Adzan Isya’
berkumandang saat Siwi selesai membereskan bekas makan malam dan mencucinya.
Segera saja ia mengambil wudhu dan menyusul suaminya yang sudah menunggunya di
mushola keluarga. Sholat berjamaah selalu menjadi hal yang dia nantikan setiap
hari. Sebuah kegiatan yang menurutnya lebih mesra dari sekedar berduaan dan
ngobrol kesana kemari.
Usai sholat,
biasanya mereka akan mengaji bersama setidaknya satu juz. Tapi rupanya malam
ini Nizar suaminya hanya ingin berbincang dengannya. Kesibukannya sebagai
dokter Spesialis Jantung dan Bedah Thorax sering kali menyita waktunya bersama
Siwi. Perempuan lemah lembut yang dinikahinya empat tahun silam.
“Wi,” kata
Nizar tanpa menggeser duduknya. Masih di atas sajadah.
“Ada apa, Mas?
Ada yang penting, ya? Kok kayaknya Mas bicaranya hati-hati banget gitu?” kata
Siwi sembari melipat mukenanya. Matanya sesekali melirik suaminya yang terlihat
seperti sedang kebingungan dan ragu-ragu.
“Mmmm…..kemarin,
ada istri seorang pasien yang menemuiku. Bukan pasienku sih, pasien dokter
Arbain. Dia memintaku agar mengijinkanmu menemui suaminya.” Nizar berkata
dengan sangat hati-hati.
“Istri pasien?
Aku harus ketemu suaminya? Memang siapa suaminya? Petinggi negeri ini?” Siwi
sesungguhnya ingin tertawa. Tapi diurungkan. Entah mengapa ia merasa ini bukan
saatnya bercanda.
“Dia Adiba.
Adiba ingin kamu menemui Faisal. Dia kena kanker hati stadium lanjut. Dokter
Arbain tidak menjelaskan stadium berapa. Tapi menurut perkiraan medis usianya
tak lama lagi dan tinggal menunggu waktu. Kecuali Allah memberi mukjizat. Aku
sudah melihat sendiri kondisinya. Fisiknya memang sudah sangat lemah.”
Siwi hanya
diam. Faisal. Sebuah nama yang sangat familier di telinganya. Dan seketika
seraut wajah tampan berkelebat membangkitkan memori yang susah payah dia kubur
dalam-dalam. Lelaki yang pernah sangat dicintainya, namun justru
meninggalkannya demi wanita lain. Memang tak ada lagi cinta juga dendam untuk
lelaki itu. Tapi mendengar namanya disebut, tak urung membuat Siwi gemetar.
Seketika wajahnya yang datar berubah murung.
“Apa aku
seorang malaikat penyembuh hingga aku harus menemuinya dalam keadaan sekarat?
Lantas, apakah kedatangannku akan merubah keadaan? Maaf, Mas. Katakan pada
Adiba aku tidak bisa.”
“Wi….aku tahu,
di masa lalu kamu telah disakitinya. Tapi istriku yang kukenal adalah seorang
pemaaf. Dia hanya ingin, di saat akhir hidupnya, dia dimaafkan oleh semua orang
termasuk kamu, Wi. Apa itu salah?”
“Aku sudah
memaafkannya sebelum diminta. Sampaikan itu pada Adiba atau Faisal. Bagiku
ceritaku dan Faisal sudah usai. Aku tak ingin ada hal apapun yang
membangkitkannya kembali meski sebuah rasa iba. Tolong pahami aku, Mas.” Siwi
menatap suaminya dengan tajam.
Nizar paham.
Betapa luka yang pernah ditorehkan Faisal begitu menyakitkan Siwi. Bahkan
pertama kali mereka bertemu, Siwi dalam keadaan sangat terpuruk akibat
pengkhianatan Faisal. Rasanya wajar jika Siwi menolak. Karena meski lemah
lembut tapi sesungguhnya Siwi berwatak keras. Dan jika sudah menatap seperti
itu, berarti tak bisa dibantah lagi. Nizar berusaha mengerti. Meski sisi
kemanusiaannya sebagai dokter yang sering melihat pasien menghadapi sakaratul
maut, sangat tidak bisa terima sikap Siwi.
“Ya sudah.
Nggak apa-apa. Nanti kusampaikan pada Adiba…” Nizar membelai rambut hitam Siwi
dengan lembut juga mendaratkan ciuman di keningnya. Nizar menangkap kilatan
telaga di mata Siwi. Entah karena apa.
******
******
Hampir jam
sembilan pagi ketika perkerjaan rumah Siwi selesai semua. Mencuci, membersihkan
rumah bahkan masak untuk makan siang. Nizar sudah berangkat sejak sebelum Subuh
karena harus melakukan CABG. Ada panggilan dari rumah sakit karena seoarang
pasiennya mengalami V-Tach. Karena itulah, Siwi tak harus meladeni suaminya
dulu untuk sarapan sehingga pekerjaannya selesai lebih cepat.
Baru saja
selesai mandi, hapenya berdering. Nama Nizar ada di layarnya.
“Assalamu’alaikum.
Gimana, Mas? Operasinya sukses?” pertanyaan yang selalu meluncur lebih dulu
setiap Nizar menelpon seusai operasi.
“Wa’alaikumsalam….”
Siwi terkejut. Suara perempuan di seberang sana. Sebelum sempat mempercayai
pendengarannya juga menguasai perasaannya, perempuan itu melanjutkan bicaranya.
“Siwi, ini aku
Adiba. Maaf, aku menggunakan hape dokter Nizar. Karena menurutnya, kau tidak
akan pernah mengangkat telpon asing.” Suara itu terdengar bergetar dan sesekali
terdengar isak tertahan.
“Oh….nggak apa
Diba. Bagaimana Mas Faisal? Kamu yang sabar ya, Diba…..” Siwi sungguh tak tahu
kalimat apa yang harus dia katakan pada pempuan yang dulu ikut andil
menghancurkan hatinya. Dia hanya berusaha bersimpati, berempati.
“Yah….begitulah
Siwi. Kami hanya tinggal menunggu waktu saja. Apakah Mas Faisal akan dipanggil
‘pulang’, atau justru mendapatkan mukjizatNya. Berkali-kali dia mengalami gagal
nafas dan tak sadarkan diri, tapi selalu kembali lagi pada kami. Dia masih
menunggu maaf darimu, Siwi. Tolong maafkan dia….” Suara Adiba terdengar parau,
dan isaknya pun lebih keras terdengar. Sedih, itu yang dirasakan Siwi.
Terbayang bagamana bingungnya Adiba dengan kondisi suaminya. Mata Siwi pun mulai
bertelaga.
“Diba. Aku
bukan penentu akhir hidup seseorang. Itu hak sepenuhnya Allah. Dimaafkan atau
tidak, jika Allah berkenan memanggilnya, dia pasti akan pulang. Begitu pun
sebaliknya. Dimaafkan atau tidak, jika belum waktunya dia pergi, dia akan tetap
bersamamu.
“Diba. Kita
sama-sama perempuan. Aku harap, kau menjadi satu-satunya orang yang ditatapnya
untuk terakhir kali sebelum dia menutup mata selamanya. Jadilah satu-satunya
wanita yang menuntunnya untuk ‘pulang’ dengan kalimat tauhid. Atau sebaliknya,
jadilah satu-satunya wanita yang menyemangatinya, jika Allah memberikan
mukjizat padanya.
“Jangan lepas
kepergian suamimu dengan pandangan cemburu. Aku yakin, meski kau minta aku
menemui Mas Faisal, dalam hati kecilmu ada rasa tak rela perempuan lain ada di
sisi suamimu di saat terakhirnya. Jadilah satu-satunya wanita dalam hidup Mas
Faisal. Katakan padanya, aku sudah memaafkannya dan mengikhlaskan semuanya. Dia
percaya padamu, Diba.”
Air mata Siwi
mulai mengalir perlahan di kedua pipinya. Bagaimana pun, Faisal pernah menjadi
orang istimewa di hatinya. Dan berita sakitnya Faisal sanggup menghadirkan
setitik ingkar di hatinya. Jika tidak bertemu saja seperti ini, bukan tidak
mungkin jika bertemu akan lebih parah.
Sementara itu
di seberang sana, Adiba sedang berusaha memahami ucapan Siwi. Dalam hati dia
membenarkan semuanya. Sedikit banyak, diakui atau tidak dia memang cemburu pada
mantan kekasih suaminya itu. Dia cemburu, kenapa Faisal tak bisa melupakan
cinta lamanya itu. Ada baiknya juga Siwi menolak permintaannya. Adiba pun
sebenarnya ingin menjadi perempuan terakhir di hati suaminya. Dan penolakan
Siwi akan melapangkan jalan untuk itu.
“Baiklah, Siwi.
Aku mengerti. Terima kasih waktunya. Akan kucoba sampaikan pada Mas Faisal.
Semoga dia bisa memahami ini. Assalamu’alaikum.” Siwi menjawab salam Adiba
lirih. Air mata itu tak mampu dibendung lagi. Entah rasa apa yang ada di
hatinya kini. Dia sendiri pun tak paham. Siwi hanya merasa sudah melakukan apa
yang harus dilakukannya.
Lima menit
kemudian hapenya kembali berdering. Nizar.
“Assalamu’alaikum…..ya,
Mas?” Siwi yakin kali ini bukan Adiba.
“Wa’alaikumsalam.
Faisal sudah pergi. Baru saja…..” Siwi sesaat tertegun. Namun dia bisa
menguasai dirinya lagi.
“Bagaimana dia
pergi, Mas?”
“Tenang. Sangat
tenang. Bahkan bibirnya menyunggingkan senyum….” Siwi hanya diam. Tapi ada
kelegaan menyusup ke dalam hatinya.
*****
*****
Siwi dan Nizar
duduk bersisihan di karpet ruang tengah. Televisi yang menyala tak mereka
hiraukan lagi. Semua larut dengan pikiran masing-masing sejak pulang dari
pemakaman Faisal sore tadi.
“Siwi…..”
tiba-tiba Nizar membuka pembicaraan.
“Ya, Mas…”
“Jujur sampai
saat ini aku nggak ngerti, kenapa kamu begitu ngotot tidak mau menemui Faisal.
Adiba bahkan sudah meminta padamu secara langsung. Aku pun memberi lampu hijau.
Tapi kenapa? Rasa kemanusiaanmu sudah hilang….?!” Nizar terlihat geram
bercampur bingung.
“Aku
melakukannya untukmu, Mas”
“Maksud kamu
apa?”
“Sekarang coba
tanya hati kecilmu. Adakah rasa cemburu jika aku menemui Faisal, lalu
membisikan kata penyemangat di telinganya. Atau aku membacakan kalimat tauhid
untuknya bahkan menangisi kepergiannya?” Nizar diam. Tapi hatinya membenarkan.
Ada setitik rasa tak rela meski dia mengijinkan.
“Kisahku dan
Faisal sudah selesai. Sudah menjadi sejarah yang tak perlu dikenang lagi. Tapi
kisah kita? Kita masih akan punya banyak cerita di masa mendatang. Dan aku tak
ingin merusaknya dengan alasan apapun. Sejak kita berikrar di hadapan Allah,
maka sejak itulah aku hanya untukmu dan kau, kurahap hanya untukku. Selamanya…..Kau
paham maksudku kan, Mas?”
Nizar kembali
hanya diam saja. Dia berusaha menyelami setiap kata yang terucap dari bibir
Siwi. Kemudian muncul rasa kagum akan begitu kuatnya Siwi berusaha untuk setia,
berusaha menjaga agar rumah tangga mereka tetap utuh tanpa dibayangi orang
ketiga. Tiba-tiba dada Nizar terasa sesak. Ada sesal di hatinya telah
mengatakan sesuatu yang mungkin menyinggung perasaan istrinya.
Dengan perlahan diraihnya tangan
Siwi dan diletakkan di dadanya. Kemudian dipeluknya erat Siwi dan membisikkan
kata maaf. Siwi pun balas memeluk. Senyap. Tak ada kata terucap. Tapi dekapan
erat itu sudah mewakili semuanya.
catatan :
CABG : coronnary artery bypass graft : operasi untuk mengatasi penyumbatan pada arteri coroner
V-Tach : ventricular tachycardia : detak jantung yang terlalu cepat dan bisa mengakibatkan berhentinya otot jantung berdenyut
catatan :
CABG : coronnary artery bypass graft : operasi untuk mengatasi penyumbatan pada arteri coroner
V-Tach : ventricular tachycardia : detak jantung yang terlalu cepat dan bisa mengakibatkan berhentinya otot jantung berdenyut
refrensi istilah kedokteran: singhealth.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar