang sudah menunggunya di mushola keluarga. Sholat berjamaah selalu menjadi hal yang dia nantikan setiap hari. Sebuah kegiatan yang menurutnya lebih mesra dari sekedar berduaan dan ngobrol kesana kemari.
Usai sholat, biasanya mereka akan mengaji bersama setidaknya satu juz. Tapi rupanya malam ini Nizar suaminya hanya ingin berbincang dengannya. Kesibukannya sebagai dokter Spesialis Jantung dan Bedah Thorax sering kali menyita waktunya bersama Siwi. Perempuan lemah lembut yang dinikahinya empat tahun silam.
“Wi,” kata Nizar tanpa menggeser duduknya. Masih di atas sajadah.
“Ada apa, Mas? Ada yang penting, ya? Kok kayaknya Mas bicaranya hati-hati banget gitu?” kata Siwi sembari melipat mukenanya. Matanya sesekali melirik suaminya yang terlihat seperti sedang kebingungan dan ragu-ragu.
“Mmmm…..kemarin, ada istri seorang pasien yang menemuiku. Bukan pasienku sih, pasien dokter Arbain. Dia memintaku agar mengijinkanmu menemui suaminya.” Nizar berkata dengan sangat hati-hati.
“Istri pasien? Aku harus ketemu suaminya? Memang siapa suaminya? Petinggi negeri ini?” Siwi sesungguhnya ingin tertawa. Tapi diurungkan. Entah mengapa ia merasa ini bukan saatnya bercanda.
“Dia Adiba. Adiba ingin kamu menemui Faisal. Dia kena kanker hati stadium lanjut. Dokter Arbain tidak menjelaskan stadium berapa. Tapi menurut perkiraan medis usianya tak lama lagi dan tinggal menunggu waktu. Kecuali Allah memberi mukjizat. Aku sudah melihat sendiri kondisinya. Fisiknya memang sudah sangat lemah.”
Siwi hanya diam. Faisal. Sebuah nama yang sangat familier di telinganya. Dan seketika seraut wajah tampan berkelebat membangkitkan memori yang susah payah dia kubur dalam-dalam. Lelaki yang pernah sangat dicintainya, namun justru meninggalkannya demi wanita lain. Memang tak ada lagi cinta juga dendam untuk lelaki itu. Tapi mendengar namanya disebut, tak urung membuat Siwi gemetar. Seketika wajahnya yang datar berubah murung.
“Apa aku seorang malaikat penyembuh hingga aku harus menemuinya dalam keadaan sekarat? Lantas, apakah kedatangannku akan merubah keadaan? Maaf, Mas. Katakan pada Adiba aku tidak bisa.”
“Wi….aku tahu, di masa lalu kamu telah disakitinya. Tapi istriku yang kukenal adalah seorang pemaaf. Dia hanya ingin, di saat akhir hidupnya, dia dimaafkan oleh semua orang termasuk kamu, Wi. Apa itu salah?”
“Aku sudah memaafkannya sebelum diminta. Sampaikan itu pada Adiba atau Faisal. Bagiku ceritaku dan Faisal sudah usai. Aku tak ingin ada hal apapun yang membangkitkannya kembali meski sebuah rasa iba. Tolong pahami aku, Mas.” Siwi menatap suaminya dengan tajam.
Nizar paham. Betapa luka yang pernah ditorehkan Faisal begitu menyakitkan Siwi. Bahkan pertama kali mereka bertemu, Siwi dalam keadaan sangat terpuruk akibat pengkhianatan Faisal. Rasanya wajar jika Siwi menolak. Karena meski lemah lembut tapi sesungguhnya Siwi berwatak keras. Dan jika sudah menatap seperti itu, berarti tak bisa dibantah lagi. Nizar berusaha mengerti. Meski sisi kemanusiaannya sebagai dokter yang sering melihat pasien menghadapi sakaratul maut, sangat tidak bisa terima sikap Siwi.
“Ya sudah. Nggak apa-apa. Nanti kusampaikan pada Adiba…” Nizar membelai rambut hitam Siwi dengan lembut juga mendaratkan ciuman di keningnya. Nizar menangkap kilatan telaga di mata Siwi. Entah karena apa.
******
Hampir jam sembilan pagi ketika perkerjaan rumah Siwi selesai semua. Mencuci, membersihkan rumah bahkan masak untuk makan siang. Nizar sudah berangkat sejak sebelum Subuh karena harus melakukan CABG. Ada panggilan dari rumah sakit karena seoarang pasiennya mengalami V-Tach. Karena itulah, Siwi tak harus meladeni suaminya dulu untuk sarapan sehingga pekerjaannya selesai lebih cepat.
Baru saja selesai mandi, hapenya berdering. Nama Nizar ada di layarnya.
“Assalamu’alaikum. Gimana, Mas? Operasinya sukses?” pertanyaan yang selalu meluncur lebih dulu setiap Nizar menelpon seusai operasi.
“Wa’alaikumsalam….” Siwi terkejut. Suara perempuan di seberang sana. Sebelum sempat mempercayai pendengarannya juga menguasai perasaannya, perempuan itu melanjutkan bicaranya.
“Siwi, ini aku Adiba. Maaf, aku menggunakan hape dokter Nizar. Karena menurutnya, kau tidak akan pernah mengangkat telpon asing.” Suara itu terdengar bergetar dan sesekali terdengar isak tertahan.
“Oh….nggak apa Diba. Bagaimana Mas Faisal? Kamu yang sabar ya, Diba…..” Siwi sungguh tak tahu kalimat apa yang harus dia katakan pada pempuan yang dulu ikut andil menghancurkan hatinya. Dia hanya berusaha bersimpati, berempati.
“Yah….begitulah Siwi. Kami hanya tinggal menunggu waktu saja. Apakah Mas Faisal akan dipanggil ‘pulang’, atau justru mendapatkan mukjizatNya. Berkali-kali dia mengalami gagal nafas dan tak sadarkan diri, tapi selalu kembali lagi pada kami. Dia masih menunggu maaf darimu, Siwi. Tolong maafkan dia….” Suara Adiba terdengar parau, dan isaknya pun lebih keras terdengar. Sedih, itu yang dirasakan Siwi. Terbayang bagamana bingungnya Adiba dengan kondisi suaminya. Mata Siwi pun mulai bertelaga.
“Diba. Aku bukan penentu akhir hidup seseorang. Itu hak sepenuhnya Allah. Dimaafkan atau tidak, jika Allah berkenan memanggilnya, dia pasti akan pulang. Begitu pun sebaliknya. Dimaafkan atau tidak, jika belum waktunya dia pergi, dia akan tetap bersamamu.
“Diba. Kita sama-sama perempuan. Aku harap, kau menjadi satu-satunya orang yang ditatapnya untuk terakhir kali sebelum dia menutup mata selamanya. Jadilah satu-satunya wanita yang menuntunnya untuk ‘pulang’ dengan kalimat tauhid. Atau sebaliknya, jadilah satu-satunya wanita yang menyemangatinya, jika Allah memberikan mukjizat padanya.
“Jangan lepas kepergian suamimu dengan pandangan cemburu. Aku yakin, meski kau minta aku menemui Mas Faisal, dalam hati kecilmu ada rasa tak rela perempuan lain ada di sisi suamimu di saat terakhirnya. Jadilah satu-satunya wanita dalam hidup Mas Faisal. Katakan padanya, aku sudah memaafkannya dan mengikhlaskan semuanya. Dia percaya padamu, Diba.”
Air mata Siwi mulai mengalir perlahan di kedua pipinya. Bagaimana pun, Faisal pernah menjadi orang istimewa di hatinya. Dan berita sakitnya Faisal sanggup menghadirkan setitik ingkar di hatinya. Jika tidak bertemu saja seperti ini, bukan tidak mungkin jika bertemu akan lebih parah.
Sementara itu di seberang sana, Adiba sedang berusaha memahami ucapan Siwi. Dalam hati dia membenarkan semuanya. Sedikit banyak, diakui atau tidak dia memang cemburu pada mantan kekasih suaminya itu. Dia cemburu, kenapa Faisal tak bisa melupakan cinta lamanya itu. Ada baiknya juga Siwi menolak permintaannya. Adiba pun sebenarnya ingin menjadi perempuan terakhir di hati suaminya. Dan penolakan Siwi akan melapangkan jalan untuk itu.
“Baiklah, Siwi. Aku mengerti. Terima kasih waktunya. Akan kucoba sampaikan pada Mas Faisal. Semoga dia bisa memahami ini. Assalamu’alaikum.” Siwi menjawab salam Adiba lirih. Air mata itu tak mampu dibendung lagi. Entah rasa apa yang ada di hatinya kini. Dia sendiri pun tak paham. Siwi hanya merasa sudah melakukan apa yang harus dilakukannya.
Lima menit kemudian hapenya kembali berdering. Nizar.
“Assalamu’alaikum…..ya, Mas?” Siwi yakin kali ini bukan Adiba.
“Wa’alaikumsalam. Faisal sudah pergi. Baru saja…..” Siwi sesaat tertegun. Namun dia bisa menguasai dirinya lagi.
“Bagaimana dia pergi, Mas?”
“Tenang. Sangat tenang. Bahkan bibirnya menyunggingkan senyum….” Siwi hanya diam. Tapi ada kelegaan menyusup ke dalam hatinya.
*****
Siwi dan Nizar duduk bersisihan di karpet ruang tengah. Televisi yang menyala tak mereka hiraukan lagi. Semua larut dengan pikiran masing-masing sejak pulang dari pemakaman Faisal sore tadi.
“Siwi…..” tiba-tiba Nizar membuka pembicaraan.
“Ya, Mas…”
“Jujur sampai saat ini aku nggak ngerti, kenapa kamu begitu ngotot tidak mau menemui Faisal. Adiba bahkan sudah meminta padamu secara langsung. Aku pun memberi lampu hijau. Tapi kenapa? Rasa kemanusiaanmu sudah hilang….?!” Nizar terlihat geram bercampur bingung.
“Aku melakukannya untukmu, Mas”
“Maksud kamu apa?”
“Sekarang coba tanya hati kecilmu. Adakah rasa cemburu jika aku menemui Faisal, lalu membisikan kata penyemangat di telinganya. Atau aku membacakan kalimat tauhid untuknya bahkan menangisi kepergiannya?” Nizar diam. Tapi hatinya membenarkan. Ada setitik rasa tak rela meski dia mengijinkan.
“Kisahku dan Faisal sudah selesai. Sudah menjadi sejarah yang tak perlu dikenang lagi. Tapi kisah kita? Kita masih akan punya banyak cerita di masa mendatang. Dan aku tak ingin merusaknya dengan alasan apapun. Sejak kita berikrar di hadapan Allah, maka sejak itulah aku hanya untukmu dan kau, kurahap hanya untukku. Selamanya…..Kau paham maksudku kan, Mas?”
Nizar kembali hanya diam saja. Dia berusaha menyelami setiap kata yang terucap dari bibir Siwi. Kemudian muncul rasa kagum akan begitu kuatnya Siwi berusaha untuk setia, berusaha menjaga agar rumah tangga mereka tetap utuh tanpa dibayangi orang ketiga. Tiba-tiba dada Nizar terasa sesak. Ada sesal di hatinya telah mengatakan sesuatu yang mungkin menyinggung perasaan istrinya.
Dengan perlahan diraihnya tangan Siwi dan diletakkan di dadanya. Kemudian dipeluknya erat Siwi dan membisikkan kata maaf. Siwi pun balas memeluk. Senyap. Tak ada kata terucap. Tapi dekapan erat itu sudah mewakili semuanya.

catatan :
CABG : coronnary artery bypass graft : operasi untuk mengatasi penyumbatan pada arteri coroner
V-Tach : ventricular tachycardia : detak jantung yang terlalu cepat dan bisa mengakibatkan berhentinya otot jantung berdenyut
refrensi istilah kedokteran: singhealth.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar